PRAHARA PARTAI DEMOKRAT, ANTARA KEKUASAAN ATAU KEMULIAAN?


[Catatan Pengantar Diskusi Pusat Kajian dan Analisis Data/PKAD]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Kembali, pada Ahad 14 Maret 2021 Penulis diminta sebagai salah satu Nara Sumber FGD #22 Pusat Kajian dan Analisis Data. Kali ini mengambil tema : "Prahara Demokrat, Kekuasaan atau Kemuliaan?"

Seperti biasa, Fajar Kurniawan Analis PKAD akan menjadi Keynote Speaker. Hadir Pembicara lainnya : Andi Alfian Mallarangeng - Demokrat, Ahmad Yani - Masyumi Reborn, M. Rizal Fadhilah - Pengamat Sosial dan Tony Rosyid - Pengamat Politik. Seperti biasa pula, Cak Slamet Sugianto bertindak selaku Host. Cak Slamet ini, Seninya (sehari setelahnya) juga punya program Cangkruk'an Cak Slamet, Penulis juga kembali diundang menjadi Nara Sumber nya. Temanya juga masih seputar Kisruh Partai Demokrat.

Penulis tidak tahu, apa yang melatarbelakangi panitia mengundang penulis untuk menjadi salah satu Nara Sumber. Memang benar, dalam kurun waktu sejak prahara menerpa Partai Demokrat, diawali dari pernyataan resmi dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang membuka suara ihwal adanya rencana kudeta Partai Demokrat, penulis telah menulis beberapa artikel.

Bahkan, saat Pak SBY menuliskan pandangannya terkait telah diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang yang mendapuk KSP Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, penulis juga memberikan tanggapan lewat tulisan. Sebenarnya bukan hanya Partai Demokrat, dalam semua isu kezaliman yang dilakukan penguasa kepada rakyat, penulis aktif menulis dan memberikan advokasi.

Jadi, bukan karena ada hubungan spesial antara Penulis dengan Partai Demokrat. Penulis menyatakannya KLB yang dikomandani KSP Moeldoko tidak sah, ilegal dan inkonstitusional berdasarkan kajian hukum. Bukan berdasarkan tendensi kebencian kepada rezim Jokowi, bukan pula karena membela Partai Demokrat.

Partai Demokrat sedang dalam posisi dizalimi, itu kedudukan hukumnya. Tentu saja, kezaliman tak boleh dibiarkan, ditimpakan kepada siapapun.

Terlepas Partai Demokrat saat berkuasa memiliki catatan tersendiri, tetapi hal itu tak menghalangi Penulis untuk menyuarakan kebenaran ketika kezaliman ditimpakan oleh rezim kepada Partai Demokrat. Penulis tegaskan, ada Istana dibalik kudeta Partai Demokrat yang di komandani KSP Moeldoko.

Pihak istana, termasuk Kemenkum HAM tak perlu sewot apalagi mengeluarkan narasi ancam mengancam. Buktikan saja, istana tidak terlibat dengan tidak melakukan ferifikasi terhadap legalitas KLB abal-abal yang dilakukan KSP Moeldoko.

Penyataan istana tak terlibat, cukuplah untuk dikesampingkan hingga terbukti benar-benar KLB yang dilakukan KSP Moeldoko tidak mendapatkan legalitas. Namun faktanya, proses menuju legalisasi KLB abal-abal itu terus dilakukan. Hingga saatnya, SK Kemenkum HAM terbit untuk PD-KLB, Partai Demokrat yang sah dibawah kepemimpinan AHY bisa apa? menggugat? akan butuh waktu panjang dan energi yang sangat melelahkan. Sementara kubu PD-KLB bisa melenggang ikut Pemilu dengan modal legalitas dari Kemenkum HAM.

Pada titik krusial itulah, penulis kira Partai Demokrat menyadari hakekat kasus politik ini. Ini murni kasus politik, bukan kasus hukum. Perlawanan yang harus dilakukan adalah perlawanan politik, bukan hukum.

Kalaupun ditempuh upaya hukum, itu masih dalam konteks strategi politik. Tidak boleh, mengikuti genderang rezim dengan membawa perkara ke pengadilan. itu sama saja bunuh diri politik. kasus HTI cukup untuk dijadikan referensi.

Namun yang dikhawatirkan publik bukanlah kezaliman tezim yang membuat darah seorang AHY bergolak dan melakukan perlawanan. Bukan soal kasus ini, secara internal di Partai Demokrat menjadi ajang konsolidasi internal kader partai.

Yang publik khawatirkan, adalah ketika istana merubah strategi dari 'memukul' berubah menjadi 'merangkul'. Dari ancaman delegitimasi dan pecah belah via KLB yang diadakan oleh KSP Moeldoko, berubah menjadi tawaran menteri untuk AHY dengan kompensasi Partai Demokrat harus berkoalisi dengan istana.

Nah, pada kondisi tersebut rasanya tema diskusi ini layak diajukan sebagai pertanyaan kepada Partai Demokrat. Memilih kekuasaan bersama Istana, atau memilih kemuliaan dengan tetap konsisten berkoalisi bersama rakyat?

Semua itu berpulang kepada Partai Demokrat. Waktu jua yang akan menjawab, apakah Partai Demokrat akan mampu di 'Gerinda-Kan' oleh istana atau tetap bertahan bersama rakyat. Dahulu, Partai Gerindra berjanji timbul dan tenggelam bersama rakyat. saat ini, Gerindra telah timbul bersama istana dan meninggalkan rakyatnya tenggelam dalam lautan kesedihan dan kemarahan. [].

Posting Komentar

0 Komentar