HUT RI KE-79: OLIGARKI BERSORAK "MERDEKA!" DI TENGAH KESENGSARAAN RAKYAT


Oleh: Darul Iaz
Jurnalis Lepas

Dalam momentum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-79, suara "Merdeka!" bergema tidak hanya di antara rakyat, tetapi juga di antara para konglomerat yang berkumpul di Ibu Kota Negara (IKN). Namun, di balik sorakan penuh semangat ini, ada cerita yang sangat berbeda di lapisan bawah masyarakat. Advokat Ahmad Khozinudin, S.H., yang juga bertindak sebagai kuasa hukum Supardi Kendi Budiardjo dan Nurlela, mengungkapkan betapa ironi kemerdekaan ini dirasakan oleh mayoritas rakyat yang masih terbelenggu oleh penderitaan.

Ahmad Khozinudin menggambarkan situasi ini dalam opininya yang berjudul "HUT RI KE-79, OLIGARKI TERIAK MERDEKA! MAYORITAS RAKYAT SENGSARA & MENDERITA!". Dia menuturkan bagaimana video yang menampilkan sejumlah konglomerat, termasuk Franky Widjaja (Sinarmas Group), Sugianto Kusuma alias Aguan (Agung Sedayu Group), Prajogo Pangestu (Barito Pacific), TP Rahmat atau Boy Thohir (Adaro Group), dan Djoko Susanto (PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk atau Alfamart), sedang bercengkrama santai di IKN menjadi viral di media sosial. Para tokoh bisnis ini terlihat penuh canda tawa, membanggakan proyek properti yang mereka bangun, dan akhirnya bersama-sama bersorak "Merdeka!".

Namun, di balik tawa mereka, Ahmad Khozinudin mengingatkan akan realitas pahit yang dihadapi oleh rakyat. Ia menyebut bahwa para konglomerat ini tertawa dan berteriak "Merdeka!" di atas penderitaan rakyat yang tanahnya dirampas untuk proyek-proyek mereka. "Terang saja oligarki ini tertawa gembira, dan berteriak MERDEKA! Karena mendukung proyek IKN, mereka dapat dukungan penuh dari rezim Jokowi untuk memperkaya diri dan kelompoknya, merampas tanah rakyat, untuk dijadikan lapak bisnis mereka," ujar Ahmad dengan tegas.

Khususnya, Ahmad Khozinudin menyoroti bagaimana proyek seperti PIK 2 (Pantai Indah Kapuk 2) dan BSD (Bumi Serpong Damai) mendapatkan fasilitas sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dari pemerintahan Jokowi, yang membuat pengadaan lahan menjadi lebih mudah dan murah. Tanah rakyat bisa diambil paksa dengan ganti rugi yang minim, bahkan ada yang hanya dihargai Rp 50.000 per meter. Jika ada rakyat yang menolak, tanah mereka tetap dirampas dengan dalih hukum yang digunakan sebagai senjata oleh para pengembang.

"Dengan dalih PSN, tanah rakyat diambil paksa, ganti rugi cuma 50 ribu perak per meter. Jika rakyat menolak, tanah tetap dirampas, uangnya dititipkan secara konsinyasi di pengadilan," lanjut Ahmad. Ia juga menyoroti peran aparat negara yang menurutnya ikut serta dalam intimidasi dan tekanan terhadap rakyat yang tanahnya dirampas.

Salah satu klien Ahmad, Supardi Kendi Budiardjo, menjadi korban dari praktik semacam ini. Tanahnya dirampas oleh Agung Sedayu Group untuk proyek perumahan Golf Lake Residence di Cengkareng, Jakarta Barat. Tidak hanya kehilangan tanahnya, SK Budiardjo dan istrinya, Nurlela, juga dipenjara atas laporan dari pihak pengembang.

Dalam refleksinya, Ahmad mempertanyakan di mana keberpihakan para jenderal dan pejabat negara yang seharusnya melindungi rakyat dari ketidakadilan ini. "Apakah mereka baru bergerak, menunggu korbannya adalah keluarga dan sanak famili mereka?" tanyanya dengan nada yang sarat keprihatinan.

Ahmad menutup opininya dengan sebuah kenyataan pahit yang mengusik hati nurani, "Ternyata, kemerdekaan RI ke-79 ini, hanya dinikmati oleh segelintir oligarki. Sementara mayoritas rakyat sengsara dan menderita."

Lampiran Video:

Posting Komentar

0 Komentar