
Oleh: Irma Hidayati
Pegiat Dakwah
Berita mengejutkan datang dari Kang Dedi Mulyadi, yang terkenal dengan sebutan KDM. Gubernur Jawa Barat tersebut melakukan sidak di perusahaan air minum kemasan AQUA di Subang, Jawa Barat. Beliau menemukan bahwa sumber air kemasan berasal dari sumur pengeboran.
Sontak masyarakat menjadi heran, bagaimana bisa menayangkan iklan yang menyebutkan air berasal dari sumber mata air pegunungan, ternyata faktanya berbeda.
Buru-buru pihak perusahaan mengklarifikasi kejadian tersebut, menyatakan bahwa selama ini pihak AQUA telah melakukan penelitian oleh para pakar terhadap sumber air yang layak konsumsi, sehingga tidak membahayakan konsumen. AQUA hanya mengambil air dari kedalaman 60–140 meter saja. Pihaknya tidak menggunakan air permukaan atau air tanah dangkal, sehingga tidak terkontaminasi dan mampu menjaga cadangan air di dalam tanah.
Namun, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan akan mengusut manajemen PT Tirta Investama. Jika ditemukan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen, AQUA akan dikenai sanksi administratif hingga pidana dengan dugaan iklan menyesatkan. Bahkan, BPKN meminta Kementerian ESDM untuk meneliti metode pengambilan air tersebut, apakah sesuai dengan perundang-undangan atau tidak.
Kapitalisasi Air
Sungguh, atas penemuan fakta ini, publik mengetahui bahwa sumber-sumber air di negeri ini sudah banyak yang dikuasai perusahaan swasta. Pihak AQUA mempunyai 19 sumber mata air pegunungan yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa perusahaan besar lainnya juga tercatat menguasai sumber air. Bahkan, sudah ada 1.200 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang ikut meramaikan bisnis air.
Benar, jika air adalah sumber kehidupan manusia, karena merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap individu. Namun, ketika motif ekonomi kapitalistik memandangnya sebagai bisnis, maka air bisa dimanfaatkan demi kepentingan pribadi. Sehingga, para pengusaha sibuk berinvestasi di sektor ini, karena sifatnya yang mudah diperoleh, tinggal dikemas saja.
Sekarang air telah menjadi komoditas yang menguntungkan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di AMDK ini mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Oleh karena itu, pertumbuhan perusahaan air terus bertambah setiap tahunnya.
Karenanya, air menjadi barang mahal yang susah diakses secara murah oleh rakyat biasa. Inilah yang menyebabkan masyarakat kesulitan mengakses air untuk kebutuhan sawahnya. Bahkan, jika musim kemarau tiba, pasti akan mengalami kekeringan yang ekstrim. Beginilah tata kelola sumber air dalam sistem kapitalis, di mana ada hajat hidup orang banyak, di sanalah keuntungan terbentang luas.
Inilah dampak dari kapitalisasi air. Masyarakat sekitar pabrik kekurangan air disebabkan pengambilan air secara besar-besaran. Bahkan, masyarakat harus membeli air galon untuk kebutuhan kesehariannya. Bertolak belakang dengan perusahaan-perusahaan besar yang bebas mengambil air secara gratis. Ironis, di negeri yang kaya raya, masyarakat harus membeli air dengan harga mahal. Padahal, akibat buruk dari pengambilan air secara besar-besaran akan menurunkan permukaan air tanah, mengeringkan mata air di sekitar, serta menimbulkan potensi tanah ambles.
Pertanyaannya, kenapa pemerintah membiarkan kerusakan lingkungan ini terjadi? Bahkan, cenderung memberi karpet merah untuk mengelolanya?
Tentu semua ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang dianut negeri ini. Sistem yang menjadikan semua sumber daya sebagai ajang bisnis. Prinsip kebebasan kepemilikan menjadikan siapa saja berhak memiliki apa pun selama ia mampu.
Akhirnya, para pemilik modal yang mampu menguasai sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti para konglomerat di Indonesia, yang memiliki perusahaan besar.
Tata kelola negara kapitalistik menjadi penyebab dikuasainya sumber daya alam. Dengan prinsip terkumpulnya modal dan laba, telah mendorong sumber daya alam untuk dibisniskan. Atas hal inilah lahir peraturan yang melegalkan pengelolaan sumber daya alam oleh swasta, seperti UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air, beserta peraturan pelaksananya yang memberikan dasar bagi BUMN, BUMD, koperasi, serta badan usaha swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan air minum.
Dengan regulasi ini, SDA tidak dikelola negara, bahkan diserahkan kepada swasta. Walhasil, jika swasta mengambil alih, akan bermotif bisnis dan kesenjangan akan terjadi. Perusahaan menjual komoditas kepada mereka yang sanggup membelinya saja. Lagi-lagi, rakyat biasa terpinggirkan kesejahteraannya.
Ini bukti abainya negara terhadap nasib rakyatnya sendiri. Negara lalai terhadap jutaan warganya yang kesulitan mengakses air bersih setiap hari.
Islam Menjamin Ketersediaan Air
Islam adalah ajaran yang sempurna. Allah ﷻ telah mengatur bahwa negara sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurusi kebutuhan seluruh rakyatnya. Begitu juga dalam hal menyediakan air bersih bagi rakyat, yang merupakan kewajiban negara. Negara harus mengupayakan, melayani kepentingan seluruh hajat hidup rakyat, serta fokus mengelola SDA negara demi kemaslahatan masyarakat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) itu laksana penggembala, dan hanya ia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Negara wajib menjamin ketersediaan air bagi masyarakat. Sistematika pengaturan kepemilikan dalam Islam akan mengantarkan pada ketersediaan air yang melimpah. Dalam kitab sistem ekonomi Islam An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, disebutkan bahwa kepemilikan dibagi menjadi tiga jenis: kepemilikan individu, umum, dan negara.
Air termasuk kepemilikan umum, karena ketersediaannya sangat dibutuhkan dan akan menimbulkan krisis di tengah masyarakat jika air berkurang bahkan hilang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Negara wajib mengelola kepemilikan umum ini. Hasil keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat dengan menyediakan sarana fasilitas umum. Sumber air yang melimpah, sungai, laut, termasuk kepemilikan umum yang haram dimiliki swasta dan dijadikan ajang bisnis. Pengelolaannya dilakukan oleh negara, sedangkan swasta tidak menguasainya kecuali dalam teknis, dan diatur negara.
Sistem Islam akan mengelola sumber air dengan amanah. Sehingga seluruh rakyat dapat menikmatinya secara gratis. Negara akan mendirikan industri air bersih perpipaan yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Negara juga mengemas air agar praktis dibawa ke mana-mana.
Produksi tersebut menggunakan dana dari keuangan negara, yaitu baitulmal Khilafah. Sebuah sistem keuangan yang menggunakan syariat Islam, mampu mendanai industri dengan teknologi canggih untuk menyelesaikan berbagai masalah. Alhasil, air akan tersalurkan merata ke seluruh rakyat dan kerusakan alam tidak akan terjadi. Karena ketika negara yang mengelola, proses mengambil air sesuai kebutuhan, bukan sesuai kepentingan bisnis semata.
Krisis air dan upaya mengkomersilkan air akan terus terjadi. Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menganga lebar di dalam tata kelola negara yang kapitalistik. Sudah saatnya kita meninggalkan sistem ini dan beralih pada sistem Islam. InsyaAllah mampu memenuhi seluruh kebutuhan umat, termasuk ketersediaan air bersih.

0 Komentar