
Oleh: Mutia Syarif
Blitar, Jawa Timur
Dalam satu pekan terakhir, dua kasus kematian anak yang diduga akibat bunuh diri terjadi di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Insiden ini menimbulkan keprihatinan serius dan menjadi peringatan bagi orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk lebih memperhatikan kesehatan mental anak-anak. Korban dari peristiwa ini salah satunya adalah seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang ditemukan meninggal dunia di rumah neneknya, dengan kondisi tergantung di kusen pintu kamar menggunakan tali sepatu pada Rabu sore (22/10/2025). Korban diketahui merupakan siswa kelas V di sebuah sekolah dasar negeri setempat (Kompas, 31/10/2025).
Dua siswa SMP di Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, ditemukan meninggal dunia akibat bunuh diri di sekolah pada Oktober 2025. Menurut hasil penyelidikan kepolisian, tidak ada indikasi tindakan bullying dalam kedua kasus tersebut. Kedua siswa tersebut ditemukan tergantung, satu di ruang kelas dan satu lagi di ruang OSIS, pada tanggal 6 dan 28 Oktober 2025 (Kompas, 30/10/2025).
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono (30/10/2025), mengungkapkan data mengkhawatirkan dari program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang menunjukkan lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami berbagai bentuk gangguan mental. Data ini diperoleh dari sekitar 20 juta jiwa yang sudah diperiksa.
Trend bunuh diri semakin marak. Yang lebih mengejutkan lagi, tidak semua kasus bunuh diri pada anak dan remaja disebabkan oleh bullying. Ini menunjukkan bahwa kepribadian rapuh pada generasi saat ini mendorong mereka melakukan tindakan bunuh diri. Akar dari rapuhnya kepribadian remaja disebabkan oleh lemahnya dasar akidah pada anak. Karena dalam sistem pendidikan sekuler, pendidikan hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai bagus dan segudang prestasi. Sedangkan agama hanya dijadikan pembelajaran teoritis belaka, dan tidak meninggalkan pengaruh yang nyata pada anak. Akibatnya, anak hanya gemilang secara prestasi akademik, namun memiliki kekosongan pada nafsiyahnya.
Selain itu, paradigma batas usia anak juga berpengaruh. Pendidikan sekuler Barat menganggap anak baru dewasa ketika berusia 18 tahun. Sehingga sering kali anak yang sudah baligh masih diperlakukan sebagai anak dan tidak dididik untuk menyempurnakan akalnya. Pada akhirnya, secara fisik anak sudah baligh, tetapi secara akal anak masih belum dewasa.
Bunuh diri merupakan puncak dari gangguan kesehatan mental yang disebabkan oleh berbagai faktor non-klinis, seperti kesulitan ekonomi, konflik keluarga, tuntutan gaya hidup, dan lain-lain. Sistem kapitalisme sekuler memperburuk kondisi ini. Dengan dijauhkannya Islam dalam aturan kehidupan, para remaja ini tidak paham jati diri mereka sebagai hamba Allah dan tujuan hidup mereka di dunia. Ditambah lagi dengan maraknya arus informasi. Paparan media sosial tentang bunuh diri dan komunitas online yang membahas tentang bunuh diri juga meningkatkan risiko bunuh diri pada remaja dan anak-anak. Parahnya, negara abai akan hal ini, sehingga akses dunia digital begitu bebas menampilkan segala informasi tanpa terbendung lagi.
Pendidikan dalam sistem Islam mengutamakan pengokohan pondasi dasar, yakni akidah. Dengan akidah yang kokoh, anak akan memiliki benteng pertahanan untuk menghadapi berbagai godaan dan guncangan dunia luar. Anak juga akan memiliki kekuatan untuk bertahan di setiap kesulitan, karena ia akan menyadari dengan sepenuh hati bahwa kesulitan hidup merupakan salah satu ujian yang Allah berikan untuk menempa kepribadian seseorang. Sehingga jiwanya tidak akan mudah rapuh.
Tujuan sistem pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir dan pola sikap Islam, sehingga pada diri siswa terbentuk kepribadian Islam. Dalam Islam, ketika seorang anak beranjak baligh, maka anak juga akan diarahkan untuk menjadi aqil. Sehingga pendidikan anak sebelum baligh adalah pendidikan yang mendewasakan dan mematangkan kepribadian Islamnya.
Islam juga menjamin solusi tuntas dalam mengatasi permasalahan penyakit mental yang disebabkan oleh faktor non-klinis seperti kesulitan ekonomi, konflik keluarga, tuntutan gaya hidup, dan lain-lain. Karena penerapan sistem Islam mewujudkan kebaikan pada aspek non-klinis, seperti jaminan kebutuhan pokok, keluarga harmonis, juga arah hidup yang benar sesuai tujuan penciptaan.
Kurikulum pendidikan dalam sistem Islam (Khilafah) memadukan penguatan kepribadian Islami (karakter) dengan penguasaan kompetensi ilmu, sehingga murid mampu menyikapi berbagai persoalan kehidupan dengan cara syar’i, sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan hadits.
Wallahu 'alam.

0 Komentar