
Oleh: Azhar Nasywa
Aktivis Mahasiswa
Bulan Agustus selalu hangat dengan perbincangan dan perayaan kemerdekaan, sebab di bulan ini Indonesia dinyatakan bebas dari penjajahan fisik. "Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" begitulah bunyi pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia.
Namun alinea pertama pembukaan UUD tersebut seolah tak berlaku di belahan dunia lain. Bagai bertemankan derita, kabar jiwa terus berjatuhan, darah tak berdosa terus bertumpah dan penjajahan masih berlanjut. Kaum muslimin di berbagai wilayah masih terus dianiaya dan mengalami tindakan tak berperikemanusiaan.
Pada 2017, lebih dari 730.000 Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar karena mendapat genosida dari pemerintah negaranya sendiri. Hingga kini mereka masih terus memburu muslim Rohingya saat ada kesempatan.
Kabar terbaru melansir Voa Indonesia 10/8/24, puluhan warga rohingya termasuk anak-anak tewas terkena serangan pesawat tanpa awak saat mencoba melarikan diri dari Myanmar, para korban selamat harus mencari dan mengenali kerabat mereka yang tewas di antara tumpukan mayat.
Di Palestina, genosida masih terus berlanjut. Pada Sabtu (10/8), pertahanan sipil Gaza menyampaikan bahwa sedikitnya 90 orang tewas dalam serangan tiga roket Israel yang menghantam sekolah di Kota Gaza. (Voa Indonesia 10/8/24).
Menurut data yang dihimpun Reuters (sebuah organisasi berita internasional) sejak 7 Oktober 2023, warga Jalur Gaza yang tewas akibat serangan Israel menembus 40.000 jiwa (detiknews 15/8/2024).
Sungguh pilu menyaksikan kekejaman yang dialami kaum muslimin saat ini. Mirisnya, berbagai penindasan tersebut tak cukup menyentuh hati sebagian orang. Para pemimpin negara Barat terus membela para penjajah tersebut, memberikan suplai senjata dan mendukung penindasan terus terjadi. Padahal Zionis dan Myanmar terbukti melanggar aturan perdamaian dunia.
Kondisi ini akan terus terjadi selama tak ada junnah (perisai) bagi kaum muslimin, umat akan mengalami nestapa sebab yang memegang teguh agamanya akan ditindas di manapun berada. Sungguh berbeda dengan kondisi umat pada masa Rasulullah ﷺ mendirikan negara Islam di Madinah.
Sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (Al Anbiya': 107), dalam kepemimpinan Negara Islam pada masa itu seluruh masyarakat merasakan ketenangan, kesejahteraan dan kehormatan hidup sekalipun bukan seorang muslim.
Aturan Islam mewajibkan negara menjamin keamanan atas jiwa perorangan, penjagaan akal, keamanan harta setiap warganya dan berbagai keamanan lain dengan penuh kekuatan. Sebagai junnah (perisai) yang menjadi garda terdepan untuk melindungi warganya dari segala bahaya dan ancaman. Selain itu, keberkahan sebagai hamba Allah benar-benar dapat dirasakan dalam naungan Negara Islam.
Sudah saatnya umat Islam menyadari pentingnya daulah Islamiyyah tegak kembali untuk menjamin penerapan Islam secara menyeluruh seperti yang dicontohkan Rasulullah ﷺ, sang suri tauladan terbaik. Jika syariat Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh), maka kemuliaan umat dapat kita rasakan kembali.
Dalam proses penyadaran umat ini, diperlukan keberadaan kutlah ideologis sebagai awalan yang akan membina dan mengajak umat untuk kembali kepada kehidupan Islam secara menyeluruh. Kelompok umat ini haruslah meneladani dan mencontoh jalan dakwah yang ditempuh Rasul untuk meraih kemenangan.
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd Ayat 11).
Wallahu a’lam.
0 Komentar