BUKTI CINTA KITA UNTUK PALESTINA


Oleh: Felix Siauw
Ulama dan Aktivis Dakwah

Dalam kehidupan yang semakin materialistis, banyak dari kita yang sering kali lupa bahwa segala sesuatu sejatinya harus dikoneksikan kepada Allah. Kita terjebak dalam pola pikir bahwa keberhasilan dalam pendidikan, pekerjaan, dan status sosial dapat dicapai hanya melalui usaha duniawi, tanpa melibatkan hubungan dengan Sang Pencipta. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia, di mana sering kali manusia lupa bahwa pendidikan yang baik tidak semata-mata diukur dari pencapaian akademis atau materi. Bahkan, banyak dari mereka yang sukses dalam pendidikan duniawi, namun gagal dalam menanamkan akhlak yang baik pada anak-anaknya.


Pendidikan untuk Kebaikan Akhlak, Bukan Sekadar Gelar

Ketika kita berbicara tentang pendidikan, pertanyaannya bukan sekadar "apakah anak kita lulus dari universitas ternama" atau "apakah mereka memperoleh pekerjaan bergaji tinggi." Tujuan utama dari pendidikan yang sesungguhnya adalah membentuk akhlak dan karakter yang mulia. Apa artinya gelar tinggi dan karier cemerlang jika anak-anak tidak memiliki rasa hormat kepada orang tua dan tidak taat pada ajaran agama? Sebagai orang tua dan pendidik, kita seharusnya lebih memilih anak yang hormat, berakhlak mulia, dan taat kepada Allah, ketimbang sekadar sukses di dunia tanpa bekal akhirat.

Contoh nyata terlihat pada masyarakat di Baitul Maqdis dan Palestina. Meskipun mereka tidak memiliki akses pendidikan formal yang tinggi, mereka tetap menghormati orang tua dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Hal ini sangat kontras dengan banyak orang di negara lain yang mengejar pendidikan setinggi mungkin, tetapi justru melupakan esensi pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik.


Mengenal Penyakit "Cinta Dunia, Takut Mati"

Dalam kehidupan modern, umat Muslim di berbagai belahan dunia kerap terjangkit penyakit wahan, yaitu cinta dunia dan takut akan kematian. Nabi Muhammad ﷺ telah mengingatkan bahwa umat Muslim suatu saat akan menjadi seperti makanan yang diperebutkan oleh orang-orang lain karena penyakit ini. Sedangkan, masyarakat di Gaza dan Baitul Maqdis justru sebaliknya, mereka menganggap kematian sebagai anugerah, bahkan sebagai pintu menuju kebahagiaan yang sejati Syahid di jalan Allah.

Bagi mereka, kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan yang sebenarnya. Inilah yang membuat mereka begitu kuat dan tangguh dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Bagi mereka, dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, dan kehidupan yang abadi ada di akhirat. Pandangan ini membuat mereka lebih siap menghadapi kematian kapan saja, yang akhirnya membentuk generasi yang penuh keberanian, ketaatan, dan ketulusan dalam berjuang untuk agama dan tanah air mereka.


Mendekatkan Diri pada Allah Melalui Kematian

Pernahkah kita berpikir tentang kematian? Bagaimana jika kita diberi tahu bahwa kita hanya memiliki beberapa jam lagi untuk hidup? Apa yang akan kita lakukan? Mereka yang yakin akan kematian, seperti masyarakat di Palestina, hidup setiap hari dengan kesadaran bahwa ajal bisa datang kapan saja. Kesadaran ini memotivasi mereka untuk mengisi hidup dengan kebaikan, ibadah, dan amal yang mendekatkan diri pada Allah.

Berbeda dengan kita, yang sering kali takut membicarakan kematian. Bahkan dalam hal sepele, seperti menghindari berfoto bertiga karena takut yang di tengah akan meninggal, kita sudah memperlihatkan ketakutan yang mendalam terhadap kematian. Padahal, sebagai seorang Muslim, kita diajarkan untuk memandang kematian sebagai bagian dari kehidupan, bukan akhir dari segalanya. Kita perlu belajar untuk mengubah cara pandang ini, agar setiap detik hidup kita dipenuhi dengan prioritas kebaikan yang paling besar.


Pelajaran dari Palestina: Hidup untuk Allah, Siap Mati untuk Allah

Kehidupan di Palestina dan Baitul Maqdis memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Mereka hidup setiap hari dengan keyakinan bahwa hidup adalah untuk Allah dan mati di jalan Allah adalah kemuliaan yang tertinggi. Anak-anak mereka diajarkan untuk hafal Al-Qur'an, belajar agama, dan siap meraih Syahid. Mereka hidup dengan kesadaran bahwa setiap hari bisa jadi hari terakhir mereka di dunia.

Sebaliknya, kita sering kali merasa bahwa hidup kita akan berlangsung lama. Kita jarang mengisi hari-hari kita dengan amal ibadah yang maksimal, karena merasa kematian masih jauh. Namun, jika kita meneladani masyarakat di Palestina, kita akan menyadari betapa berharganya setiap detik kehidupan ini untuk diisi dengan kebaikan dan amal sholeh.


Ujian yang Sesungguhnya: Membantu Palestina dan Mencintai Sesama Muslim

Saat kita melihat penderitaan saudara-saudara kita di Palestina, kita sering merasa ingin membantu. Namun, kita harus menyadari bahwa mereka sebenarnya tidak membutuhkan bantuan kita sebanyak kita membutuhkan mereka. Mereka telah lulus dari ujian dunia dengan Syahid, sedangkan kita masih berjuang menyelesaikan ujian kehidupan. Allah telah menjanjikan surga bagi mereka yang syahid di jalan-Nya, dan kini giliran kita yang berjuang dengan cara membantu mereka, baik melalui doa, dukungan moral, atau donasi.

Rasulullah ﷺ bersabda, [المرأ مع من أحب] "Almar'u ma'a man ahabbah," yang berarti "Seseorang akan dikumpulkan bersama dengan orang yang dicintainya." Jika kita mencintai saudara-saudara kita yang berjuang di Palestina, maka semoga kita akan dikumpulkan bersama mereka di akhirat nanti. Jangan sampai kita hanya diam melihat penderitaan mereka, karena diamnya kita bisa menjadi tanda bahwa kita kurang peduli pada sesama Muslim. Rasulullah ﷺ bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik parfum Misik dan Pandai Besi. Jika engkau tidak dihadiahkan parfum Misik olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat harumnya. Adapun berteman dengan Pandai Besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat aromanya yang tidak sedap.” (HR. Bukhari)

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad)


Penutup: Persatuan Umat untuk Pembebasan Baitul Maqdis

Pembebasan Baitul Maqdis tidak akan terjadi tanpa persatuan umat Islam. Musuh-musuh Islam seperti Israel tidak akan takut selama umat Muslim masih terpecah belah dan tidak peduli satu sama lain. Kita harus kembali pada persatuan dan kekuatan yang berasal dari keyakinan kepada Allah ﷻ dan kesadaran akan akhirat. Hanya dengan itu, umat Islam bisa kembali berjaya dan membebaskan Baitul Maqdis dari tangan penjajah.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar