MARAK BERAS OPLOSAN, KONSUMEN RUGI TRILIUNAN


Oleh: Fira Nur Anindya
Ibu Rumah Tangga

Baru-baru ini terdapat temuan investigatif menunjukkan keprihatinan serius pada beberapa merk produk beras yang beredar di pasaran. Banyak produk beras premium dan medium yang ternyata tidak sesuai standar mutu, berat kemasan berkurang, dan dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET). Penemuan ini didapatkan dari pengujian produk-produk beras yang terdapat di 10 provinsi. (Kompas, 12-07-2025)

Ditemukan 268 sampel, mencakup 212 merek beras premium dan medium, diuji oleh Kementerian Pertanian, Satgas Pangan, Bapanas, Polri, dan Kejaksaan Agung pada 6–23 Juni 2025. Terdapat 85,56 % beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 % dijual melebihi HET, dan 21–22 % kemasannya berisi lebih ringan dari label (MetroTV News, 28-06-2025). Beras kategori medium, bahkan 88,24 % tidak memenuhi standar mutu, 95,12 % dijual melebihi HET, dan 9,38 % beratnya kurang.

Potensi kerugian konsumen mencapai Rp99,35 triliun per tahun, Rp34,21 triliun dari premium dan Rp65,14 triliun dari medium. Pengamat kebijakan publik, Emilda Tanjung, menyatakan bahwa temuan ini menggambarkan lemahnya regulasi dan pengawasan, serta ketergantungan sistem pada kurasi pasar oleh korporasi dan pedagang. (Muslimah News, 12-07-2025)


Sistem Distribusi Pangan Saat Ini

Bisa kita akui, banyaknya temuan dari merk-merk produk beras yang kualitasnya tidak memenuhi standar tersebut menjadi bukti masih minimnya peran negara dalam menjamin mutu dari kebutuhan dasar masyarakat. Cukup disayangkan apabila negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, namun tidak menjalankan pengawasan penuh mulai dari produksi hingga distribusi. Akibatnya, lebih dari 90 % pasokan pangan dikuasai pihak swasta, sehingga kontrol harga dan kualitas menjadi lemah.

Peraturan Menteri Pertanian No. 31/2017 dan HET adalah langkah awal yang baik, namun penerapannya seringkali rawan diabaikan. Pelaku usaha besar masih diberikan kesempatan ‘klarifikasi dua minggu’ sebelum dilayangkannya tindakan hukum. Hal ini menunjukkan lemahnya efek jera dan disinsentif ekonomi bagi pelanggar. Alhasil regulasi yang ada belum terlaksana secara efektif.

Regulasi yang ada lahir dari kompromi politik, bukan dari pondasi moral. Sistem ini cenderung mengakomodasi kepentingan pembuat kebijakan dan idealisme pasar, bukan kebutuhan nyata rakyat. Korupsi, suap, dan penetrasi mafia pangan menjadi ancaman nyata. Jika ingin kita gali lagi lebih dalam hingga ke akarnya, ini semua terjadi akibat asas berpikir sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) serta sistem kapitalisme yang telah menciptakan ekosistem seperti ini, sehingga kemiskinan moral bisa tumbuh subur dan menjamur dari hulu hingga ke hilir.

Amat sangat disayangkan pula jika pendidikan dan karakter masyarakat saat ini belum didorong secara maksimal pada kepatuhan nilai amanah dan pembangunan karakter akhlak berbisnis Islami yang benar. Fokus yang selalu digencarkan hanya pada kebutuhan industri. Kecakapan teknis saja tidak cukup, tetapi perlu ada penanaman karakter Islami sejak dini. Nilai-nilai seperti amanah, keadilan, kejujuran, dan ihsan ditancapkan kuat dalam jiwa individu, sehingga masyarakat terbentuk dari pribadi-pribadi yang takut kepada Allah dan sadar akan tanggung jawab sosial.

Jika pendidikan akidah, karakter, serta kepatuhan terhadap amanah Allah ﷻ pondasinya telah dibangun kuat sejak dini, maka ini akan melekat menjadi pola keseharian masyarakat dalam menjalani aktivitasnya, termasuk dalam bermuamalah. Namun, jika asas berpikir sekuler serta penerapan sistem tata kelola kapitalisme terus dipertahankan, maka kedepannya akan selalu mengakibatkan penyimpangan yang bersifat sistemik.


Islam Menjawab Krisis Pangan Secara Menyeluruh

Negara dalam sistem Islam berperan sebagai pelayan/pengayom dan pelindung (ra’in dan junnah) bagi umat. Negara wajib hadir sepenuhnya dalam distribusi pangan. Diantaranya mencakup produksi, mengelola distribusi, dan memastikan harga serta kualitas sesuai syariat. Dalam sistem Islam atau bisa disebut Khilafah Islamiyah, pengelolaan sektor pangan, termasuk beras, tidak diserahkan kepada swasta atau mekanisme pasar semata, melainkan dikelola langsung oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kebutuhan dasar rakyat.

Dalam hal produksi dan cadangan pangan, negara tidak hanya membina pertanian rakyat, tetapi juga mengelola produksi skala besar dan memastikan adanya cadangan strategis yang dikelola oleh Baitul Mal (perbendaharaan negara) guna menjamin ketersediaan dalam kondisi darurat atau krisis.

Distribusi dan pengendalian harga juga menjadi kewenangan penuh negara. Tidak seperti sistem kapitalis hari ini yang menyerahkan harga kepada permainan pasar bebas, Khilafah mengawasi dan menjaga harga agar selalu adil berdasarkan asas kebermanfaatan bagi umat, bukan profit semata. Negara akan memastikan distribusi merata dan menjamin tidak ada satu daerah pun yang mengalami kelangkaan atau lonjakan harga yang merugikan rakyat.

Dari sisi pengawasan, Khilafah memiliki sistem otoritatif dan syar’i melalui lembaga Hisbah. Lembaga ini dipimpin oleh seorang Qadhi Hisbah yang independen dan memiliki wewenang penuh untuk memantau pasar secara langsung, memeriksa kualitas barang, menimbang kejujuran dalam transaksi, dan menindak pelanggaran langsung secara tegas berdasarkan sanksi ta’zir sesuai syariat Islam. Hal ini berbeda jauh dengan sistem pengawasan saat ini yang lemah, penuh kompromi, panjangnya birokrasi dan kerap lambat menindak pelanggaran.

Sistem yang dibangun di atas pondasi akidah Islam, orientasi masyarakatnya bukan sekadar kepuasan materi atau kebebasan individu, tetapi ketundukan terhadap hukum Allah ﷻ. Sistem Khilafah memisahkan diri dari paradigma kapitalisme yang berpusat pada kepentingan ekonomi elite dan ideologi buatan manusia. Islam memiliki rancangan sistemik dan menyeluruh, mampu menjawab krisis bukan dengan tambal sulam, tapi dengan akar perubahan yang hakiki berdasarkan wahyu Ilahi.

Perubahan paradigma sangat diperlukan. Sistem sekuler saat ini terbukti rentan akan tindakan eksploitasi, sehingga perlu digantikan dengan sistem yang akarnya terletak pada nilai syariat dari Ilahi, demi keadilan dan kemaslahatan seluruh masyarakat. Allah ﷻ berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah lebih baik daripada hukum Allah?” (QS. Al-Ma’idah: 50).

Tegaknya sistem Khilafah Islamiyah sepenuhnya ada pada kuasa Allah, namun dapat diperjuangan secara realistis dan sistemik. Para pengemban dakwah Islam, terutama Islam Kaffah (Islam yang menyeluruh), harus bisa mengedukasi tentang akidah dan politik Islam melalui kajian, diskusi, dan dakwah secara baik, bijak serta penuh keikhlasan kepada Allah ﷻ. Mampu berkonsolidasi dengan kelompok muslim lain untuk membangun kesadaran struktural.

Para pengemban dakwah pun dapat mempromosikan model implementasi syariat secara lokal, misalnya koperasi syariah dan lelang halal. Berilah dukungan bagi para pendakwah yang memiliki visi yang sama melalui aktivitas pendidikan, kajian-kajian dan wawasan ilmu politik yang konstruktif. Kita sebagai individu pun harus bisa meningkatkan literasi digital dan sosial untuk menumbuhkan kesadaran ekonomi dan sosial sesuai nilai-nilai Islam.

Selebihnya, bagi siapapun umat muslim di muka bumi ini harus bisa berdakwah meskipun hanya satu ayat, ataupun membagikan ilmu-ilmu Islam yang telah dikajinya. Harapannya dakwah Islam mampu memotivasi, memberikan manfaat, meningkatkan kesadaran umat dan nilai-nilainya dapat dikenal secara meluas juga membumi, sehingga harapan tegaknya Khilafah Islamiyah bisa semakin jelas.

Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

0 Komentar