
Oleh: Muhar
Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API)
Pendahuluan
Relasi geopolitik antara Iran, Amerika Serikat (AS), dan Israel selama beberapa dekade menjadi sorotan utama dalam dinamika Timur Tengah. Iran, yang bangkit sebagai kekuatan revolusioner setelah Revolusi 1979, berhasil menggulingkan sistem monarki di bawah kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi dan menggantinya dengan "Republik Islam" yang dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini, lalu dilanjutkan (hingga saat ini) oleh Ali Khamenei. Dalam narasinya, Iran kerap kali menolak dominasi Barat, terutama AS dan Israel.
Namun, berbagai fakta menunjukkan bahwa posisi Iran dalam percaturan global tidak sepenuhnya independen. Bahkan, pada saat tertentu, Iran justru memberikan dukungan taktis terhadap agenda imperialisme di dunia Islam.
Dalam kerangka pemikiran Islam (terutama yang berpijak pada ideologi dan politik Islam) penting untuk melihat dinamika ini tidak hanya sebagai konflik antarnegara, tetapi sebagai konsekuensi dari sistem kapitalisme global yang didasarkan pada kepentingan kapitalistik, bukan nilai-nilai syariah.
Oleh karena itu, tulisan singkat ini berupaya memberikan analisis kritis dari sudut pandang ideologi Islam: menyoroti bagaimana posisi Iran (sebagai salah satu negara-bangsa di Dunia Islam) dalam strategi imperialisme AS dan Israel, sekaligus mengajukan solusi Islam melalui penerapan sistem Khilafah.
Iran sebagai Mitra Strategis AS di Afghanistan dan Irak
Setelah serangan yang menghantam sejumlah sasaran di New York City dan Washington, D.C., pada 11 September 2001 yang kontroversial, AS sebagai pengemban ideologi kapitalisme saat itu langsung melancarkan invasi besar-besaran ke Afghanistan dan Irak dengan dalih "Perang Melawan Terorisme" demi kepentingan hegemoni dan dominasi imperialismenya untuk memperluas kekuasaan serta pengaruhnya atas negara lain.
Dalam operasi ini (sebagaimana banyak negara-bangsa di negeri-negeri Islam lainnya) Iran justru terlibat memberikan bantuan kepada AS. Muhammad Ali Abtahi, Wakil Presiden Iran bidang hukum saat itu, menyatakan bahwa, "Jika bukan karena bantuan Iran, Kabul dan Baghdad tidak akan jatuh semudah itu."¹
Bantuan tersebut bukan sekadar diplomatik, melainkan juga berupa dukungan logistik, intelijen, dan pengaruh terhadap milisi lokal seperti Northern Alliance di Afghanistan dan Brigade Badr di Irak. Ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya, Iran turut mendukung penguatan pengaruh militer AS di dua negara Muslim tersebut.²
Iran Dikhianati Setelah Dimanfaatkan
Meskipun pernah membantu kepentingan AS, Iran tidak mendapatkan perlindungan dari AS ketika diserang oleh Israel. Sebaliknya, AS justru berperan langsung dalam upaya menyerang fasilitas nuklir Iran. Israel memanfaatkan informasi intelijen yang diberikan oleh Amerika untuk merancang serangan udara menggunakan bom penembus bunker buatan AS.³
Bukti nyata terlihat saat Israel meluncurkan operasi "Rising Lion" pada Jumat pagi, 13 Juni 2025, dengan menyerang langsung fasilitas nuklir Iran di Natanz dan Fordow, yang menewaskan sejumlah ilmuwan serta pejabat tinggi militer Iran. Amerika Serikat bahkan turut meluncurkan operasi "Midnight Hammer" (Jumat malam, 20 Juni 2025), menghantam situs nuklir Iran dengan rudal presisi tinggi.
Iran membalas dengan menyerang wilayah Israel dan pangkalan militer AS di Qatar, tetapi tekanan diplomatik dari AS dan Israel tetap diarahkan kepada Iran.
Bahkan proyek serangan siber seperti Stuxnet (malware perusak yang dirancang untuk menyabotase sistem) merupakan kolaborasi langsung antara AS dan Israel.⁴
Hal ini menguatkan dugaan bahwa Iran hanya diposisikan sebagai alat sesaat dalam strategi jangka panjang imperialisme AS, dan bisa saja dibombardir ketika dianggap tidak lagi berguna atau mulai membahayakan kepentingan AS dan Israel.
Bukan Permusuhan Ideologis
Sejumlah fakta historis menunjukkan bahwa permusuhan antara Iran dengan AS dan Israel bukanlah permusuhan ideologis, melainkan permainan diplomasi pragmatis:
- Ruhollah Musavi Khomeini (1900–1989), yang dikenal sebagai Ayatullah Agung Khomeini dan merupakan tokoh utama Revolusi Iran, diberi izin tinggal di Prancis (negara anggota NATO) menjelang Revolusi 1979, dengan kebebasan penuh untuk berkomunikasi melalui media internasional.⁵
- Utusan Khomeini mengirim surat kepada Presiden Carter, menjamin bahwa kepentingan AS akan dijaga jika Khomeini berhasil mengambil alih kekuasaan.⁶
- Dokumen CIA yang dideklasifikasi tahun 2016 menunjukkan komunikasi aktif antara tokoh revolusi Iran dan pejabat tinggi AS.⁷
- Abolhassan Bani Sadr, Presiden pertama Iran, mengungkapkan bahwa Amerika Serikat memberi "lampu hijau" kepada Khomeini untuk mengambil alih kekuasaan.⁸
- Adapun terkait perang Iran melawan Israel yang baru-baru ini terjadi, hal itu tidak didasarkan pada kewajiban syar'i dalam rangka berjihad untuk membela, apalagi membebaskan Palestina sebagai tanah kaum Muslim yang dijajah. Meski patut diapresiasi dari sisi adanya perlawanan, tetap saja perlawanan tersebut berpijak pada logika pertahanan negara-bangsa (nation-state), (sebatas balasan) bukan visi pembebasan umat untuk mengusir dan melenyapkan dominasi imperialisme AS dan Israel dari Dunia Islam.
Eksploitasi Kapitalisme Global, Umat Islam sebagai Korban
Kapitalisme sebagai ide (fikrah) adalah ideologi dan sistem eksploitasi, sedangkan metode penyebarannya (thariqah) adalah imperialisme atau penjajahan. AS sebagai negara pengemban utama ideologi ini telah menjadikan Dunia Islam sebagai lahan konflik, intervensi, dan eksploitasi demi kepentingan duniawi mereka, dengan menghalalkan segala cara.
Negara-negara seperti Iran, Saudi, Turki, bahkan Pakistan, pernah digunakan oleh AS dalam proyek pengamanan kepentingannya, dengan dalih keamanan atau perang melawan terorisme.⁹
Bahaya Nasionalisme dan Sekterianisme
Iran menganut paham ashabiyah dan sistem nasionalisme sektarian yang bertentangan dengan prinsip ukhuwah Islamiyah. Sistem negara-bangsa (nation-state) telah memecah belah umat dan menghalangi terbentuknya kesatuan politik Islam. Selama umat Islam masih terkungkung dalam batas-batas nasional dan identitas mazhab sempit, mereka akan terus menjadi korban politik adu domba imperialisme.
Solusi Islam, Khilafah sebagai Pelindung dan Penyatu Umat
Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan (sistem), termasuk politik internasional. Dalam sistem Islam, kepemimpinan global umat (yang disebut Khilafah) memiliki fungsi sebagai pelindung, pemersatu, dan pengelola urusan umat secara independen dari kekuatan asing.
Pada sejarahnya Khilafah memiliki peran strategis, sebagai berikut:
- Menyatukan seluruh negeri Muslim dalam satu kepemimpinan.
- Menolak intervensi asing dan mengusir pengaruh imperialis.
- Mengelola konflik global berdasarkan hukum syariah.
- Menyusun kebijakan luar negeri berdasarkan prinsip dakwah dan jihad.¹⁰
Kesimpulan
Iran adalah salah satu contoh nyata bagaimana negeri-negeri Muslim digunakan, lalu dikhianati oleh kekuatan imperialisme global, terutama Amerika Serikat dan Israel. Meskipun membawa narasi anti-Barat, Iran pada kenyataannya turut terlibat dalam permainan strategi Amerika Serikat, dan tetap menjadi sasaran ketika arah kepentingan AS bergeser.
Ini adalah bagian dari pola sistem kapitalisme global yang menjadikan umat Islam sebagai objek, bukan subjek. Maka, solusi mendesak bagi umat Islam adalah mencampakkan ideologi sekaligus meninggalkan sistem kapitalisme sekuler dan nasionalistik yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam, serta membangun kembali sistem politik Islam dalam bentuk Khilafah Islamiyah. Sistem ini bersumber dari wahyu dan memiliki visi kepemimpinan global bagi umat serta menebarkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Wallaahu a'lam bish-shawaab.
Daftar Pustaka:
- Keddie, N. R. (2006). Modern Iran: Roots and Results of Revolution. Yale University Press.
- Nasr, V. (2007). The Shia Revival: How Conflicts within Islam Will Shape the Future. W. W. Norton.
- Broad, W. J. et al. (2009). “Israeli Test on Worm Called Crucial in Iran Nuclear Delay”. The New York Times, January 15.
- Zetter, K. (2014). Countdown to Zero Day: Stuxnet and the Launch of the World's First Digital Weapon. Crown Publishing.
- Takeyh, R. (2009). Guardians of the Revolution: Iran and the World in the Age of the Ayatollahs. Oxford University Press.
- Bani Sadr, A. (1991). My Turn to Speak: Iran, the Revolution and Secret Deals with the U.S. Brassey’s Inc.
- Central Intelligence Agency (2016). Declassified Documents on Iran 1979 Revolution. [https://www.cia.gov](https://www.cia.gov)
- Ibid.
- Nasr, V. (2007). The Shia Revival.
- Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah; An-Nabhani, Nizham al-Islam.
0 Komentar