KURIKULUM BERBASIS CINTA, RACUN BERBALUT MADU


Oleh: Nita Nur Elipah
Penulis lepas

Sebagai salah satu inovasi dalam bidang pendidikan, gagasan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) mulai diperkenalkan dan diterapkan di wilayah Kabupaten Cilacap. Kurikulum ini mengedepankan pendekatan humanis yang menanamkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, serta empati di dalam proses belajar-mengajar. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih hangat, inklusif, dan membentuk karakter peserta didik yang peduli terhadap sesama. (Banyumas Ekspres, 11-07-2025)

Kurikulum Berbasis Cinta dianggap sebagai metode efektif untuk membentuk karakter siswa yang tidak hanya unggul dalam kecerdasan intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cilacap, Fahrurozi, memberikan apresiasi positif terhadap inisiatif penerapan Kurikulum Berbasis Cinta. Ia menilai langkah ini sejalan dengan semangat memperkuat nilai-nilai toleransi dan harmoni antarumat beragama sejak dini melalui dunia pendidikan.

Kurikulum Berbasis Cinta ini sangat penting untuk dijadikan sebagai landasan pendidikan. Ini bisa menjadi jalan untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan berbangsa, khususnya di Cilacap yang masyarakatnya sangat majemuk,” ujar Fahrurozi.

Namun, benarkah kurikulum cinta ini akan menjadi solusi atas permasalahan pendidikan di negeri ini? Ataukah justru akan menambah persoalan baru?


Bahaya Moderasi Beragama di Balik Kurikulum Cinta

Kurikulum Cinta adalah pendekatan pendidikan yang dikembangkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Tujuannya adalah menanamkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman dalam diri peserta didik.

Kurikulum ini tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga pembentukan karakter yang berakhlak mulia, berjiwa sosial tinggi, dan mampu hidup damai dalam keberagaman.

Kurikulum Cinta sejalan dengan semangat moderasi beragama yang juga diusung oleh Kementerian Agama, yakni mengedepankan nilai kasih sayang dan perdamaian dalam beragama. Moderasi beragama memang tengah gencar dijadikan program pemerintah, termasuk di bidang pendidikan.

Program ini memiliki dasar hukum yang kuat, yakni dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Regulasi ini resmi diterbitkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada 25 September 2023, sebagai wujud komitmen negara dalam memperkuat sikap keberagamaan yang moderat dan inklusif di tengah masyarakat.

Peraturan Presiden ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan umat beragama dalam rangka penguatan moderasi beragama,” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2.

Di balik kurikulum berbasis cinta, secara terang disebutkan bahwa hal ini merupakan sarana untuk memperkuat ide moderasi beragama di tengah masyarakat. Padahal, moderasi beragama sejatinya merupakan agenda Barat yang diarahkan untuk mengubah cara umat Islam menjalankan agamanya. Barat menginginkan kaum Muslimin terbuka dan toleran terhadap pemikiran mereka, yang jelas-jelas batil dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Salah satu contoh pandangan yang keliru adalah anggapan bahwa semua agama dianggap sama dan setara dalam kebenaran. Padahal, dalam keyakinan Islam, hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah ﷻ. Pemahaman ini merupakan bagian dari akidah yang tidak boleh dikaburkan atas nama toleransi atau moderasi.

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali Imran: 19)

Umat Islam sejatinya tidak membutuhkan moderasi beragama. Aturan Islam saja sudah sangat cukup untuk membentuk generasi muda yang memiliki karakter terbaik. Kurikulum berbasis akidah Islam adalah kurikulum terbaik yang telah terbukti sukses diterapkan pada masa kejayaan Islam.

Istilah “moderasi beragama” justru menjadikan kaum Muslim bersikap moderat, yaitu mengambil jalan tengah, bukan menjalankan Islam secara kaffah (menyeluruh). Padahal Allah ﷻ berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 208)

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman dan membenarkan Rasul-Nya untuk berpegang teguh pada tali Islam, mengamalkan semua perintah, dan menjauhi seluruh larangan dengan kemampuan yang dimiliki.

Maka sangat jelas bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk menjadi Muslim yang kaffah, bukan moderat. Moderasi beragama bukan berasal dari ajaran Islam, melainkan bagian dari upaya sekularisasi yang menyamakan semua agama, serta mendorong sikap inklusif yang berlebihan hingga mengaburkan batas akidah.

Kurikulum berbasis cinta juga sejatinya tidak menyentuh akar persoalan generasi saat ini yang tengah menghadapi krisis akut, seperti dekadensi moral, perundungan (bullying), seks bebas, aborsi, narkoba, geng motor, kriminalitas, dan kenakalan remaja yang seolah menjadi fenomena sehari-hari di kalangan anak muda.

Sebagaimana kasus bullying yang pernah terjadi di Cimanggu, yaitu meninggalnya Faiza Fiqri Nurohman, siswa berkebutuhan khusus (ABK) kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah (MI) di wilayah Cilacap, Jawa Tengah. Ia diduga menjadi korban perundungan saat mengikuti kegiatan sekolah, hingga akhirnya mengalami depresi berat dan meninggal dunia. (VIVA, 03-072025)

Ini hanya satu dari ribuan kasus serupa yang terjadi di negeri ini, termasuk di daerah seperti Cimanggu. Banyaknya kasus seperti ini merupakan akibat dari diterapkannya sistem sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan saat ini berlandaskan asas sekularisme. Maka wajar bila kerusakan di kalangan generasi muda terus terjadi, karena negara telah mengabaikan (bahkan melanggar) aturan Sang Pencipta dan menggantikannya dengan aturan buatan manusia.

Maka kurikulum cinta sejatinya adalah racun berbalut madu yang sangat berbahaya bagi akidah generasi muda Muslim. Mereka justru akan semakin jauh dari agamanya dan tumbuh menjadi generasi yang sekuler dan liberal.


Mencetak Generasi Berkepribadian Islam yang Unggul dan Tangguh

Islam adalah agama yang unik dan khas. Ia merupakan agama sekaligus ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam mencetak generasi terbaik yang unggul dan tangguh.

Negara yang menerapkan sistem Islam akan membangun sistem pendidikan berbasis akidah untuk melahirkan Muslim berkepribadian Islam. Negara akan memastikan seluruh rakyatnya mendapatkan hak pendidikan terbaik.

Negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam, yang menjamin kekayaan milik umum dikelola demi kemaslahatan bersama, termasuk untuk sektor pendidikan. Negara membuka lapangan kerja yang cukup agar kepala keluarga memiliki pekerjaan layak dalam menafkahi rumah tangga. Pada saat yang sama, para ibu dapat fokus mendidik generasi.

Negara juga akan menerapkan kebijakan media yang membatasi penyebaran informasi merusak karakter generasi. Negara akan mencegah tersebarnya paham-paham sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, serta pemikiran apa pun yang melemahkan keyakinan dan menjauhkan masyarakat dari ketaatan.

Peradaban Islam sangat cemerlang dan telah melahirkan banyak cendekiawan serta ilmuwan ahli di berbagai bidang. Contohnya adalah Al-Khawarizmi, ilmuwan di bidang matematika yang di Barat dikenal dengan sebutan Algebra atau Aljabar. Ia merumuskan sistem hitung dengan angka nol, jauh lebih praktis dibanding angka Romawi yang sulit dipelajari.

Ada pula Jabir Ibnu Hayyan, ahli kimia yang dikenal sebagai Ibnu Geber, yang temuannya menjadi dasar bagi ilmu kimia modern. Tokoh seperti Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd, dan Al-Farabi menjadi bukti bahwa ulama di masa peradaban Islam tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu umum, sains, dan teknologi.

Sungguh, tidak ada kebaikan bagi generasi ini jika sekularisme terus menaungi mereka. Generasi muda perlu diselamatkan dari arus sekularisme yang merusak jiwa dan karakter. Mari bersama-sama berjuang mewujudkan sistem Islam paripurna dalam naungan Khilafah, agar gelar sebagai umat terbaik dengan peradaban terbaik dapat kembali diraih.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar