
Oleh: Mujiman
Lulusan API 3 2025
Kerusakan lingkungan yang semakin parah dan meningkatnya bencana alam, baik di Indonesia maupun dunia, bukan sekadar gejala alamiah. Data menunjukkan bahwa akar masalah terletak pada ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Dalam perspektif Islam, bencana dan kehancuran alam ini adalah teguran dari Allah ﷻ dan juga gambaran dari kegagalan manusia dalam mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Potret Buram Amanah yang Diabaikan
Indonesia, dengan keanekaragaman hayati luar biasa, justru menghadapi tekanan ekologis yang semakin berat. Beberapa fakta kerusakan lingkungan telah terjadi selama tahun 2024 di antaranya:
- Deforestasi Masih Tinggi: Menurut data resmi KLHK, Indonesia mengalami deforestasi neto sebesar 175.400 hektar pada 2024, dengan deforestasi bruto sebesar 216.200 hektar dan reforestasi hanya 40.800 hektar. Kerusakan terbesar terjadi di hutan sekunder dan kawasan hutan produksi. Sektor sawit menyumbang sekitar 37.483 hektar deforestasi, terutama di Sumatera dan Kalimantan.
- Polusi Udara Memburuk: Kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta memburuk drastis selama 2024. Pada 13 Agustus 2024, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta mencapai 177, yang berarti "tidak sehat". Bahkan, Jakarta sempat menduduki peringkat ke-5 dunia sebagai kota dengan udara paling tercemar.
- Perubahan Iklim dan Cuaca Ekstrem: Indonesia juga merasakan dampak dari perubahan iklim global, dengan gelombang panas, hujan ekstrem, dan kekeringan yang tak menentu. Semua ini berkontribusi terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor, yang semakin sering terjadi dan menimbulkan kerugian besar.
Islam Memandang Lingkungan sebagai Amanah, Bukan Milik Pribadi
Dalam Islam, bumi dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah ﷻ, dan manusia ditunjuk sebagai khalifah untuk menjaga dan melestarikan alam, bukan untuk mengeksploitasi dengan bebas. Tugas manusia adalah menjaga keseimbangan alam sesuai dengan tuntunan syariah.
Allah ﷻ berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Islam menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan (mīzān), melarang pemborosan (isrāf) dan perusakan (fasād), serta memerintahkan keadilan dalam pemanfaatan alam. Rasulullah ﷺ pun memberi teladan yang patut dicontoh:
إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari)
Solusi Islam dalam Institusi Khilafah Islamiyah
Islam bukan hanya agama yang mengajarkan prinsip moral, tetapi juga memiliki sistem pemerintahan yang mampu menerapkan syariat secara menyeluruh, termasuk dalam pengelolaan lingkungan dan penanggulangan bencana. Dalam sistem Khilafah Islamiyah, beberapa langkah solutif yang dapat diterapkan antara lain:
- Syariah sebagai Landasan Regulasi: Khilafah menjadikan hukum Islam sebagai dasar dari semua kebijakan. Segala bentuk eksploitasi, pemborosan, dan perusakan lingkungan akan dilarang dan ditindak tegas.
- Revitalisasi Konsep Hima: Konsep hima (area konservasi) yang diterapkan oleh Rasulullah ﷺ akan dihidupkan kembali untuk melindungi hutan, air, dan habitat alam dari kerusakan. Ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga alam secara berkelanjutan.
- Larangan Israf dan Tabdzir: Khilafah akan mencegah pemborosan dan eksploitasi berlebihan, baik oleh individu maupun korporasi. Penegakan hukum dalam hal ini bersifat preventif dan kuratif, disertai dengan sanksi tegas untuk setiap pelanggaran.
- Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Sebagai Milik Umum: Sumber daya alam seperti hutan, air, dan energi bukan milik pribadi, melainkan milik umum (milkiyah ‘ammah) yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh umat, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
- Tata Ruang Ramah Lingkungan: Khilafah akan merancang pembangunan yang memperhatikan daya dukung lingkungan. Pembangunan tidak boleh merusak ekosistem atau memperparah risiko bencana yang sudah terjadi.
- Penanggulangan Bencana Berbasis Syariah dan Iptek: Khilafah akan membangun sistem mitigasi yang kuat, seperti drainase yang baik, bendungan pengendali banjir, sistem peringatan dini, serta kesiapsiagaan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan.
- Institusi Profesional dan Berintegritas: Lembaga lingkungan dan kebencanaan akan diisi oleh tenaga ahli yang bekerja atas dasar syariah dan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan kepentingan politik atau bisnis.
- Pembinaan Akhlak Lingkungan: Khilafah juga akan menumbuhkan kesadaran individu sebagai khalifah di bumi melalui pendidikan, dakwah, dan kampanye publik. Kebiasaan menjaga lingkungan menjadi bagian dari ketaatan kepada Allah dan rasa tanggung jawab terhadap sesama.
Kembali pada Syariat, Selamatkan Alam dan Manusia
Kerusakan lingkungan bukan hanya sekadar persoalan teknis, tetapi juga merupakan krisis sistem dan akidah. Sistem sekuler yang menjadikan materi sebagai orientasi utama telah gagal menjaga keseimbangan alam. Dalam kondisi ini, hanya Islam yang mampu memberikan solusi menyeluruh.
Melalui institusi Khilafah Islamiyah, syariat Allah ﷻ diterapkan secara sistemik dalam pengelolaan lingkungan, tata ruang, mitigasi bencana, hingga pembinaan moral masyarakat. Dengan kembali kepada hukum Allah, manusia bisa mengemban kembali amanah sebagai khalifah sejati, menjaga bumi, dan meraih keberkahan hidup.
Saatnya kembali pada sistem yang benar, agar alam tak terus menderita dan umat tak lagi sengsara.
0 Komentar