
Oleh: Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP
Pada tanggal 8 September 2025, Sri Mulyani resmi digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan (Menkeu). Penunjukan Purbaya ini dikukuhkan melalui Keppres No. 86 Tahun 2025.
Penunjukan Purbaya sebagai Menteri Keuangan ini diharapkan akan membawa perbaikan bagi ekonomi Indonesia. Bahkan Presiden Prabowo menargetkan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8 persen dalam waktu secepatnya. Tentunya, sebagai Menkeu baru, Purbaya mengiyakan target presiden.
Bahkan, Purbaya tidak segan-segan sesumbar akan bisa memperbaiki ekonomi dalam waktu singkat 2-3 tahun ke depan. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak perlu belajar lagi tentang fiskal, lantaran ia sudah berpengalaman 15 tahun di pasar.
Mirisnya, seolah tidak terkontrol, mungkin karena euforia diangkatnya ia menjadi Menkeu, Purbaya menuding bahwa masyarakat yang demo dengan tuntutan 17+8 melakukan hal yang tidak pantas. Menurutnya, yang demo itu sedikit dan masih merasa kurang. Nanti, jika pertumbuhan ekonomi membaik, mereka tidak akan menuntut lagi. Mereka akan sibuk bekerja dan menikmati hasil kerjanya. Setelah viral, Purbaya pun meminta maaf.
Penggantian Sri Mulyani yang tiba-tiba ini memberikan persepsi sentimen, tentunya. Setelah penjarahan rumahnya, Sri Mulyani mundur. Timbul persepsi bahwa kebijakannya, terutama di periode ke-2 pemerintahan Jokowi, selalu menuruti pemerintah, hingga di era Prabowo.
Dari kenaikan PPn hingga 12 persen, perluasan dan peningkatan pajak, proyek IKN hingga program MBG. Tidak dipungkiri, jika kebijakan tersebut untuk menambah pemasukan negara guna mengangsur bunga utang luar negeri yang tembus angka lebih dari Rp 500 triliun per tahun. Akibatnya, timbul kekecewaan rakyat yang puncaknya menjarah rumah Sri Mulyani.
Dengan kata lain, track record Purbaya tidak akan jauh berbeda dengan Sri Mulyani. Kebijakan ekspansifnya, karena tuntutan pemerintah, khususnya presiden, tanpa disertai dengan stabilitas kebijakan fiskal. Inilah yang terjadi pada Sri Mulyani. Rupiah terus melemah, utang menumpuk, dan skandal korupsi makin menggila.
Purbaya sendiri memang bukan orang baru di pemerintahan. Di zaman Presiden Jokowi, Purbaya menempati posisi sebagai Deputi III Staf Kepresidenan. Purbaya mendampingi presiden dalam menangani kebijakan fiskal di era pandemi Covid-19. Waktu itu, Menkeu-nya adalah Sri Mulyani.
Kebijakan fiskal waktu itu terfokus kepada 3 hal utama, yakni penanganan Covid-19, pemulihan kesehatan, dan stabilitas ekonomi. Dana APBN termasuk APBD harus dialokasikan guna menangani 3 target pemerintah. Dana negara yang terserap sejumlah sekitar Rp 905 triliun. Anehnya, penggunaan dana sebesar itu tidak transparan dan terkesan ditutupi.
Hal demikian justru dilegalkan oleh Perppu No. 1 Tahun 2020 Pasal 27 yang menegaskan bahwa segala tindakan dan penggunaan anggaran untuk stabilisasi keuangan pada masa pandemi tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Tentunya, ini akan memicu penyelewengan uang negara.
Apakah ini yang disebut sebagai kebijakan fiskal yang sehat? Sementara korupsi terhadap anggaran penanggulangan Covid-19 terjadi, khususnya bansos Covid sekitar Rp 100 triliun. Belum lagi di daerah. Di Jember, uang penanggulangan Covid-19 dikorupsi hingga senilai Rp 107 miliar.
Pengalaman Purbaya berada di lingkaran kekuasaan sejak pemerintahan SBY. Begitu pula Sri Mulyani menaiki karir politiknya di fiskal hingga menjadi Menkeu dan mendampingi 3 rezim kekuasaan.
Perbedaannya, Sri Mulyani di awal karirnya memang di dunia kebijakan fiskal. Sedangkan Purbaya lebih berfokus pada karir politiknya. Purbaya menjadi orang dekat Luhut Binsar Panjaitan saat menjadi Menkopolhukam dan Menkomarves. Bahkan, kepercayaan Luhut kepada Purbaya sangatlah besar. Ibaratnya, di mana ada Luhut, di situ ada Purbaya.
Jadi, baik Sri Mulyani maupun Purbaya Yudhi Sadewa merupakan orang lama. Mereka sama-sama mengemban dan melaksanakan kebijakan fiskal ala Kapitalisme.
Ditunjuknya Purbaya pun tentu ada koneksi politik yang kuat. Jika murni karena kompetensi ekonominya, tentu saja orang-orang di Departemen Keuangan, khususnya Wamenkeu, Suahasil Nazara, yang didapuk menjadi Menteri Keuangan.
Walhasil, baik Sri Mulyani maupun Purbaya sama-sama menerapkan ekonomi Kapitalisme dalam mengelola keuangan negara. Dengan kata lain, Purbaya itu 11-12 dengan Sri Mulyani.
Purbaya tidak akan mengubah kebijakan fiskalnya Sri Mulyani. Ia hanya akan menggunakan kebijakan fiskal warisan Sri Mulyani untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang cepat. Termasuk Purbaya tidak akan menambah beban pajak baru. Dalam konteks ini, keduanya sama bahwa tidak perlu menambah pajak baru.
Dari sini bisa dipahami, bila Menkeu baru tidak akan pernah mengurangi jenis pajak. Alasannya, pajak menjadi instrumen utama pemasukan negara. Pada APBN 2026, ditargetkan pemasukan negara sebesar Rp 3.147,77 triliun. Dari sektor pajak, ditargetkan mencapai Rp 2.357,7 triliun. Bisa dipahami, meskipun ada tuntutan agar PPn bisa berkurang menjadi 8 persen, pajak tidak akan pernah dihapuskan.
Demikianlah potret pergantian sosok pejabat di dalam sistem Demokrasi. Sistem Demokrasi akan menolak setiap upaya yang diarahkan untuk mengubah dirinya. Gelombang demonstrasi besar hingga rusuh dari 25-30 Agustus 2025 di beberapa titik se-Indonesia menandai pergantian tonggak sistem Kapitalisme Demokrasi. Mempertahankan Sri Mulyani butuh biaya politik yang besar. Opsi yang diambil tentu saja menunjuk Menkeu baru.
Kebijakan Fiskal dalam Islam
Kebijakan fiskal dalam Islam bersifat tetap dan jelas. Kebijakan ini memastikan bahwa perekonomian suatu negara akan terus berkembang. Pemasukan negara dalam sistem fiskal Islam berasal dari sumber daya alam (SDA), harta rikaz, fai, ghonimah, usyr, zakat dan beberapa sumber lainnya. Semua ini memastikan negara memiliki pendapatan yang cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan.
Dalam Islam, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara seperti dalam sistem fiskal lainnya. Pajak hanya dikenakan kepada Muslim yang memiliki kekayaan lebih. Uang yang diperoleh dari pajak ini hanya digunakan untuk kebutuhan negara yang penting dan sekadar untuk menutupi kekurangan dari anggaran rutin. Pajak hanya diterapkan jika kas negara kosong atau tidak cukup, dan akan dihentikan begitu kebutuhan negara sudah tercukupi.
Adapun kebijakan fiskal dari aspek pengeluaran diarahkan untuk pembelanjaan rutin yang harus dipenuhi. Pembayaran gaji pegawai negara dan tentara, pengembangan industri pertahanan dan perang, anggaran untuk mengentaskan kemiskinan, belanja darurat tanggap bencana, dan lainnya. Baik pemasukan maupun pengeluaran negara sudah ditetapkan dalam Islam dan tidak boleh keluar dari ketentuan syariat.
Artinya, postur kebijakan fiskal Islam itu baku, pasti, dan terarah. Sebagai contoh, tatkala terjadi bencana, baik itu bencana alam maupun kemanusiaan, tidak perlu repot lagi untuk merealokasikan anggaran. Dalam Islam, masing-masing ada pos pemasukan dan pengeluaran negara. Dengan kata lain, kebijakan fiskal Islam tidak mengalami kegagapan, bahkan sakti untuk membawa menuju kesejahteraan hidup.
0 Komentar