
Oleh: Astri Ummu Dzikra
Aktivis Muslimah
Sampai detik ini, kondisi Gaza masih memprihatinkan. Sebagian orang sudah mulai melupakan Gaza, padahal situasinya masih menegangkan. Genosida massal, bangunan-bangunan hancur, fasilitas umum luluh lantakkan, dan kelaparan massal pun terjadi.
Pembunuhan massal pun terjadi, banyak warga Gaza yang mati syahid karenanya.
Baru-baru ini dikabarkan Israel kembali menyerang Rumah Sakit (RS) Nasser di wilayah Jalur Gaza bagian selatan melalui serangan udaranya (25/8/2025). Korban meninggal dunia berjumlah 20 orang, lima di antaranya merupakan jurnalis. (CNBC Indonesia, 26/8/2025).
Para jurnalis yang meninggal dunia berasal dari media Reuters, Associated Press, hingga Al Jazeera. Pejabat kesehatan Palestina mengatakan juru kamera Hussam al-Masri, seorang kontributor Reuters, tewas di dekat posisi siaran langsung yang dioperasikan oleh Reuters di lantai atas tepat di bawah atap rumah sakit di Khan Younis dalam serangan awal. Tidak hanya sekali saja Israel menyerang; pada saat wartawan, petugas penyelamat, dan petugas medis yang datang ke tempat kejadian pun ikut menjadi korban dalam serangan yang kedua.
Peran jurnalis sangatlah penting dalam mengumpulkan berita, mereka berperan sebagai mata, telinga, dan lisan masyarakat. Tapi bagaimana dengan para jurnalis yang sedang bertugas di Gaza? Mereka juga menjadi sasaran dalam genosida ini. Bahkan, mereka sengaja dibungkam agar berita kejahatan yang dilakukan oleh Zionis Israel tidak dilihat dunia.
Walaupun demikian, mereka tetap menyuarakan kejahatan Israel kepada dunia, dan dunia pun telah tahu kondisi Gaza saat ini. Namun, dunia seakan menutup mata dan menganggap bahwa perang Israel dan Palestina hanya sebagai konflik antarbangsa, bukan masalah seluruh kaum Muslimin.
Para penguasa hanya bisa diam menyaksikan apa yang telah terjadi di Gaza. Bentuk-bentuk seruan untuk menolong memang sudah diupayakan, dengan menyerukan jihad melawan Israel, boikot produk Israel dan perusahaan pendukungnya, mengirimkan bantuan logistik untuk warga Gaza, atau dengan solusi dua negara, dan lain sebagainya. Semua itu belum cukup untuk bisa menyelesaikan masalah di Palestina, karena bukan itu solusinya.
Melihat Akar Masalah
Tanah Palestina adalah tanah suci milik kaum Muslimin yang telah dirampas oleh Zionis Israel dengan dukungan Barat, sehingga membelanya bukan sekadar isu kemanusiaan, melainkan kewajiban aqidah bagi setiap Muslim.
Untuk mencapai solusi hakiki dalam membebaskan Palestina, dibutuhkan persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan Islam yang dapat memastikan keadilan dan pemulihan hak-hak umat Islam, termasuk mengembalikan tanah suci Palestina ke tangan yang berhak.
Membangun Kesadaran Umat
Masalah Palestina adalah masalah seluruh kaum Muslimin, karena tanah Palestina merupakan tanah wakaf yang tidak boleh diserahkan oleh siapapun untuk membebaskannya, sebagaimana dulu dilakukan Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Selama umat Islam hanya memandang masalah Palestina sebagai masalah kemanusiaan atau konflik antarbangsa, masalah ini tidak akan terselesaikan. Masalah Palestina adalah masalah seluruh kaum Muslimin, karena tanah Palestina merupakan tanah wakaf yang tidak boleh diserahkan oleh siapapun.
Dibutuhkan Persatuan Umat
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)
Hari ini tubuh itu terpisah-pisah menjadi negara-negara lemah sehingga tidak mampu menolong saudaranya. Solusi hakiki adalah menyatukan kembali umat dalam kepemimpinan Islam (khilafah) yang bisa mengatur urusan umat dengan syariah dan menjaga harta, jiwa, dan kehormatan seluruh umat.
Wallahu a'lam bishawab.
0 Komentar