HARGA BERAS NAIK, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?


Oleh: Ummu Zaid
Penulis Lepas

Menurut data BPS, produksi beras hingga Oktober 2025 mencapai 31,04 juta ton, surplus 3,7 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yang produksinya 38 juta ton. (Antara, 05/09/2025)

Dengan adanya surplus beras, seharusnya harga beras di pasar bisa turun, namun fakta di lapangan berbeda. Padahal, pemerintah menginginkan swasembada beras tercapai tahun ini, sehingga tidak perlu impor beras lagi.

Untuk mengatasi harga beras yang tinggi di 214 daerah kabupaten/kota, pemerintah akan melakukan langkah-langkah agar harga beras di pasar turun. (Tempo, 03/09/2025)

Langkah yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan harga di pasar adalah dengan melakukan operasi pasar dan mengeluarkan beras merek SBHP (Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan). Diharapkan, dengan langkah ini, harga beras akan menurun.

Bantuan beras bagi raskin 10 kg rencananya akan dihapus karena anggarannya tidak ada, kemudian akan dialihkan ke subsidi beras SBHP. Harga beras SBHP sudah disesuaikan sehingga bisa dijangkau oleh raskin. Namun, tidak ada jaminan kualitas beras SBHP, dan masyarakat masih mengeluhkan kualitas berasnya meskipun dari sisi harga relatif murah.

Temuan Ombudsman terkait beras memberikan beberapa catatan. Harga beras mahal karena tata kelola yang buruk, bukan semata-mata karena stok yang kurang. Cadangan beras pemerintah di Bulog menumpuk dan mengalami penurunan kualitas karena disimpan dalam jangka waktu lama, ditambah distribusi yang tidak merata, belum lagi adanya beras oplosan.

Adanya beras SBHP tidak efektif karena persoalan beras bersifat sistematis, yaitu terkait tata kelola perberasan nasional dari hulu ke hilir. Lembaga Bulog sendiri bermasalah dari sisi tata kelola, sehingga beras menumpuk di gudang Bulog. Selain itu, ada andil praktik oligopoli dalam tata niaga beras yang memengaruhi tinggi/rendahnya harga beras.

Negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator. Pemerintah tidak menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat, negara hanya memastikan stok aman. Padahal, harga beras tinggi karena buruknya distribusi.

Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat yang akan memastikan ketersediaan pangan agar rakyat tidak ada yang kelaparan, bahkan sulit untuk membeli beras.

Khilafah akan melakukan langkah untuk mengelola distribusi beras secara langsung dari hulu ke hilir, mulai dari produksi, penggilingan, hingga distribusi. Selain itu, negara akan membangun lumbung pangan, memberi subsidi atau bantuan langsung, seperti raskin yang diberikan beras gratis, dengan anggaran dari Baitul Maal, atau membuka akses lahan pertanian bagi yang tidak memiliki lahan. Dalam Khilafah, swasembada beras bisa terwujud, dan harga beras yang terjangkau menjadi keniscayaan.

Di samping itu, Islam mengatur distribusi beras secara merata dengan cara zakat pertanian untuk fakir miskin, larangan penimbunan agar harga tetap stabil, tanggung jawab sosial atas kepemilikan hasil bumi, serta peran negara yang penting untuk menjamin distribusi yang adil.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma'idah: 50)

Posting Komentar

0 Komentar