PAJAK MENANJAK, RAKYAT SEMAKIN MELARAT


Oleh: Karnia Widiasih
Aktivis Dakwah Cilacap

Di tengah semaraknya perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, rakyat justru mendapat kado super pahit dari penguasa berupa kenaikan pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan (PBB-P2) yang naik secara ugal-ugalan. Di sejumlah daerah, kisruh terjadi ketika rakyat berdemonstrasi turun ke jalan untuk menolak kenaikan PBB, seperti Aliansi Masyarakat Pati Bersatu yang berunjuk rasa di depan kantor Bupati Pati menolak kenaikan pajak sebesar 250% pada hari Rabu, 13 Agustus 2025.

Aksi serupa juga dilakukan mahasiswa di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, pada Kamis, 14 Agustus 2025, di depan kantor Bupati dan kantor DPRD Bone untuk menolak kenaikan pajak sebesar 300%. Di Cirebon, juru bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hatta Mahendrarti, dalam konferensi pers terkait kenaikan PBB hingga 1000%, mengancam jika dalam waktu 1 bulan tuntutan tidak dipenuhi, warga berencana menggelar aksi besar-besaran pada 11 September 2025. Sementara itu, di Jombang, warga mengeluh saat diwawancara media karena terkejut dengan kenaikan pajak PBB yang mencapai 700–1200%. Di Semarang, kenaikan PBB mencapai 400%.

Kenaikan tarif PBB-P2 secara besar-besaran dan serentak ini diduga sebagai akibat keputusan pemerintah pusat yang memangkas transfer ke daerah dan melakukan pengetatan belanja. Hal ini memaksa pemerintah daerah mencari sumber penerimaan instan. Cara yang paling cepat adalah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2).

Pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk menetapkan besaran Pajak Bumi Bangunan melalui Undang-Undang No. 1/2022. Besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan oleh masing-masing kepala daerah. Akibatnya, terjadilah kebijakan sewenang-wenang yang mencekik rakyat. Padahal, kondisi ekonomi saat ini sedang terpuruk. Daya beli masyarakat melemah. Pengangguran dan PHK bertambah. Angka kemiskinan meningkat. Lagi-lagi yang menanggung penderitaan adalah rakyat yang terus menjadi objek pajak.

Ironinya, efisiensi justru tidak dilakukan pada para pejabat negara dan wakil rakyat. Gaji para anggota DPR totalnya dapat mencapai Rp 230 juta per bulan atau sekitar Rp 2,6 miliar setahun (Kompas, 26/8/2025). Dengan nilai berbagai macam tunjangan, seperti tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan, tunjangan beras Rp 12 juta per bulan, tunjangan PPh Pasal 21 Rp 2,6 juta per bulan, dan tunjangan komunikasi Rp 15,55 juta per bulan.

Kebijakan menaikkan pajak dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan kesulitan hidup masyarakat. Semua ini berpulang pada sistem kapitalisme yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sistem ini sering kali mengutamakan kepentingan modal besar (korporasi) di atas kepentingan masyarakat luas.

Dalam sistem kapitalisme, fokus pertumbuhan ekonomi berbasis kapital, sedangkan posisi negara bertindak sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung ini, pemerintah membutuhkan pendapatan besar untuk infrastruktur, subsidi industri, dan layanan publik. Oleh sebab itu, kapitalisme cenderung mendorong pajak konsumsi (seperti PPN) (yang notabene memberatkan masyarakat kecil) karena lebih mudah dipungut dibandingkan pajak dari perusahaan besar atau orang kaya.

Seperti pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa pajak memiliki filosofi yang sejalan dengan zakat dan wakaf. “Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Caranya, hak orang lain itu diberikan. Ada yang melalui zakat, wakaf, dan pajak. Pajak itu kembali pada yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 di Jakarta, Rabu (13/8/2025). Ibarat bumi dan langit, antara pajak dan zakat adalah dua hal yang sangat berbeda.

Sangat jelas, pernyataan Menkeu Sri Mulyani tentu gegabah dan menyesatkan. Sama sekali tidak ada kesamaan antara zakat maupun wakaf dengan pajak. Baik dari filosofi maupun aturannya. Secara filosofi, zakat adalah ibadah harta yang Allah ﷻ perintahkan hanya atas kaum Muslim dari jenis harta tertentu, dengan ketentuan tertentu pula.

Allah ﷻ berfirman:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
Mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, juga supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).

Harta zakat hanya diambil dari kaum Muslim yang kaya untuk dibagikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Zakat tidak diambil dari semua rakyat. Bahkan tidak ada zakat untuk warga non-Muslim. Hal ini tidak ada pada pajak atau retribusi apapun sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini.

Islam telah mengharamkan pungutan pajak atas harta rakyat. Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ
Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim).

Larangan tersebut mencakup semua pajak. Dasarnya adalah hadis berikut:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ
Sungguh darahmu, hartamu, dan kehormatan dirimu itu haram diganggu, sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini, dan di negerimu ini, hingga hari kalian berjumpa dengan Tuhan kalian. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan ini?” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Syariah Islam sudah menetapkan sumber pemasukan bagi kas negara tanpa pajak. Salah satu sumber pemasukan yang sangat besar untuk negara adalah dari pengelolaan sumber daya alam (SDA). Tentu ironis jika Indonesia, sebagai negara dengan SDA berlimpah seperti tambang mineral, migas, hasil laut, pertanian, dan hutan, malah terpuruk. Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk miskin kedua di Asia Tenggara, dan angka penganggurannya terbesar di Asia Tenggara.

Sistem politik dan ekonomi Islam telah mewajibkan negara untuk mengurus rakyat tanpa membedakan pusat dan daerah. Semua wilayah yang berada dalam kekuasaan Khilafah Islamiyah wajib untuk dipenuhi kebutuhan pembangunan dan kebutuhan hidup penduduknya. Tidak ada dikotomi pusat dan daerah. Daerah tidak harus menanggung sendiri sebagian apalagi seluruh kebutuhan mereka.

Semua hal yang diwajibkan syariah atas Baitul Mal dan atas kaum Muslim untuk dibiayai dari harta yang ada di Baitul Mal, jika di Baitul Mal tidak ada harta atau tidak mencukupi, maka Khalifah boleh memungut Dharibah (pajak) dari kaum Muslim sesuai dengan ketentuan syariah, untuk membiayai hal-hal tersebut. Hal-hal yang wajib dibiayai oleh kaum Muslim ini adalah sebagai berikut:
  • Para fakir, miskin, ibnu sabil, dan pelaksanaan kewajiban jihad.
  • Pengganti jasa dan pelayanan kepada negara, seperti gaji para pegawai dan gaji tentara.
  • Biaya-biaya yang menjadi kewajiban Baitul Mal demi mewujudkan kemaslahatan dan pembangunan tanpa biaya pengganti, seperti pembangunan jalan raya, pengadaan air minum, pembangunan masjid, sekolah, dan rumah sakit.
  • Keadaan darurat/bencana mendadak yang menimpa rakyat seperti bencana kelaparan, angin topan, atau gempa bumi.

Inilah alokasi penggunaan dharibah yang telah dijelaskan oleh syariah Islam. Selain karena keadaan-keadaan ini, Khalifah tidak boleh memungut dharibah dari rakyat. Bila hal-hal tersebut terpenuhi dan Baitul Mal dalam keadaan berlebih, maka Khalifah tidak akan memungut Dharibah.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb.

Posting Komentar

0 Komentar