
Oleh: Amira Reya
Aktivis muslimah Cilacap
Di era digital, media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dengan sekitar 5,25 miliar orang aktif menggunakannya (Global Digital Report, Data Reportal). Meski terasa terhubung secara virtual, banyak pengguna tetap merasakan kesepian, karena linimasa yang penuh hiburan dan cerita pribadi kadang justru membuat mereka merasa terasing dari dunia nyata.
Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka kemudian melakukan penelitian berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual" (Detik, 18/09/2025).
Riset ini lahir dari pengamatan sehari-hari terhadap kebiasaan Gen Z yang hampir selalu aktif berselancar di media sosial, khususnya TikTok. Situasi ini memunculkan pertanyaan penting: mengapa seseorang bisa begitu sibuk di dunia maya, namun minim interaksi sosial secara langsung?
Menurut Fifin, Ketua tim riset, “Konten yang dibuat orang lain sering kali mencerminkan pengalaman atau perasaan kita sendiri, baik berupa pencapaian, kisah percintaan, maupun emosi lainnya. Meskipun sebagian bersifat komersial, pengguna tetap membagikannya karena merasa konten tersebut mewakili diri mereka”.
Namun, kebiasaan ini ternyata menimbulkan efek domino. Semakin sering pengguna membagikan konten terkait kesepian, semakin banyak konten serupa yang muncul di linimasa mereka. Penelitian menunjukkan bahwa fenomena ini berpotensi meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental, membuat rasa kesepian semakin terasa meskipun terhubung secara digital.
Di zaman teknologi informasi yang pesat berkembang, generasi muda tampak selalu terhubung melalui media sosial. Namun, di balik linimasa yang penuh hiburan dan cerita pribadi, banyak yang tetap merasa kesepian. Aktivitas menggulir (scrolling) yang tampak santai justru menimbulkan ilusi koneksi, sementara interaksi sosial nyata semakin berkurang, membuat generasi muda terasing dari lingkungan sekitar.
Kesepian ini bukan semata akibat kurangnya literasi digital atau manajemen penggunaan gawai. Industri konten komersial memanfaatkan algoritma untuk menyorot konten yang viral, mendorong pengguna membandingkan diri dengan pencapaian dan gaya hidup orang lain. Akibatnya, perasaan insecure, kurang percaya diri, dan tekanan mental meningkat secara signifikan, sementara hubungan sosial nyata, termasuk dengan keluarga, semakin renggang.
Dampak yang lebih berat adalah munculnya perilaku asosial. Generasi muda kini banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengikuti arus konten yang diatur oleh pasar. Akibatnya, mereka terjebak dalam rutinitas digital yang berulang, terus berusaha mengikuti tren, membangun citra diri di dunia maya, atau menyesuaikan diri dengan standar “viral” yang ditentukan oleh industri kapitalis. Potensi kreativitas dan produktivitas pun akhirnya terbuang.
Padahal, generasi muda memiliki kemampuan luar biasa untuk berkarya dan memimpin inovasi. Mengubah pola interaksi digital menjadi lebih sadar, kritis, dan produktif bukan hanya menjaga kesehatan mental, tetapi juga membebaskan potensi mereka dari pengaruh industri yang menekankan konsumsi dan popularitas. Kesadaran ini menjadi langkah penting untuk mengembalikan generasi muda pada kreativitas, hubungan sosial yang sehat, dan kemandirian dalam berpikir.
Oleh karena itu, generasi muda perlu menyadari bahwa teknologi dan media sosial, meski memiliki tantangan tersendiri, dapat dimanfaatkan secara bijak. Dengan kesadaran dan panduan yang tepat, platform digital bisa menjadi sarana untuk mengembangkan diri, menyalurkan potensi, membangun karakter, dan memperkuat hubungan sosial yang bermakna.
Saat ini, kehidupan generasi muda tak lepas dari layar digital, internet, dan media sosial hadir sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari. Walaupun sebagian besar platform diciptakan oleh industri kapitalis Barat, teknologi ini bisa digunakan untuk kebaikan. Islam membimbing penggunaannya agar produktif dan bermanfaat bagi umat, bukan hanya untuk konten dangkal yang meningkatkan rasa kesepian dan tekanan mental.
Seorang muslim yang tenggelam dalam fantasi hubungan digital atau merasa dekat secara maya, tetapi kesepian di dunia nyata, sebenarnya belum memahami makna hidup secara mendalam. Dalam Islam, tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah ï·». Karena itu, seorang muslim harus menanamkan identitasnya sebagai hamba Allah dengan kuat, sehingga cara pandangnya terhadap hidup tidak ditentukan oleh media sosial, melainkan oleh ajaran Islam.
Berislam secara kaffah menjadi pilihan sadar yang menuntun generasi muda untuk memaknai hidup secara benar. Islam menekankan pentingnya interaksi sosial dengan adab dan akhlak yang sesuai syariat: saling menghormati, tolong-menolong, memperbanyak silaturahmi, dan bergaul sesuai batasan yang dibenarkan. Hal ini membantu menguatkan ikatan sosial dan mencegah keterasingan akibat konsumsi konten digital yang berlebihan.
Negara juga memiliki peran penting dalam mengatur media digital untuk kemaslahatan umat. Platform digital dapat dikelola agar mendukung pendidikan, dakwah, dan informasi yang bermanfaat, sekaligus meminimalkan konten nirfaedah atau merusak moral. Hal ini sejalan dengan prinsip syariat yang menekankan kemaslahatan dan perlindungan masyarakat.
Generasi muda dapat diarahkan untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana amar makruf nahi mungkar, berdakwah, menuntut ilmu, dan menyebarkan kebaikan. Dengan strategi ini, energi mereka yang biasanya tersedot oleh hiburan digital yang dangkal dapat dialihkan menjadi kegiatan yang produktif, bermanfaat, dan membangun karakter.
Pengembangan konten edukatif dan islami oleh cendekiawan muslim menjadi salah satu langkah strategis. Teknologi dan platform digital tidak lagi sekadar alat hiburan atau komersial, tetapi media untuk memperluas dakwah, menyebarkan ilmu, dan membangun masyarakat yang sadar agama dan produktif.
Selain itu, media digital juga mempermudah akses informasi publik, komunikasi dengan pemerintah, kritik dan saran, sehingga generasi muda dapat terlibat aktif dalam kehidupan sosial-politik yang konstruktif tanpa terjebak konten yang merusak.
Dengan memahami tujuan hidup dan memanfaatkan media digital sesuai prinsip Islam, generasi muda dapat menyalurkan potensi besar mereka untuk hal-hal utama: ketaatan, dakwah, menuntut ilmu, dan berkarya bagi kemaslahatan umat, sekaligus menjaga kesehatan mental dan memperkuat hubungan sosial yang bermakna.
0 Komentar