STOP BULLYING! BANGUN GENERASI SEHAT, KUAT, DAN BERAKHLAK MULIA


Oleh: Vania Nurhayati
Santriwati PPTQ Darul Bayan Sumedang

Kasus perundungan atau bullying di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Data terbaru Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 2.057 pengaduan kasus pelanggaran hak anak, termasuk kekerasan fisik, psikis, dan cyberbullying. Bahkan, KPAI menemukan 25 kasus bunuh diri anak selama 2025 yang sebagian besar terkait dengan depresi berat akibat perundungan.

Di sektor pendidikan, tren perundungan tidak kalah memprihatinkan. Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatatkan 50 kasus bullying yang dilaporkan terjadi di jenjang SMP, disusul SD dan SMA. Kasus-kasus viral dalam satu tahun terakhir memperlihatkan kondisi nyata di lapangan, seperti siswa SMPN 8 Depok yang menjadi korban bullying (berita.depok.go.id), serta siswa SMPN 19 di Tangerang Selatan yang dibuli hingga meninggal setelah dirawat di rumah sakit selama sepekan (detik.com).

Dari fakta-fakta tersebut, jelas bahwa bullying bukan lagi persoalan yang bisa dianggap sepele, karena berdampak pada si korban, seperti gangguan mental, depresi, penurunan prestasi, hingga bunuh diri. Miris, bukan? Nah, kalian tahu nggak, bullying itu tumbuh subur karena lingkungan yang tidak sehat. Banyak keluarga yang mengalami disharmoni dan malfungsi, orang tua sibuk, komunikasi di tengah keluarga menurun, sehingga anak kehilangan figur yang membimbing dengan penuh kasih.

Dari kondisi ini, anak mencari pelarian di luar rumah, yang justru membawa mereka ke pergaulan yang bersifat toksik. Di media sosial, muncul budaya mengejek, merendahkan, atau menjatuhkan demi "konten" dan "komen". Nilai moral semakin tergerus, dan anak-anak terbiasa melihat konten-konten kekerasan yang disajikan sebagai hiburan. Akibatnya, empati perlahan tumpul, regulasi pun sering tidak menolong, bullying dinormalisasi, si korban dianggap "lemah", "cupu", "cemen", atau kurang pergaulan, sekolah pun kadang menutupi kasus untuk menjaga citra, serta tidak adanya sanksi yang memberi efek jera bagi pelaku. Akibatnya, masalah terus berulang.

Tentu saja, kasus bullying yang marak terjadi bukan hanya persoalan individu, tetapi juga cerminan ideologi yang mengatur kehidupan. Masyarakat hari ini hidup dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan sekularisme. Dalam ideologi ini, kebebasan tanpa batas dijunjung tinggi, yang menjadikan nilai moral bergeser. Kehormatan diukur dengan popularitas, fisik, atau status sosial. Padahal dalam Islam, standar kemuliaan bukanlah kekayaan, kekuatan, atau popularitas. Oleh karena itu, Islam datang dengan sistem sosial yang lengkap. Syariah tidak hanya mengatur ritual ibadah, tetapi juga membentuk lingkungan yang melindungi anak-anak dan remaja dari berbagai bentuk kezaliman.

Dalam Islam, keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Islam mewajibkan orang tua menjadi pendidik pertama dan utama, bukan hanya sebagai pemberi nafkah. Sekolah pun adalah tempat pembentukan kepribadian Islam. Tujuan utamanya adalah membentuk syakhsiyah islamiyah (kepribadian Islam) yang taat dan berakhlak mulia. Adapun guru, bukan hanya pendidik, tetapi juga teladan. Yang paling penting adalah peran negara yang melindungi anak-anak dengan hukum syariah. Negara juga wajib menetapkan kurikulum pendidikan Islam, membangun lingkungan sosial yang aman, serta melakukan pengawasan terhadap sekolah, keluarga, dan masyarakat. Oleh karena itu, hanya Islam yang mampu menyelesaikan setiap problematika manusia melalui sistem yang Allah turunkan.

Bullying yang menyebabkan depresi berat hingga korban bunuh diri merupakan pelanggaran serius. Dalam Islam, pelaku diberikan sanksi tegas, dan jika si korban sampai meninggal, pelaku bisa dikenai hukuman qisas (hukuman setimpal). Dari sini, dapat dilihat bahwa bullying bukanlah fenomena biasa. Ini adalah tanda kerusakan sosial yang harus dihentikan dengan pendekatan menyeluruh. Jika umat ingin lingkungan yang sehat bagi anak-anak, maka Syariah Islam adalah jalan terbaik. Dengan kembalinya umat pada hukum-hukum Allah ï·» secara kaffah, kita dapat menciptakan generasi yang kuat, berakhlak mulia, dan terbebas dari kekerasan.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar