
Oleh: Leli Amaliah, S.Kom
Penulis Lepas
Fenomena perceraian saat ini menjadi potret buram ketahanan bangsa. Rumah tangga di Indonesia berada di ambang krisis. Angka perceraian melonjak, sementara pernikahan justru menurun. Tercatat ada 13 penyebab utama perceraian, antara lain perselingkuhan, masalah ekonomi, media sosial, judi online, KDRT, dan lain-lain (CNBC Indonesia, 30/10/2025).
Dilansir dari Kompas (4 November 2025), tren perceraian meningkat di Indonesia, mulai dari Jakarta, Surabaya, hingga Maluku Utara. Data Pengadilan Agama juga menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Di Kota Ternate, Maluku Utara, hingga Oktober 2024 tercatat 719 kasus perceraian, 552 di antaranya adalah cerai gugat yang diajukan istri (Kalesang, 23/10/2025). Bahkan sejak Januari hingga Juli 2025, sudah ada 572 kasus perceraian yang diputuskan. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi menjadi bukti nyata bahwa perceraian telah menjadi fenomena sosial yang serius. Tren cerai gugat ini meningkat diduga karena banyak perempuan kini merasa lebih mandiri secara finansial.
Jika dilihat trennya, perceraian saat ini bukan hanya akibat pertengkaran atau faktor ekonomi. Tetapi ada krisis nilai yang terjadi, yaitu rapuhnya fondasi spiritual dan moral dalam membangun rumah tangga. Dilansir dari laman Antaranews (1 November 2025), banyak psikolog keluarga yang berpendapat bahwa perceraian yang meningkat saat ini merupakan efek domino dari sistem sosial yang gagal menanamkan pemahaman hakikat pernikahan. Pernikahan sering kali hanya dipandang sebagai ikatan emosional atau ekonomi, bukan sebagai ibadah yang sakral dan memiliki tanggung jawab spiritual.
Dalam sebuah diskusi publik, pengamat sosial dari JPPI (Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia) menilai bahwa fenomena perceraian ini terkait langsung dengan gagalnya sistem pendidikan sekuler yang tidak lagi menanamkan nilai-nilai ketahanan keluarga. Masyarakat Indonesia saat ini lebih mudah terpengaruh gaya hidup hedonis dan budaya konsumtif. Selain itu, sistem kapitalisme saat ini memperburuk keadaan. Keluarga terjebak pada tuntutan ekonomi yang tinggi, gaya hidup mewah, dan tekanan sosial yang menjauhkan dari makna keluarga sakinah. Fakta yang terjadi banyak pasangan muda yang terjebak dalam utang piutang, judi online, dan pergaulan bebas. Ini merupakan hasil dari sistem kapitalis yang menjadikan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan.
Istilah Grey Divorce atau perceraian di usia senja merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa pernikahan yang telah puluhan tahun pun bisa runtuh karena tidak ada pondasi yang kuat yang membuat rumah tangga kehilangan arah.
Fenomena ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan sosialisasi, seminar keluarga sakinah, atau tepuk sakinah yang selama ini gencar dilakukan. Terbukti dengan meningkatnya angka perceraian, yang tetap mengalami peningkatan tahun ini.
Saat ini yang dibutuhkan adalah mengembalikan nilai dan sistem kehidupan yang menegakkan kembali posisi keluarga sebagai institusi sakral. Dalam Islam, keluarga merupakan fondasi peradaban, di mana suami diposisikan sebagai pemimpin yang melindungi, bukan menindas. Istri adalah penopang yang menjaga kehormatan dan ketenangan. Sehingga anak-anak dididik dalam suasana penuh kasih sayang dan keimanan.
Dalam sistem pendidikan Islam, menanamkan akhlak dilakukan sejak dini, yakni membentuk kepribadian Islam yang bertanggung jawab dan nantinya akan memahami makna pernikahan sebagai ibadah. Selain itu, dalam sistem sosial Islam, menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan agar tetap dalam batasan yang sesuai hukum syara' menjadi hal yang utama, untuk mencegah munculnya perselingkuhan yang merusak keharmonisan keluarga.
Begitu pula dalam tatanan ekonomi Islam, kesejahteraan keluarga dijamin oleh negara. Suami tidak dibiarkan berjuang sendirian menghadapi tekanan hidup. Negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan, mengatur harga kebutuhan pokok, dan memastikan distribusi kekayaan yang adil dan merata. Dengan demikian, ekonomi tidak menjadi alasan utama dalam kasus perceraian rumah tangga.
Maraknya perceraian merupakan buah pahit dari sistem yang menjauhkan nilai-nilai Islam. Sosialisasi dan seminar keluarga sakinah hanyalah tambalan kecil. Yang dibutuhkan adalah perubahan besar dari sistem sekuler menuju sistem Islam yang berlandaskan keimanan dan tanggung jawab moral. Ketika nilai-nilai Islam diterapkan secara menyeluruh, perceraian tidak akan lagi menjadi tren. Keluarga akan kembali ke fitrahnya sebagai tempat tumbuhnya cinta, ketenangan, dan ketakwaan.
Wallahu a'lam bishshawab.

0 Komentar