
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
"Kalau hanya menyalahkan hujan mending enggak usah ke sini,"
[Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, 18/1]
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono menilai kedatangan Jokowi ke lokasi banjir Kalsel semestinya menjadi momen untuk berani memanggil pemilik perusahaan tambang, sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan hak pengusahaan hutan (HPH). Sebab, masalah di sektor inilah yang menjadi sebab utama terjadinya musibah banjir.
Namun, dalam kunjungan ke Kalsel, Jokowi hanya mengeluarkan pernyataan bahwa bencana alam berupa banjir di Kalsel adalah yang terbesar selama 50 tahun terakhir. Curah hujan yang tinggi selama hampir 10 hari berturut-turut, kata Jokowi, menyebabkan daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik tidak lagi mampu menampung debit air yang mencapai sebesar 2,1 miliar kubik air.
Karena itulah, banyak yang menganggap kunjungan presiden Jokowi tidak memberikan solusi. Problem lingkungan akibat kerakusan kapitalisme tambang dan hutan, tidak disentuh Jokowi.
Anda mungkin bertanya, atau kalau tidak anggap saja anda bertanya. Bagaimana Khilafah mengatasi masalah bencana alam khususnya yang disebabkan kerusakan lingkungan oleh kerakusan kapitalis tambang dan hutan? Apa yang akan dilakukan oleh Negara Khilafah?
Mari kita kaji,
Dalam Islam, harta-harta seperti tambang yang depositnya melimpah, hutan, padang gembalaan dan berbagai sumber energi (minyak, batubara, matahari, gelombang, panas bumi, gas, dll) terkategori barang milik umum (Al Milkiyatul Ammah) yang terlarang (haram) bagi individu dan swasta, baik domestik maupun asing untuk memiliki dan menguasainya. Barang jenis ini semuanya harus dikelola oleh Khilafah selaku wakil Umat.
Khilafah, dalam mengelola barang milik umum selain memaksimalkan manfaat, juga memperhatikan aspek terjaganya ekosistem alam dan keamanan lingkungan. Tak boleh ada eksploitasi yang menimbulkan dharar (bahaya).
Negara Khilafah juga berkewajiban untuk memelihara seluruh urusan kemaslahatan umat. Tak boleh ada eksploitasi alam berdalih meningkatkan pendapatan negara yang merusak lingkungan.
Berbeda dengan swasta, yang orientasinya hanya pada profit. Swasta juga tak memikirkan adanya tanggung jawab atas pengelolaan lingkungan, dalam melaksanakan eksploitasi SDA baik tambang maupun hutan.
Hutan, baik natural hutan atau telah dialihfungsikan menjadi lahan sawit atau perkebunan lainnya, sejatinya asalnya adalah harta jenis milik umum. Karena itu, dalam Islam hutan tak boleh dikuasai swasta, siapapun orangnya dan apapun perusahaannya.
Hutan dan lahan hasil konversi hutan, wajib dikuasai negara sebagaimana tambang. Selanjutnya, hasil pengelolaan hutan dan tambang digunakan untuk membiayai segala hajat umat, menciptakan kemaslahatan umat, menyediakan sarana dan fasilitas umum, dan segala hal yang pada pokoknya mengembalikan hasil dari eksploitasi barang milik umum untuk publik.
Pembiayaan pendidikan, kesehatan, keamanan negara pada hakekatnya adalah kebutuhan publik yang dapat dibiayai dari sektor barang milik umum. Seluruh hasil tambang dan hutan (atau perkebunan hasil konversi hutan) wajib dikelola negara dan menjadi salah satu sumber pendapatan APBN Khilafah.
Begitu Khilafah tegak, semua tambang dan lahan yang merupakan konversi dari hutan, diambil alih baik secara sukarela maupun dengan paksaan. Karena sejatinya, menurut Islam para taipan tambang, kapitalis lahan, atau korporasi asing yang menguasai tambang dan hutan adalah tindakan yang haram.
Setelah diambil alih, kemudian Khilafah mengelolanya dengan kaidah :
Pertama, bagi tambang dan lahan yang sanggup dikelola, dieksploitasi, maka Khilafah langsung mengelola dan memanfaatkan hasilnya untuk membiayai APBN Khilafah.
Pengelolaan ini wajib memperhatikan kaidah mengutamakan keselamatan dan memaksimalkan kemaslahatan. Jika ada pertentangan antara keduanya, khilafah akan mengutamakan menghindari dharar (bahaya) ketimbang mencari manfaat dari tambang.
Itu artinya keamanan, keselamatan atas pengelolaan tambang dan hutan, juga dampaknya bagi masyarakat, lebih diutamakan. Khilafah akan mendorong untuk menerapkan teknologi terbaik dalam melakukan pengelolaan tambang dan hutan.
Kedua, jika khilafah terkendala modal untuk mengelola tambang maka Khilafah dapat mengambil permodalan yang dibenarkan secara syar'i. Tak boleh, Khilafah membiayai pengelolaan tambang dan hutan melalui pinjaman ribawi.
Ketiga, Jika Khilafah belum ada modal dan pembiayaan yang syar'i, maka Khilafah menangguhkan eksploitasi tambang dan hutan dengan catatan :
Untuk pertambangan, dibiarkan alami tak perlu ada perlakuan khusus sampai khilafah memiliki modal untuk mengelolanya. Rakyat secara pribadi tak boleh mengeksploitasi tambang ini.
Untuk hutan, atau lahan yang berasal dari hutan bisa dilakukan kebijakan :
1. Hutan yang alami dikembalikan fungsinya, dan menjadi milik umum dimana semua rakyat secara langsung dapat mengambil manfaat dari hutan sesuai ketentuan. Rakyat boleh mengambil kayu bakar, menggembalakan ternak, mencari manfaat dari tumbuhan yang ada di hutan, memburu binatang buruan di hutan, dan aktivitas lainnya yang diperkenankan.
2. Hutan alami yang punya fungsi ekosistem, seperti hutan disepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) di proteksi (hima') dan dibiarkan secara alami. Hutan model ini terlarang bagi rakyat untuk memenuhi hajat baik dengan mengambil kayu bakar, menggembalakan ternak, mencari manfaat dari tumbuhan yang ada di hutan, memburu binatang buruan di hutan, dan aktivitas lainnya.
3. Untuk hutan yang telah beralih fungsi menjadi lahan (misalnya lahan sawit), ketika khilafah belum mampu mengelolanya mewakili Umat, Khilafah dapat menetapkan kebijakan Iqto' yakni membagikan lahan tersebut kepada rakyat untuk dikelola. Saat dibagikan kepada rakyat, lahan ini telah beralih status menjadi kepemilikan pribadi, bukan kepemilikan umum lagi.
Ketika Khilafah tegak lahan sawit yang selama ini dikuasai taipan opsinya hanya dua : 1. Diambil alih dan tetap dikelola oleh Khilafah dengan membentuk Badan Usaha sebagai pengelolanya. 2. Diambil alih dan dibagikan kepada rakyat yang tidak memiliki lahan dan memiliki kemampuan mengelola (produktif ).
Jadi, ketika Khilafah tegak itu memang menjadi mimpi indah rakyat sekaligus mimpi buruk para kapitalis, baik taipan tambang maupun kapitalis lahan. Semua harta ini akan diambil alih oleh Negara Khilafah selaku wakil dari Umat, mengelolanya dan mengembalikan manfaatnya kepada rakyat. [].
0 Komentar