
[Catatan Diskusi Forum Kajian Sosial dan Peradaban Wonosobo, Diskusinya Komunitas Plat AA Eks Karesidenan Kedu]
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Dahulu, Struktur Wilayah di bawah Provinsi di atas Kabupaten atau Kota, ada Karesidenan. Karesidenan merupakan satu wilayah yang terdiri dari beberapa kabupaten atau kota, yang tetap berada dibawah satu provinsi. Struktur ini warisan Belanda.
Selain Karesidenan, struktur lain warisan penjajah Hindia Belanda adalah Kawedanan. Wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan. Dua struktur ini, yakni Karesidenan dan Kawedanan telah dihapuskan.
Struktur eks karesidenan Kedu melingkupi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Nah, Wonosobo 'mengatasi' wilayah lainnya, karena posisinya yang ada diatas, merupakan jalur menuju bukit Dieng.
Pada Ahad (10 Januari 2021), Komunitas Forum Kajian Sosial dan Peradaban yang bermarkas di Wonosobo mengadakan acara diskusi santai yang dikemas dalam bentuk talk show. Hadir sebagai Narasumber : Ust Husain Matla, seorang penulis produktif yang banyak menghasilkan karya. Kemudian, ada KH Nasiruddin Syukur, pengampu sebuah Majelis Ta'lim di Kota Magelang.
Penulis sendiri, diminta menjadi salah satu narasumbernya untuk menyampaikan tentang 3 (tiga) hal : 1. Tentang produk peraturan perundangan, apakah berpihak kepada rakyat? 2. Konstelasi politik Nasional dan Internasional, dan 3. Bagaimana fungsi dari Lembaga Negara.
Diskusi juga berlangsung hangat, karena beberapa tokoh seperti tokoh Intelektual dari Kota Magelang Bapak Ahmad Charoni, juga turut memberikan perspektif nya. Ada juga Ust Drs A Rohani dan Abu Khoir pimpinan dari sebuah Majelis Talqin di Kebumen (bukan Majelis Ta'lim). Semoga umat yang masih percaya demokrasi yang hampir menemui ajal ini, dapat di-talqin dan segera taubat kembali kepada Islam.
Secara umum, penulis menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, produk peraturan perundang-undangan dalam sistem demokrasi sejatinya adalah produk hukum yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat apalagi dapat diklaim sebagai manifestasi kedaulatan rakyat. Produk legislasi dalam sistem politik demokrasi, baik oleh lembaga DPR atau eksekutif, sejatinya sangat pro oligarki, baik partai politik, para pengusaha, kaum kapitalis baik domestik, asing maupun aseng.
Jargon demokrasi yang menyatakan "Suara Rakyat Suara Tuhan" sesungguhnya hanyalah jampi atau mantera politik yang menipu. Sebab kedaulatan dalam sistem demokrasi bukan ada ditangan rakyat tapi ditangan kaum pemodal. Berbagai produk perundangan, banyak diproduksi untuk melayani kepentingan kaum pemodal (baca : investor).
Sebut saja diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketiga UU ini, adalah contoh legislasi di tahun 2020 yang menentang aspirasi rakyat dan sangat pro terhadap kepentingan oligarki (partai politik, pemodal, kapitalis asing dan aseng).
Kedua, Konstelasi politik nasional tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik Global khususnya kebijakan politik barat terhadap dunia Islam. Narasi War On Radicalism merupakan kelanjutan dari program War On Terrorism yang sejatinya adalah program Barat untuk memerangi Islam (War On Islam).
Kebijakan pembubaran ormas Islam (HTI, FPI), Kebijakan Kontra Radikalisme, penghapusan ajaran Islam termasuk di dalamnya Khilafah dari kurikulum pendidikan, penyematan stigma Islam Radikal, Islam Fundamentalis, Islam Konservatif, dan pengarusutamaan Islam Moderat, Islam Nusantara, adalah program turunan yang diadopsi oleh penguasa nasional yang merupakan 'mandat' dari penguasa global yakni Amerika penjajah pengemban ideologi kapitalisme sekuler.
Geliat kebangkitan Islam politik yang menggejala secara umum di berbagai belahan negeri kaum muslimin termasuk di negeri ini, telah mengkhawatirkan barat kapitalis.
Peradaban kapitalisme barat, merasa terancam dengan eksistensi Islam khususnya Islam kaffah yang memiliki visi menerapkan hukum Allah SWT dan menggusur eksistensi sekulerisme demokrasi warisan barat.
Karena itu, sejumlah kebijakan nasional yang kontra terhadap kebangkitan Islam tidak aneh. Karena sejatinya, selain mempertahankan kekuasaannya, para penguasa antek di negeri kaum muslimin sejatinya juga menjalankan agenda barat untuk menghalau kebangkitan Islam. Sayangnya, usaha ini sia-sia. Sebab, saat Allah SWT menghendaki perubahan, maka Allah SWT sendiri yang menggenapi syaratnya. Indikasi kebangkitan Islam, saat ini lebih sulit untuk diingkari oleh siapapun yang dapat mengindera fakta secara jernih.
Ketiga, fungsi lembaga Negara adalah menjalankan mandat kekuasaan. Karena kekuasaan politik rezim saat ini tidak lepas dari hegemoni barat kapitalis, maka tidak heran sejumlah lembaga negara disalahgunakan untuk menjalankan misi menghalangi kebangkitan Islam.
Berbagai tindakan kriminalisasi, persekusi, alienasi terhadap ajaran Islam dan pengembangannya secara telanjang diadopsi dan dilakukan oleh sejumlah lembaga Negara. Slogan 'Negara Tidak Boleh Kalah' bukan dimaksudkan untuk menghadapi tantangan musuh (seperti China dan OPM), tapi digunakan untuk menekan berbagai gerakan yang memiliki visi dan orientasi Islam.
Terakhir, FPI dipersoalkan karena dalam visi misi yang dianut dalam ketentuan pasal 6 AD ART nya. visi dan misi FPI adalah penerapan syariat Islam secara kafah di bahwa naungan khilafah Islamiah menurut manhaj nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad. Hal inilah, yang menyebabkan FPI tidak diperpanjang SKT nya dan akhirnya berujung terbit SKB 6 Pejabat Tinggi Kementerian dan Lembaga.
Namun, dibalik semakin represifnya rezim sesungguhnya terdapat peluang yang makin besar. Yakni, peluang diadopsinya visi misi Islam kaffah yang diterapkan melalui institusi Khilafah semakin menjadi arus utama perjuangan Umat Islam.
Berbagai kegagalan dan kekecewaan umat terhadap sistem politik demokrasi, menjadikan umat ini berfikir ulang dan mencari jalan perubahan yang benar.
Dalam kondisi itulah, pengemban dakwah harus siap menjadi mitra umat, untuk menunjukkan peta jalan perubahan yang benar, baik secara global hingga rincian, agar umat ini bisa berhimpun bersama-sama dalam perjuangan untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan daulah Khilafah.
Memang benar, peluang yang besar selalu disertai dengan ancaman dan tantangan yang besar. Namun, ini semua sunatullah. Seluruh Nabi dan Rasul, ketika mengemban visi perubahan dari langit, yakni visi perubahan yang berdasarkan mandat Wahyu ilahi, semuanya mendapatkan tantangan dan hambatan. Meminjam istilah dari Ust Ismail Yusanto, semua menghadapi ATHGR (Ancaman, Tantangan, Hambatan, Gangguan dan Rintangan).
Penulis kira, resep untuk menghadapi itu semua adalah dengan tetap berjuang, ikhlas dan Istiqomah. Seluruh pengemban dakwah, harus siap mengambil beban dan tanggung jawab perjuangan, sebagai alasan umat ini masih memiliki harapan.
Jika pengemban dakwah lalai, tidak Istiqomah, kemanakah lagi Umat akan menunjuk risalah perubahan? Saat kita telah meyakini peta perjuangan yang sahih, maka kita dituntut untuk Istiqomah menapaki jalannya, hingga Allah SWT turunkan pertolongan dan kemenangan, atau kita binasa karenanya. [].
0 Komentar