
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْÙŠَÙˆْÙ…َ Ø£َÙƒْÙ…َÙ„ْتُ Ù„َÙƒُÙ…ْ دِينَÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َتْÙ…َÙ…ْتُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ Ù†ِعْÙ…َتِÙŠ Ùˆَرَضِيتُ Ù„َÙƒُÙ…ُ الإسْلامَ دِينًا
“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa’idah: 3]
Ayat di atas, adalah diantara bagian dari Closing Statement yang disampaikan oleh Bang Ichsanuddin Noorsy saat melakukan dialog ekonomi dengan Ichsan Thalib, Penyiar Legendaris Radio Rasil, pagi ini (Selasa, 2/2/21). Diskusi hangat tersebut, sempat saya simak dalam perjalanan menuju Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk menghadiri sidang Pembelaan Gus Nur.
Diantara materi yang saya tangkap adalah kritikan Bang Ichsan atas kebijakan wakaf uang tunai. Juga yang terpenting, ilmu ekonomi tidak boleh dipisahkan dari ilmu sosial yang sarat akan value (nilai). Bahkan, ilmu ekonomi tidak boleh dipisahkan dari Sistem Ekonomi sebagai satu kesatuan perspektif. Lebih luas lagi, ilmu dan sistem ekonomi tak boleh dilepaskan dari perspektif idelogi.
Saya sependapat, ada persoalan atas sejumlah instrumen ekonomi Islam yang dipaksa dicangkokkan dalam sistem ekonomi induk yang berbasis ekonomi liberal (ideologi Kapitalisme). Dalam konteks Wakaf uang tunai, misalnya. Instrumen ini hanyalah dipandang sebagai 'Cara' untuk menghimpun dana dari masyarakat khususnya publik Islam (umat), tanpa dikaitkan dengan value Islam. Yakni, sejumlah keyakinan akan nilai (Fiqh) dalam epistemologi pemikiran Islam.
Wakaf sendiri didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah (pasal 1 UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf).
Itu artinya, wakaf hanya berlaku bagi pemanfaatan dzat benda wakaf, bukan penggunaan dzat bendanya itu sendiri, baik pada periode waktu tertentu maupun tak tertentu (selamanya). Dengan definisi ini, wakaf hanya bisa terjadi pada benda bergerak maupun tidak bergerak, yang tujuannya untuk diambil manfaatnya, bukan dihabiskan Dzatnya. Karena itu, wakaf hanya bisa dilakukan pada objek benda berupa kendaraan seperti mobil, motor, atau benda tak bergerak seperti tanah, bangunan, dll.
Secara fiqh wakaf tidak bisa diberlakukan pada uang, karena pada kasus uang yang dimanfaatkan adalah dzatnya (uang tersebut), bukan manfaat atas benda seperti pada objek Tanah, gedung atau kendaraan.
Saya tergelitik dengan ungkapan Bang Ichsanudin Noorsy yang memberi label para inisiator progam wakaf uang sebagai 'ahli ekonomi Islam yang saking ahlinya' mengusulkan program wakaf uang, yang terpisah dari value Islam khususnya pembahasan fiqh Islam. Perspektif para 'Ahli Eonomi Islam' ini dimana Sri Mulyani berkedudukan sebagai ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam, hanya berorientasi pada usaha *'bagaimana cari duit dari umat Islam',* tidak lagi mempedulikan aspek-aspek syar'i dari sejumlah instrumen ekonomi yang dikeluarkan.
Saya tidak ingin membahas tema diskusi tersebut lebih lanjut, tapi saya ingin menyambungkan pernyataan Bang Ichsanudin Noorsy yang menyatakan tidak boleh memisahkan ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi. Sehingga, program yang diterapkan pemerintah bisa benar-benar murni ekonomi Islam dan bukan islamisasi ekonomi.
Label 'Syariah' yang disematkan pada sejumlah instrumen ekonomi haruslah benar-benar syar'i. Bukan sekedar klaim syar'i yang dengan itu, diharapkan akan menimbulkan kepercayaan publik Islam sehingga menempatkan dananya pada sejumlah instrumen ekonomi Islam yang dikeluarkan pemerintah.
Dalam konteks ekonomi, kita hanya banyak membahas pada sektor hilir yakin pada mikroekonomi dengan mengadopsi sejumlah instrumen ekonomi syariah dalam meningkatkan produksi. Kenapa kita tidak berfikir pada tataran makro ekonomi? Pada sistem ekonomi? Pada kebijakan fiskal dan moneter Islam, dan tidak hanya berdiskusi pada tataran receh, pada instrumen ekonomi yang hanya berkutat pada urusan zakat, infak dan sedekah, minus riba?
Dalam konteks makro ekonomi khususnya kebijakan fiskal dan moneter, kenapa para ahli ekonomi Islam tidak bicara tentang Kharaj? Jizyah? Usyur? Harta Jenis Al Milkiyatul Ammah berupa segala jenis tambang yang depositnya melimpah, juga hutan dan lahan konversi dari hutan, yang potensinya ribuan triliun bahkan puluhan ribu triliun sebagai sumber APBN?
Kenapa para ahli ekonomi Islam sibuk dengan uang receh seperti dari potensi zakat, infak dan sedekah? Bukan mengabaikan, ini juga menjadi pos pendapatan negara. Tapi jumlahnya, kalah jauh dengan pos pemasukan dari jenis harta yang saya sebutkan di atas.
Dalam kebijakan moneter, kenapa para ahli ekonomi Islam hanya sibuk mengoptimalkan diskursus bahaya riba? Kenapa, tidak bicara sistem moneter yang berbasis emas dan perak, yang menjadi sistem mata uang yang kokoh, anti devaluasi baik inflasi maupun deflasi?
Dan kenapa, kajian ekonomi Islam diputus atau tidak dikaitkan dengan Khilafah? Karena dalam Islam, institusi yang menerapkan kebijakan ekonomi Islam, baik dalam makroekonomi maupun mikro ekonomi adalah Khilafah. Kenapa, tidak membahas ekonomi Islam dalam kerangka kebijakan fiskal dan moneter dalam lingkup Daulah Khilafah?
Kenapa, hanya mau terjebak pada diskusi remeh temeh ngurusi Infak? Sedekah? Dan memelas kepada rakyat agar membantu kantong keuangan negara yang lagi bokek?
Kenapa, tidak bicara semua tambang menurut ekonomi Islam terkategori milik umum, haram dikuasai swasta apalagi asing. Semua itu harus dikelola negara sebagai sumber APBN, dan dapat digunakan untuk membiayai pelayanan dan pemberian fasilitas dari negara kepada rakyat?
Saya setuju, apa yang dikatakan Bang Ichsan. Pendekatan ekonomi Islam tak bisa an sich masalah ekonomi, apalagi fokus pada ilmu ekonomi. Wajib dipahami secara multidisiplin ilmu, dan yang terpenting wajib dipahami dengan pendekatan persepektif ideologi.
Ekonomi Islam yang dicangkokkan dalam sistem politik demokrasi sekuler, itu seperti memelihara ikan dalam aquarium. hidup sih, terlihat indah. Tapi, jelas produksinya tak akan menghasilkan produk yang memenuhi kebutuhan masyarakat akan konsumsi ikan.
Saya mengajak kepada segenap ahli ekonomi Islam untuk kembali kepada Islam secara kaffah. Agama ini telah sempurna, tidak patut bagi kita untuk melirik sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Sudah saatnya, kita berjuang menerapkan ekonomi Islam dalam naungan Daulah Khilafah.
Bang Ihsan, kalau kebetulan baca tulisan ini, kangen nich kita keliling Jawa Timur untuk diskusi lagi. Dengan Bang Edy Mulyadi lagi juga boleh. Selama pandemi ini, terpaksa Dech kita bertahan didalam kota. tetapi saya perhatikan, pemikiran abang terus beredar menembus batas kota, hingga ke berbagai pelosok negeri. [].
0 Komentar