KISAH PARA REMAJA PENJAGA MORAL


Oleh: Muhar
Pemerhati Sosial

Senin pagi itu, 13 Februari 2017, langit Sampit belum terlalu cerah. Namun, langkah-langkah remaja berpakaian sopan, sebagian berseragam sekolah, sudah menyusuri bundaran kantor Kapolres Kotawaringin Timur, Jalan Jenderal Sudirman, Kalimantan Tengah.

Para remaja itu tidak membawa bunga, dan tidak pula cokelat, layaknya menyambut hari Valentine yang biasa dirayakan muda-mudi di setiap tanggal 14 Februari.

Sebaliknya, mereka justru membawa poster-poster penolakan bertuliskan: “Valentine Bukan Budaya Kami”, “Cinta Tak Harus Maksiat”, dan “Generasi Muda Butuh Perlindungan, Bukan Perayaan Sesat”.

Di antara barisan itu, berdirilah salah seorang Pelajar. Wajahnya tampak tenang, namun hatinya bergemuruh oleh keyakinan.

Kita bukan menolak cinta,” cetusnya pada teman-teman para peserta aksi di sekelilingnya.

Tapi kita sedang melindungi makna cinta yang hakiki. Cinta yang dirahmati, bukan dilacurkan oleh budaya Barat.” lanjutnya.

Dengan megafon di tangan, salah seorang lainnya menyampaikan orasi:

Valentine itu budaya Barat dan identik dengan pergaulan bebas. Ini bisa merusak generasi muda kita. Seharusnya pemerintah membuat aturan untuk melarang budaya negatif dari Barat seperti ini.” ujarnya.

Orasi disambut takbir dan tepuk tangan. Meski jumlah mereka tak sampai ratusan, suara moral yang mereka bawa menggema lebih jauh daripada sekadar radius bundaran kota.

Para pengendara yang melintas menoleh, beberapa melambatkan laju kendaraannya, sebagian mengangguk dalam diam.

Satu per satu, pelajar dan mahasiswa binaan organisasi dakwah Hizbut Tahrir Indonesia atau yang ketika itu dikenal dengan sebutan HTI naik ke panggung orasi.

Dengan suara lantang dan rasa kepedulian yang tinggi terhadap kerusakan moral generasi, mereka menyampaikan pesan-pesan penolakan terhadap valentine yang dianggap menghalalkan maksiat dan menghancurkan akhlak pemuda.

Mereka berbicara bukan atas nama pribadi, tapi atas nama kepedulian terhadap generasi yang kian dirusak budaya pergaulan bebas yang hedonistik. Jauh dari nilai-nilai agama.

Salah seorang peserta juga naik ke atas mimbar kecil dari peti kayu. “Saya pelajar biasa. Tapi hari ini saya memilih jadi pelajar yang peduli. Valentine bukan budaya kami. Bukan budaya bangsa ini. Bukan ajaran Islam. Jangan biarkan kami hanyut dalam arus sesat yang dibungkus romantisme murahan!” serunya menginginkan kebaikan bagi Indonesia.

Sorak-sorai kecil terdengar. Tapi lebih dari itu, ada getar kejujuran dalam suara orasinya.

Mereka bukan sedang mencari muka atau perhatian. Mereka sedang membela kehormatan diri dan generasinya, generasi yang ingin tetap suci, tetap lurus, tetap berada dalam kebaikan punya masa depan.

Polisi menjaga dengan tenang. Tidak ada kericuhan. Tidak ada kerusakan. Karena memang bukan itu tata cara (metode) dakwah Islam yang diemban, dipegang teguh dan diajarkan oleh HTI.

Terbukti, mereka berdiri, melakukan aksi, dan menyampaikan aspirasinya menyuarakan Islam dengan damai, tertib, terarah, dan tanpa kekerasan atau anarkisme.

Lebih banyak mudaratnya dan lebih mengarah pada maksiat. Ini tentu bertentangan dengan ajaran agama,” tegas orator di penghujung aksi.

Pemerintah seharusnya peduli terhadap masalah ini, karena dampaknya besar terhadap generasi penerus.” pesannya mengingatkan.

Kami bukan generasi yang anti cinta. Kami hanya ingin cinta dalam ridha-Nya. Dan HTI membimbing kami ke arah itu.” tutup orator.

Setelah orasi selesai yang ditutup dengan ucapan salam, mereka pun membubarkan diri dengan tenang. Tapi pesan mereka tak ikut bubar. Pesan itu menyelinap ke pikiran siapa saja yang menyaksikan. Mengendap, lalu tumbuh jadi pertanyaan: apakah benar Valentine itu cinta?

Posting Komentar

0 Komentar