
Oleh: Diaz
Jurnalis
Sebuah video viral memunculkan tanya besar tentang arah sistem penegakan hukum di negeri ini. Seorang perempuan, sebut saja Anita, yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), justru mencari perlindungan ke petugas pemadam kebakaran, bukan ke polisi. Bukan karena tidak tahu jalur hukum, tapi karena jalur itu dirasanya telah buntu.
Laporannya ke Polres Metro Bekasi Kota sejak 20 Juni 2025 tak digubris. Hingga akhirnya ia nekat menghubungi damkar dan menyampaikan niat untuk mengakhiri hidupnya. Petugas damkar pun sigap. Mereka datang, menemukan tubuh Anita penuh memar, dan berhasil menggagalkan niat bunuh dirinya.
Polisi tentu membantah. Mereka mengklaim laporan Anita sudah ditangani dan pelaku telah ditangkap. Tapi klarifikasi itu tak mampu menghapus kenyataan bahwa seorang korban lebih memilih damkar ketimbang polisi. Fakta ini bukan hanya ironi, tapi alarm keras kegagalan sistem perlindungan korban di negeri ini. (Tempo, 02-07-2025)
Cacat Sistemik, Bukan Sekadar Oknum
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak mencatat 13.738 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama Januari–Juni 2025. Namun jumlah itu jauh dari kata selesai. Lembaga Bantuan Hukum APIK mengungkapkan, dari 757 kasus kekerasan terhadap perempuan yang mereka tangani sepanjang 2024, hanya 74 yang benar-benar diproses. Sisanya mandek, dialihkan ke mediasi, atau malah korban disalahkan.
Petugas kepolisian seringkali memposisikan korban sebagai pihak yang harus membuktikan kejahatan yang menimpanya. Mereka baru mau bertindak jika korban datang lengkap dengan bukti. Padahal menurut KUHAP, mencari bukti adalah kewajiban penyidik, bukan korban. Bahkan, banyak korban justru mendapatkan ceramah moral. Kekerasan rumah tangga dianggap “bumbu kehidupan” yang tak perlu dibawa ke jalur hukum.
Celakanya, kegagalan ini bukan hanya di tingkat bawah. Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Perdagangan Orang yang dibentuk akhir 2024 tak mampu memastikan perlindungan yang memadai. Banyak laporan tetap mandek, proses hukum lambat, dan tidak ada transparansi. Melansir dari Tempo, mereka mencoba meminta penjelasan dari pejabat Mabes Polri, tak ada yang merespons. Sebuah sikap diam yang makin memperlihatkan lumpuhnya sistem.
Sementara itu, berbagai peraturan sebenarnya sudah ada, UU PKDRT, UU TPKS, UU Perlindungan Anak. Tapi regulasi tanpa implementasi hanya akan menjadi teks tanpa makna. Bahkan anggota DPR dan akademisi hukum sepakat bahwa aparat tak boleh menolak laporan, sebagaimana diatur KUHAP dan Peraturan Polri. Tapi aturan itu gagal dijalankan karena paradigma aparat tidak berpihak pada korban.
Negara yang Menjamin Perlindungan Nyata
Di sinilah kegagalan sistem sekuler buatan manusia terlihat telanjang. Sistem yang menitikberatkan pada prosedur tanpa empati, pada regulasi tanpa keimanan, telah gagal melindungi perempuan dan anak. Keberadaan aparat hanyalah simbol kekuasaan hukum yang kering dan tak berpihak. Maka, solusi tidak cukup dengan pelatihan atau pengawasan internal. Solusi mendasarnya adalah perubahan sistemik menuju penerapan hukum Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Dalam Islam, perlindungan terhadap jiwa manusia, terutama perempuan dan anak sebagai kelompok rentan, adalah prioritas utama negara. Rasulullah ï·º bersabda, "Seorang Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam struktur negara Islam, Khalifah akan mengangkat Qadhi (hakim), Muhtasib (pengawas), dan aparat lain yang benar-benar memahami syariat, bukan hanya hukum positif.
Islam tidak mengenal kompromi terhadap pelaku kekerasan. Negara akan menjatuhkan sanksi sesuai kadar kejahatan: dari ta’zîr hingga had atau qishâsh. Dan negara pula yang bertanggung jawab memfasilitasi bukti, memproses hukum, serta melindungi korban secara penuh. Tidak ada istilah korban harus membawa bukti dulu. Karena dalam sistem Islam, pengumpulan bukti adalah tugas negara untuk mencarinya, bukan beban korban.
Perlindungan ini tidak hanya bersifat hukum, tapi juga pencegahan melalui sistem sosial Islam. Sistem pendidikan Islam menanamkan penghormatan kepada perempuan. Sistem ekonomi Islam menjamin kebutuhan dasar keluarga, sehingga kekerasan akibat tekanan ekonomi bisa ditekan. Dan sistem politik Islam menjamin seluruh warga negara, tak peduli jenis kelamin, mendapat hak dan keamanan yang sama.
Namun semua ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya institusi negara Islam, yaitu Khilafah. Sebab hanya Khilafah yang akan menerapkan syariat secara kaffah, bukan parsial, bukan simbolik. Hanya Khilafah yang akan menjadikan hukum Allah ï·» sebagai satu-satunya standar, bukan digabung dengan hukum buatan manusia. Dalam Khilafah, tidak akan ada korban kekerasan yang dibiarkan putus asa, apalagi sampai merasa lebih aman lapor ke damkar daripada polisi.
Saatnya Berpikir Ulang tentang Sistem
Kasus Anita adalah gambaran nyata rusaknya sistem hukum hari ini. Ketika korban kekerasan justru ditolak atau diabaikan aparat, lalu kepada siapa rakyat bisa berharap? Negara hari ini bukan tak punya aturan, tapi kehilangan arah. Karena sistemnya bukan dibuat untuk taat kepada Allah, melainkan untuk menjaga kekuasaan manusia.
Sudah saatnya umat Islam tidak lagi menambal kebocoran dengan tambalan prosedural. Kita butuh perubahan sistemik. Bukan sekadar mengganti orang, tapi mengganti sistem. Karena hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah, hukum Allah ï·» bisa ditegakkan, dan keadilan bisa benar-benar dirasakan. Jika keadilan tak lahir dari sistem buatan manusia, maka saatnya kita kembali kepada sistem yang diturunkan oleh Zat Yang Mahaadil: Allah ï·».
0 Komentar