
Oleh: Aulia Zuriyati
Aktivis Muslimah
“Janji manis keuntungan cepat hanyalah ilusi, indah dipandang di awal, namun berakhir dengan kekecewaan.”
Kasus penipuan lewat arisan online kembali mencuat, kali ini menimpa Mei Rani Feri Astuti, seorang ibu rumah tangga asal Kecamatan Medan Marelan. Ia dituntut 2,5 tahun penjara karena diduga menggelapkan uang arisan online yang dikelolanya. Tak tanggung-tanggung, ia tercatat menjadi admin dari 175 grup arisan, jumlah yang fantastis untuk dijalankan seorang diri. Banyak grup yang bermasalah, hingga akhirnya terungkap praktik “gali lubang tutup lubang” yang merugikan peserta (Mistar, 06/08/2025).
Salah satu korban, Andreas Henfri Situngkir, mengalami kerugian puluhan juta rupiah. Padahal ia rutin membayar iuran sesuai kesepakatan, namun ketika tiba gilirannya menerima arisan, uang tidak diberikan. Modus “gali lubang tutup lubang” yang dijalankan sangat mirip dengan skema Ponzi, yakni uang dari anggota baru digunakan untuk menutupi kekurangan pada grup lama. Karena minimnya literasi keuangan, masyarakat mudah tergiur janji keuntungan cepat. Akhirnya, banyak yang terjebak dan menjadi korban.
Padahal, kasus serupa bukan kali ini saja terjadi. Hampir setiap tahun muncul berita tentang penipuan arisan, investasi bodong, hingga judi berkedok bisnis. Semua ini berakar dari mentalitas instan: ingin cepat mendapat keuntungan tanpa memikirkan risiko. Ditambah lagi, kondisi ekonomi masyarakat bawah yang semakin terhimpit, membuat mereka mencari jalan pintas agar bisa mendapat tambahan penghasilan. Akhirnya, mereka menjadi sasaran empuk para penipu.
Jika kita perhatikan lebih jauh, akar persoalan ini bukan hanya soal individu yang berbuat curang, melainkan sistem yang membiarkan praktik semacam ini tumbuh subur. Dalam sistem ekonomi kapitalis, negara tidak benar-benar hadir untuk melindungi rakyat. Hukum dibuat semata untuk menindak setelah kerugian terjadi, tanpa edukasi, tanpa pengaturan ketat, dan tanpa mekanisme pencegahan. Wajar jika kasus penipuan terus berulang-ulang, hanya ganti nama dan modus.
Islam sebenarnya sudah lama mengingatkan agar umat menjauhi praktik muamalah yang mengandung ketidakjelasan (penipuan). Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).
Arisan online yang tidak jelas akadnya, tidak transparan, dan berpotensi merugikan jelas bertentangan dengan prinsip syariah.
Lebih dari itu, Islam juga mengatur bagaimana aktivitas ekonomi seharusnya berjalan. Dalam Islam, setiap akad harus jelas, transparan, dan bebas dari unsur yang merugikan salah satu pihak. Jika berbicara soal simpan, pinjam atau investasi, maka harus ada kejelasan akad: apakah itu qardh (pinjaman tanpa bunga), mudharabah (bagi hasil), atau musyarakah (kerja sama modal). Dengan begitu, tidak ada pihak yang dirugikan, dan keuntungan serta risiko ditanggung sesuai kesepakatan syariah.
Tugas negara dalam Islam juga sangat penting. Negara bukan hanya menghukum pelaku penipuan, tetapi juga mencegah peluang terjadinya penipuan. Negara harus memastikan bahwa aktivitas ekonomi berjalan dalam koridor syariah. Negara wajib memberi edukasi kepada masyarakat tentang bahaya skema haram seperti Ponzi, riba, maupun perjudian terselubung. Dengan begitu, masyarakat terlindungi sejak awal, bukan hanya dibiarkan lalu menanggung kerugian.
Kasus arisan online di Kecamatan Medan Marelan seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Mau sampai kapan masyarakat akan terus menjadi korban penipuan? Sampai kapan hukum hanya hadir ketika uang sudah raib? Dan sampai kapan kita membiarkan sistem kapitalis yang rapuh ini makin merajalela?
Islam menawarkan solusi yang menyeluruh. Bukan hanya melarang penipuan, tetapi juga menyediakan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan menenteramkan. Sistem yang menutup celah praktik haram, sekaligus menjamin keamanan muamalah. Jika kita benar-benar ingin bebas dari penipuan, maka solusi Islam inilah yang harus kita perjuangkan.
Sudah cukup rasanya menjadi korban. Jangan biarkan penipuan terus merajalela. Saatnya kembali pada aturan Allah yang sempurna, yang melindungi setiap individu, dan menghadirkan keadilan sejati dalam kehidupan kita bermasyarakat.
0 Komentar