PAJAK TIDAK SAMA DENGAN ZAKAT


Oleh: Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Pada Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah yang diadakan pada 13 Agustus 2025, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa membayar pajak memiliki nilai kemuliaan yang setara dengan zakat dan wakaf. Secara fungsional sama, imbuhnya. Menurutnya, harta yang kita miliki ada hak orang lain yang membutuhkan. Jadi manfaat pajak itu kembali kepada yang membutuhkan, tegasnya.

Selanjutnya, Menkeu menjelaskan bahwa pajak yang dibayarkan digunakan untuk program-program nasional seperti alokasi untuk 10 juta PKH (Program Keluarga Harapan), tambahan sembako untuk 18 juta keluarga miskin, program MBG dan lainnya. Ditambah pula, pajak itu digunakan untuk program pembangunan berkelanjutan yang tentunya bermanfaat bagi semua warga negara.

Mari sekarang kita merujuk disiplin hukum di Indonesia terkait pajak, zakat, dan wakaf. Menurut UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib, bersifat memaksa, tanpa imbalan langsung, dan dipergunakan untuk membiayai negara. Sedangkan untuk zakat, dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun 2011 Pasal 22 tentang Pengelolaan Zakat, bahwa zakat yang dibayarkan lewat BAZNAS/LAZ resmi bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak, bukan pengganti pajak.

Terkait wakaf, bisa dilihat dalam PP No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 Tahun 2006. Wakaf didefinisikan sebagai pemisahan harta untuk ibadah atau kesejahteraan umum sesuai syariah, dan bersifat sukarela. Berdasarkan aturan perundang-undangan tersebut jelas membedakan antara pajak, zakat, dan wakaf. Dengan demikian, pernyataan Sri Mulyani bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan kewajiban yang bersifat memaksa bagi setiap warga negara. Warga negara adalah pihak yang membiayai negara lewat pajak. Anehnya, dalam implementasi penarikan pajak, ada ketidakadilan. Contohnya seperti program Tax Amnesty yang merupakan pengampunan pajak terhadap orang kaya yang menyimpan asetnya di luar negeri demi menghindari kewajiban pajak.

Tax Amnesty jilid I tahun 2016-2017 diikuti 956.793 wajib pajak dengan nilai aset hartanya sebesar Rp 4.854,63 triliun. Negara hanya menerima tebusan sebesar Rp 114,02 triliun atau 69 persen dari target tebusan Rp 165 triliun. Walhasil, Tax Amnesty cukup dilakukan dengan membayar uang tebusan dan menghapus kewajiban membayar pajak.

Artinya, orang-orang kaya akan memanfaatkan fasilitas Tax Amnesty guna mengamankan aset dan harta bendanya. Apalagi, pemerintah berencana akan melakukan Tax Amnesty Jilid III di tahun 2025 ini. Inilah anomali pajak. Orang kaya diampuni dari kewajiban pajak.

Sedangkan masyarakat umum yang kebanyakan kalangan kelas menengah dan bawah terus menerus diingatkan untuk membayar pajak. Tentunya, mereka tidak berdaya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk memindahkan aset mereka ke luar negeri. Boro-boro melarikan aset, untuk makan sehari-hari saja sudah susah.

Ini yang pertama, anomali dalam pelaksanaan penarikan pajak. Yang kedua, masyarakat dihimbau agar membayar pajak, akan tetapi uang negara selalu digerogoti oleh gurita korupsi. Sedangkan uang negara itu sektor penerimaan terbesar dari pajak. Artinya, warga membayar pajak untuk dikorupsi. Bahkan, Indonesia menempati peringkat ke-3 negara paling korup di Asia.

Poin ketiga, pajak dikatakan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemerintah mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2025 mengalami penurunan menjadi 8,47 persen, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta per Maret 2025. Angka kemiskinan ini dihitung berdasarkan standar BPS, yang menyatakan bahwa pengeluaran di bawah Rp 600 ribu per bulan dikategorikan sebagai miskin. Padahal, Rp 600 ribu per bulan sangatlah angka yang tidak manusiawi.

Jika kita merujuk pada standar kemiskinan Bank Dunia, yang menetapkan bahwa pengeluaran di bawah 3,65-6,85 dolar AS per hari atau sekitar Rp 1,23 juta per bulan dianggap miskin, maka Indonesia berada di peringkat ke-4 sebagai negara termiskin di dunia. Tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 60,3 persen, atau sekitar 171,8 juta jiwa.

Terlihat sekali rakyat Indonesia mayoritasnya berada dalam garis kemiskinan. Apalagi ada arahan dari Menkeu agar daerah kreatif dalam mencari sumber pendapatannya. Hasilnya, pajak makin diperluas dan ditingkatkan. PBB dinaikkan hingga di atas 200 persen. Bukankah ini makin membuat rakyat miskin dan menderita?! Artinya, penarikan pajak dari rakyat tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraannya.

Adapun zakat di dalam Islam mempunyai aturan tertentu. Jika tidak mencapai nisab (kadar tertentu) dan haul (belum satu tahun), maka tidak ada kewajiban zakat. Sedangkan pendistribusian zakat hanya untuk 8 golongan yang ditentukan dalam Islam. Jadi zakat tidak diperuntukkan bagi proyek-proyek pembangunan infrastruktur negara. Zakat murni diambil dari orang kaya dan tidak ada pengampunan zakat jika sudah mencapai nisab dan sudah haul. Zakat memiliki peran untuk menyucikan jiwa dan harta yang dimiliki, karena di dalamnya terkandung hak orang-orang yang membutuhkan, seperti fakir dan miskin.

Apalagi, kalau menyamakan pajak dengan wakaf sangat jauh berbeda. Wakaf di dalam Islam itu disebut Shodaqoh Jariyah, yakni shodaqoh yang pahalanya terus mengalir meskipun yang berwajah meninggal dunia. Disebut Shodaqoh, karena wakaf itu hukumnya Sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu, menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf merupakan perbandingan yang tidak sesuai konteks dan terkesan dipaksakan. Kita paham bahwa pemerintah sedang kebingungan karena total utangnya mencapai Rp 20.750 triliun. Sedangkan pajak merupakan satu-satunya instrumen pemasukan negara yang diambil dari rakyat.


Ekonomi Syariah itu Tidak Hanya Zakat dan Wakaf

Menyematkan label syariah untuk membuat warga negara patuh membayar pajak adalah bentuk manipulasi yang dilakukan oleh negara kapitalis. Dari sini dapat dipahami bahwa jualan istilah syariah lebih bisa diterima masyarakat setelah semua himbauan yang dilakukan tidak mendapat sambutan baik dari masyarakat.

Ekonomi syariah itu meliputi faktor kepemilikan, pengembangan harta, dan pendistribusian harta. Kekayaan alam termasuk kepemilikan umum yang tidak boleh diserahkan kepada individu maupun korporasi, lebih-lebih kepada negara imperialis. Hanya negara yang berhak mengelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Realitasnya, kekayaan alam Indonesia sudah dikangkangi oleh asing, Aseng, dan oligarki. Artinya, dalam hal kepemilikan tidak sesuai dengan syariah.

Begitu pula dalam pengembangan harta. Islam melarang mengembangkan harta dengan kedholiman dan riba. Jika negara mengelola harta dengan mekanisme utang riba, tentunya tidak bisa disebut sesuai syariah. Selain itu, melalui berbagai cara, pemerintah mengurangi anggaran untuk pelayanan masyarakat di sektor pendidikan, kesehatan, dan sektor lainnya. Tentunya ini mengurangi hak rakyat.

Begitu pula dalam pendistribusian harta. Satu persen dari penduduk yang kaya telah mengendalikan 50 persen dari total kekayaan nasional. Tentu ini menyalahi prinsip distribusi dalam Islam agar harta itu tidak berputar di kalangan orang-orang kaya saja, sehingga hajat hidup orang banyak bergantung belas kasihan segelintir orang. Meskipun bukan berarti Islam menyamaratakan kesejahteraan di kalangan masyarakat.

Terkait dengan pajak, memang dalam ekonomi syariah itu ada pajak. Namun, makna pajak dalam Islam berbeda dengan pajak yang diterapkan dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini. Pajak saat ini istilahnya al-Maksu. Dalam hal ini, Rasulullah ï·º menyatakan:

لا يدخل الجنة صاحب مكس
Tidak masuk surga para penarik pajak (al-Maksu).

Al-Maksu itu pajak yang dzalim. Pajak yang diwajibkan atas semua rakyat tanpa kecuali. Pajak yang ditarik terus-menerus meskipun kas negara ada atau penuh. Maka inilah pajak yang dzalim.

Sedangkan pajak dalam Islam adalah dharibah. Dharibah merupakan pilihan terakhir yang diterapkan ketika kas negara kosong atau tidak cukup untuk menutupi pengeluaran negara yang wajib dan rutin. Sementara utang kepada negara lain itu sama saja dengan bunuh diri politik. Dharibah hanya dikenakan pada rakyat yang mampu dan disesuaikan besarannya tidak mengikat. Dharibah dihentikan saat hajat negara sudah terpenuhi.

Walhasil, pajak dzalim yang merupakan instrumen kapitalisme bertentangan dengan konsepsi pajak dalam Islam. Tentunya, adalah salah kaprah menganggap pajak bagian dari konsepsi ekonomi syariah. Termasuk menganggap menjalankan zakat dan wakaf berarti menjalankan ekonomi syariah adalah salah kaprah. Menyederhanakan ekonomi syariah dengan hanya mengambil zakat dan wakaf adalah sebuah konklusi yang keliru. Mengadopsi sistem ekonomi syariah harus utuh sehingga akan mampu menyelesaikan problem kemiskinan secara paripurna.

Posting Komentar

0 Komentar