
Oleh: Abu Ghazi
Pengamat Kebijakan Publik
Tujuh belas Agustus 1945. Di tengah suasana penuh haru dan tekad, Soekarno membacakan teks Proklamasi. Sejak saat itu, Indonesia resmi berdiri sebagai bangsa merdeka. Kini, delapan puluh tahun telah berlalu. Usia yang tidak singkat, hampir seabad lamanya. Idealnya, bangsa ini sudah berdiri kokoh dengan kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Namun kenyataan berkata lain. Di balik gegap gempita perayaan kemerdekaan setiap tahun, negeri ini justru masih dibelit persoalan yang tak kunjung usai. Kemiskinan, korupsi, utang menumpuk, hingga kerusakan moral generasi, semua menjadi potret buram perjalanan negeri yang katanya sudah merdeka.
Penjajahan yang Tak Pernah Pergi
Al-‘Allamah asy-Syaikh al-Imam al-Qadhi Taqiyudin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, pernah menjelaskan bahwa penjajahan (al-isti‘mâr) tidak hanya sebatas kisah masa lalu. Ia adalah metode baku yang terus digunakan negara-negara kapitalis, terutama Amerika Serikat, untuk menundukkan bangsa lain. Penjajahan itu kini hadir dalam wajah baru: menguasai ideologi, ekonomi, politik, budaya, hukum, hingga pertahanan.
Indonesia termasuk korbannya. Secara fisik, bendera penjajah memang telah diturunkan. Namun di bidang ekonomi, emas, minyak, dan gas bumi masih dikeruk perusahaan asing seperti Freeport, Exxon Mobil, hingga Newmont. Ironisnya, kehadiran mereka justru dilindungi oleh undang-undang negeri ini.
Begitu pula dalam bidang hukum, jejak kolonialisme Belanda masih terpelihara. Undang-undang warisan mereka tetap dipakai, sementara produk hukum baru pun tidak luput dari campur tangan asing.
Di sektor sosial-budaya, arus liberalisme sekuler menyerbu tanpa henti. Fenomena zina, LGBT, pornografi, judi online, hingga maraknya kekerasan menjadi bukti rusaknya tatanan masyarakat.
Politik pun tidak luput dari cengkeraman. Sistem demokrasi-sekuler yang dipertahankan justru menjadi pintu masuk bagi kepentingan asing lewat para kompradornya. Tidak sedikit regulasi lahir lebih menguntungkan pihak asing daripada rakyat negeri sendiri.
Penjajahan Ideologi: Lebih Berbahaya dari Senjata
Jika dulu rakyat bisa dengan mudah melihat kekejaman penjajah Belanda atau Jepang, kini penjajahan jauh lebih samar. Ia hadir dalam bentuk ideologi Kapitalisme-sekuler yang mengatur arah negeri ini. Karena tidak langsung menumpahkan darah, penjajahan ideologi sering dipandang tidak setragis penjajahan fisik. Padahal, akibatnya lebih dahsyat: penderitaan berkepanjangan dan kesenjangan sosial yang semakin melebar.
Syaikh Taqiyudin an-Nabhani menyebut penjajahan ideologi ini justru lebih berbahaya. Sebab, bangsa yang terjerat tidak hanya kehilangan kekayaan alamnya, tetapi juga kehilangan jati dirinya.
Hakikat Kemerdekaan dalam Pandangan Islam
Islam memandang kemerdekaan bukan sekadar terbebas dari kekuasaan bangsa lain, melainkan terbebas dari penghambaan manusia kepada manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah ﷻ. Selama manusia masih tunduk pada hukum buatan manusia dan ideologi selain Islam, sejatinya mereka masih terjajah.
Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan makna penghambaan ini dalam dialognya dengan Adi bin Hatim. Ketika Adi mengira kaumnya tidak menghambakan diri kepada para pendeta dan rahib, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa menaati mereka dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal adalah bentuk nyata dari penghambaan selain kepada Allah ﷻ.
Sejarah Islam juga mencatat pernyataan tegas Rab’i bin ‘Amir ats-Tsaqafi di hadapan Jenderal Rustum dari Persia:
الله ابْتَعَثْنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَة الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ
“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat; dan dari kezaliman berbagai agama menuju keadilan Islam.”
Ungkapan itu menggambarkan misi besar Islam: menghadirkan kemerdekaan hakiki bagi manusia.
Jalan Menuju Kemerdekaan Hakiki
Momentum peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi ajang perenungan ideologis. Sudah saatnya bangsa ini menyadari bahwa kemerdekaan yang dimiliki hanyalah semu. Selama ideologi Kapitalisme-sekuler masih bercokol, penderitaan akan terus berlangsung.
Islam membawa tawaran solusi: kembali kepada syariah secara kâffah. Dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara, rakyat akan merasakan kemerdekaan sejati. Negara pun akan tegak berdaulat, hanya tunduk pada Allah ﷻ, bukan pada tekanan asing. Inilah yang disebut takwa, kunci turunnya keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an surat al-A‘raf ayatv96.
Sebaliknya, jika bangsa ini terus berpaling dari syariah, maka sempitnya kehidupan dan kezaliman akan terus menghimpit, sebagaimana yang diingatkan Al-Qur'an dalam surat Thaha ayat 124.
Maka, jalan satu-satunya adalah kembali pada institusi politik Islam: Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Hanya dengan Khilafah, kemerdekaan hakiki bisa diwujudkan, tidak hanya untuk Indonesia, tetapi untuk seluruh umat manusia.
Allah ﷻ menegaskan:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرًا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 110).
Penutup
Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia adalah usia yang matang. Namun, tanpa keberanian untuk melepaskan diri dari belenggu ideologi Kapitalisme-sekuler, kemerdekaan itu hanyalah semu. Islamlah yang membawa kemerdekaan sejati: membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah ﷻ.
Maka, pertanyaan pentingnya adalah: apakah kita akan terus mempertahankan kemerdekaan semu ini, atau berjuang untuk meraih kemerdekaan hakiki bersama Islam?
0 Komentar