TUNJANGAN GURU DIHAPUS, KESEJAHTERAAN PENDIDIK GENERASI KIAN PUPUS


Oleh: Tyas Ummu Amira
Penulis Lepas

Wacana penghapusan tunjangan guru dari APBD membuat nasib guru makin tak sejahtera. Dikutip dari Detik (03/07/2025), massa guru mendatangi Gedung Negara Provinsi Banten untuk berdemonstrasi menanyakan kejelasan soal Tunjangan Tambahan (Tuta) yang tak kunjung cair.

Dalam paradigma Islam, ilmu dan pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat vital, mendesak, serta memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan finansial semata.

Sejarah peradaban Islam mencatat, gaji guru pada masa Khilafah Abbasiyah sangat luar biasa, terutama jika dibandingkan dengan zaman sekarang. Kala itu, pengajar menerima bayaran setara muazin, sebesar 1.000 dinar setahun atau sekitar 83,3 dinar sebulan. Dengan nilai 1 dinar setara 4,25 gram emas dan harga emas saat ini sekitar Rp1,5 juta/gram, berarti gaji guru pada masa itu sekitar Rp6,375 miliar/tahun atau Rp531 juta/bulan. Tidak heran, para pengajar sangat termotivasi karena dedikasi mereka untuk mencetak generasi unggul dihargai tinggi.

Berbeda dengan kondisi nyata hari ini. Wacana penghapusan Tuta hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan kontroversial di dunia pendidikan. Setelah itu, muncul wacana dari Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan alokasi anggaran kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada tahun 2025 menjadi Rp81,6 triliun, naik Rp16,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.

Hal ini disebut sebagai “kado manis” bagi para guru pada peringatan Hari Guru Nasional, 25 November lalu. Presiden menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari langkah konkret pemerintah untuk memastikan guru mendapatkan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan gaji Rp1,5 juta, guru non-ASN dibebani kewajiban memiliki 24 jam mengajar (tatap muka dengan peserta didik). Perlu dipahami, durasi satu jam mengajar berkisar 35–45 menit, menyesuaikan jenjang pendidikan. Faktanya, banyak guru non-ASN yang sudah lulus PPG, tetapi tidak mendapat gaji sebesar itu karena jam mengajarnya kurang dari 24.

Hal ini wajar dalam sistem kapitalisme. Sebab, asas manfaatlah yang menjadi acuan dalam aktivitas. Jika ada peluang untuk dieksploitasi, maka sah-sah saja demi cuan dan kesenangan jasmani. Kapitalisme yang berlandaskan pemisahan agama dari kehidupan memandang agama tidak layak terlibat dalam urusan pendidikan maupun kesejahteraan guru. Pendidikan dalam paradigma kapitalis tidak dipandang mendesak untuk membentuk generasi unggul, melainkan dijadikan ajang bisnis dengan fasilitas yang diperjualbelikan. Tidak heran, generasi yang tercetak hari ini berorientasi pada materi, sebab atmosfer kehidupan dalam iklim kapitalis adalah demi uang.

Tarik ulur gaji guru ini membuka mata kita bahwa kapitalisme memposisikan guru tidak lebih dari pekerja yang diperas tenaganya. Guru diposisikan layaknya buruh pabrik, hanya dianggap mesin produksi, sementara roda ekonomi pendidikan digerakkan oleh komersialisasi dan orientasi kapitalistik.

Berbeda halnya ketika sistem Islam diterapkan. Pada masa kejayaan Islam, Khalifah Al-Watsiq memberi gaji kepada seorang ulama bernama Al-Jari sebesar 100 dinar/bulan, lalu dinaikkan menjadi 500 dinar/bulan. Adapun pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, karya para ulama dihargai dengan emas seberat kitab yang mereka tulis. Masyaallah, begitu berharganya karya para ulama, jerih payah mereka tidak diremehkan, bahkan dihargai sangat tinggi.

Tidak hanya itu, para ulama yang sibuk mengajarkan Al-Qur’an, mendalami ilmu-ilmu syariat, dan mencatat riwayat hadis digaji sekitar 2.000 dinar/tahun. Para ulama ahli fikih yang berperan besar dalam menjaga ilmu-ilmu Islam diganjar gaji hingga 4.000 dinar per tahun.

Inilah gambaran sistem pendidikan dalam Islam (Khilafah). Negara melalui pemimpinnya wajib menjamin kemaslahatan masyarakat, termasuk pendidikan, sebagai salah satu kebutuhan dasar rakyat. Negara bukan hanya regulator, tetapi benar-benar raa’in (pengurus) dan penanggung jawab urusan rakyat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam Khilafah, pembiayaan pendidikan berasal dari dua sumber utama. Pertama, pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara, seperti ghanimah dan khumus. Pajak hanya dipungut ketika baitulmal kosong, itu pun hanya dari laki-laki Muslim kaya. Kedua, berasal dari pos kepemilikan umum, mencakup sumber daya alam seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, serta hima (milik umum dengan penggunaan khusus).

Pembiayaan pendidikan juga mencakup seluruh jenjang (dasar, menengah, hingga tinggi) mulai dari gaji guru dan dosen sampai penyediaan sarana serta prasarana, yang keseluruhannya menjadi tanggung jawab negara.

Nabi ﷺ juga berpesan agar pekerja segera diberi upah. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah, sahih)

Khilafah menjamin para guru mendapat gaji layak tanpa harus dibebani syarat tambahan, izin khusus, ataupun mencari pekerjaan sampingan. Sistem ekonomi Islam juga menjamin distribusi harta yang merata, mencegah kesenjangan sosial, menjaga daya beli rakyat, serta menghindarkan inflasi. Hal ini diperkuat dengan penggunaan dinar dan dirham sebagai mata uang yang stabil nilainya.

Demikianlah gambaran pembiayaan pendidikan serta penghargaan terhadap guru dalam Islam. Betapa agungnya, di bawah naungan sistem Khilafah, kesejahteraan guru sekaligus rakyat akan terjamin sepenuhnya.

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar