
Oleh: Muhar
Jurnalis
Pemerintah kembali merilis data mencengangkan. Kasus infeksi menular seksual (IMS) pada remaja usia 15–19 tahun melonjak drastis dalam tiga tahun terakhir: 2.569 kasus (2022), 3.222 kasus (2023), dan 4.589 kasus pada 2024. Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa mayoritas kasus masih terjadi di usia produktif 25–49 tahun, tetapi lonjakan di kalangan remaja muda generasi Gen Z patut menjadi alarm keras bagi bangsa Indonesia.
"Mayoritas kasus IMS terjadi pada usia produktif yaitu 25-49 tahun. Namun memang tiga tahun terakhir, terjadi tren peningkatan kasus pada usia 15-19 tahun," ucap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr Ina Agustina Isturini, MKM, dalam konferensi pers, Jumat, 20-06-2025. (Detik)
Sayangnya, kenaikan angka ini seringkali ditanggapi sebatas urusan medis dan perilaku individu semata. Padahal, lebih dari itu, masalah ini adalah buah busuk dari sistem kehidupan sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Sistem inilah yang membuka ruang lebar bagi liberalisasi gaya hidup, bebasnya pergaulan, bahkan komersialisasi seks yang terbungkus dalam nama "edukasi seksual" dan "hak tubuh individu."
Akar Masalah Pergaulan Bebas
Dalam sistem kapitalisme-sekularisme, standar benar-salah ditentukan oleh selera manusia, bukan oleh wahyu. Nilai moral bersifat relatif, sehingga pergaulan bebas, zina, bahkan konten pornografi tak dianggap sebagai masalah selama dianggap "suka sama suka." Negara tak melindungi rakyat dari kerusakan moral, malah ikut melanggengkan kebebasan berekspresi dan gaya hidup permisif.
Remaja tak lagi diarahkan menjadi pribadi bertakwa, melainkan dituntun oleh arus globalisasi Barat yang menjadikan kebebasan sebagai nilai utama. Hal ini diperparah dengan kurikulum pendidikan sekuler yang abai terhadap pembentukan kepribadian Islam yang berbasis pada akidah Islam. Ditambah lagi dengan lingkungan digital yang penuh dengan konten vulgar tanpa sensor yang jelas oleh negara pengemban sekularisme.
Maka tak heran, alih-alih berkurang, jumlah remaja terpapar penyakit akibat zina justru meningkat. Data dari Kemenkes hanyalah puncak gunung es dari krisis moral yang lebih dalam.
Islam Solusinya
Islam memandang bahwa penyakit sosial masyarakat seperti zina, homoseksualitas, hingga penyakit IMS bukanlah sekadar persoalan medis, tetapi akibat langsung dari penyimpangan sistemik.
Karena itu, penyelesaiannya pun harus sistemik, bukan sebatas kampanye kondom atau edukasi seks yang selama ini telah dilakukan dan justru menyuburkan budaya permisif.
Islam menetapkan seperangkat aturan dan tindakan tegas tentang LGBT, hubungan laki-laki dan perempuan, melarang khalwat (berduaan), ikhtilat (campur baur tanpa kebutuhan syar’i), dan mewajibkan menundukkan pandangan serta menutup aurat. Zina dihukum tegas sebagai bentuk pencegahan sekaligus sanksi bagi pelaku.
Lebih dari itu, negara di dalam Islam (Khilafah) akan menjamin lingkungan sosial yang sehat, dari mulai kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, media yang bersih dari pornografi, hingga penegakan hukum syariah yang menjaga kehormatan manusia.
Negara juga akan mendorong pernikahan muda bagi yang sudah siap, memudahkan urusan ekonomi keluarga, dan menjadikan keluarga sebagai pilar utama penjaga moral generasi.
Saatnya Kembali kepada Islam Kaffah
Meningkatnya angka IMS pada remaja adalah buah busuk dari bobroknya tatanan kehidupan tanpa petunjuk wahyu.
Maka itu, solusi sejatinya adalah bukan dengan sekadar edukasi dan penanganan medis, tetapi dengan kembali menerapkan Islam secara totalitas (kaffah) dalam kehidupan.
Hanya dengan Islam kaffah yang ditegakkan dalam bingkai Khilafah, persoalan penyakit sosial seperti LGBT, zina, dan IMS sebagai dampak turunannya bisa diselesaikan. Kini, saatnya kita menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan dan solusi nyata atas berbagai persoalan kehidupan, bukan sebatas seremonial ritual. Dalam hal ini Allah ﷻ menegaskan:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS al-Anbiya` [21]: 107).
0 Komentar