BERAS MAHAL DI TENGAH STOK MELIMPAH, RAKYAT KIAN TERJEPIT


Oleh: Susan Efrina
Aktivis Muslimah

Sungguh ironis, di tengah klaim stok beras yang melimpah, harga beras justru mengalami kenaikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan pertama Juni 2025, terdapat 119 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras. Namun, hanya dalam satu pekan berikutnya, jumlah tersebut meningkat menjadi 133 kabupaten/kota. Artinya, terdapat 14 daerah tambahan yang terdampak. Bahkan, harga beras telah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), yang tentu sangat memberatkan masyarakat kecil.

Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), menyatakan bahwa selama berbulan-bulan, harga beras (baik medium maupun premium) telah melampaui HET secara nasional. “Stok beras ditumpuk di gudang hingga bisa diklaim sebagai yang terbesar sepanjang sejarah. Namun, apa gunanya stok besar bagi masyarakat jika harga tetap tinggi?” ujarnya dalam wawancara dengan media Bisnis. (Selasa, 17-06-2025)

Kebijakan pemerintah yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan di gudang. Akibatnya, pasokan ke pasar terganggu dan harga pun meningkat. Inilah potret nyata pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme: tidak berpihak pada rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan para elite.

Kebijakan-kebijakan ekonomi dalam sistem kapitalis liberal sejatinya hanya berorientasi pada keuntungan, bukan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, kemiskinan menjadi masalah yang terus berulang dan bersifat sistemik.

Padahal, menurut Menteri Pertanian Aman Sulaiman, stok beras nasional telah mencapai lebih dari 4 juta ton, angka tertinggi dalam 57 tahun terakhir (Kompas, 03-06-2025). Fakta bahwa harga tetap naik di tengah ketersediaan stok sebesar itu sungguh tidak masuk akal.

Dalam sistem kapitalisme, pangan tidak dipandang sebagai kebutuhan dasar yang wajib dijamin oleh negara, melainkan sebagai komoditas dagang. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan sebagai penjamin distribusi yang adil. Alhasil, masyarakat miskin menjadi korban fluktuasi harga. Distribusi beras pun berlangsung melalui rantai yang panjang, dari pusat hingga ke desa, dan diwarnai campur tangan para tengkulak yang semata-mata mencari keuntungan. Inilah yang menyebabkan harga merangkak naik.

Selama sistem ini masih diterapkan, persoalan serupa akan terus berulang. Sebaliknya, dalam sistem Islam (Khilafah), negara memiliki kewajiban untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Hal ini berdasar pada sabda Rasulullah ﷺ:

لَيْسَ لِابْنِ آدَمَ حَقٌّ فِي سِوَى هَذِهِ الْخِصَالِ: بَيْتٌ يَسْكُنُهُ, وَثَوْبٌ يُوَارِي عَوْرَتَهُ, وَجِلْفُ الْخُبْزِ وَالْمَاءِ
Anak Adam tidak berhak atas sesuatu kecuali rumah yang ia tempati, pakaian yang menutupi auratnya, serta roti dan air.” (HR. At-Tirmidzi).

Negara dalam sistem Islam akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya sebagai komoditas dagang. Subsidi terhadap benih, pupuk, dan kebutuhan pertanian lainnya akan diberikan secara cuma-cuma demi menjamin kualitas hasil panen. Dengan demikian, rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan harga yang terjangkau.

Khilafah juga melarang praktik penimbunan barang dan memastikan distribusi berlangsung secara merata agar harga tetap stabil. Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
Barang siapa menimbun makanan dengan tujuan menaikkan harga dan merugikan masyarakat, maka ia berdosa.” (HR. Muslim).

Dalam Islam, harga barang ditentukan oleh mekanisme pasar yang adil, tanpa intervensi yang merugikan. Negara tidak akan menetapkan harga secara paksa, tetapi akan menjaga keadilan dan transparansi dalam distribusi. Maka, solusi yang hakiki bukanlah tambal sulam kebijakan, melainkan perubahan sistem secara menyeluruh menuju sistem Islam yang menyejahterakan.

Negara dalam Islam berfungsi sebagai pengurus rakyat, yang bertanggung jawab atas kelancaran produksi dan distribusi hingga barang sampai ke tangan konsumen. Kestabilan harga dalam Islam bukan dicapai melalui kontrol semu, melainkan melalui sistem ekonomi yang adil dan bebas dari kezaliman.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar