
Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Pasca bencana yang terjadi di Sumatera dan sekitarnya, meninggalkan jejak yang sangat memprihatinkan. Data korban pun terus mengalami peningkatan. Tercatat hingga per 24 Desember 2025, jumlah warga yang meninggal tembus di angka 1.129 orang. Sebanyak 174 warga masih dinyatakan hilang dan jumlah pengungsi mencapai 496.293 orang (Kompas, 24/12/2025).
Ada banyak wilayah yang belum tersentuh bantuan secara maksimal. Rumah-rumah masih terendam dan akses jalan masih tertutup lumpur tebal, jalan yang amblas, jembatan yang hancur, ribuan kubik kayu gelondongan beserta bekas reruntuhan bangunan menutup beberapa kawasan, serta bangkai-bangkai kendaraan menutup ruas-ruas jalan.
Dalam situasi ini, masyarakat banyak yang mengeluh karena penanganan bencana terasa sangat lamban. Koordinasi di lapangan sangat kurang. Para pejabat pun saling lempar tanggung jawab. Ada juga pejabat yang sibuk memanfaatkan bencana untuk pencitraan.
Namun, ironisnya, dalam keadaan yang semrawut ini pemerintah tidak mau memberikan status bencana nasional, serta penolakan atas tawaran bantuan dari negara-negara luar, itu menunjukkan sikap kesombongan pemerintah di tengah ketidakberdayaan. Sehingga muncul kecurigaan bahwa pemerintah pusat berusaha berlepas tangan dari tanggung jawab mengurus urusan rakyatnya.
Diperkirakan kerugian material akibat bencana ini mencapai Rp68,67 triliun hingga Rp200 triliun. Ini sangat memprihatinkan mengingat keuangan pemerintah pusat yang sedang mengalami masalah. Lembaga kajian ekonomi dan hukum, Center of Economic and Law Studies (Celios), memperkirakan kerugian ekonomi akibat banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra mencapai Rp68,67 triliun.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, memperkirakan kerugian dapat mencapai Rp200 triliun. Hal ini menjadi tantangan besar di tengah keterbatasan dana yang tersedia untuk pemulihan, terutama karena pemerintah pusat masih menghadapi masalah keuangan yang serius (KBR, 07/12/2025).
Bencana Sumatra membuka tabir rusaknya kepemimpinan di negeri kita. Sistem sekularisme kapitalisme yang menjadi dasar aturan negara adalah sumbernya. Sistem inilah yang telah melahirkan para penguasa yang tidak berfungsi sebagai pengurus dan penjaga rakyat serta lalai dari tanggung jawabnya. Mereka justru menjadi beban penderitaan bagi rakyatnya.
Kita tahu bahwa sebagian besar hutan di tanah Sumatra sudah dikaveling-kaveling atas nama perusahaan besar milik para pejabat dan kelompok mereka. Lalu hutan-hutan itu yang awalnya berfungsi menyimpan oksigen dan cadangan air, juga sebagai benteng terakhir melawan cuaca ekstrem, dibabat habis menjadi perkebunan sawit dan area pertambangan.
Tidak hanya di Sumatra, semua hutan yang ada di Nusantara dialihfungsikan juga atas nama pembangunan. Padahal semua itu telah berubah menjadi lahan bancakan. Mereka saling berebut lahan untuk mengeksploitasi seluruh sumber daya alam. Walaupun risikonya merampas ruang hidup masyarakat adat dan merusak habitat makhluk hidup.
Bencana Sumatra dan bencana-bencana lainnya itu adalah ulah tangan para penguasa yang rakus akan harta dan kekuasaan, seperti firman Allah dalam Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat dari perbuatan tangan-tangan manusia. Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatannya itu agar mereka kembali ke jalan yang benar."
Selain itu, kekuatan kepemimpinan sekuler kapitalisme yang tidak memandang halal-haram semakin memperpanjang daftar kerusakan alam di negeri ini. Sistem ini sangat menjunjung tinggi kebebasan di berbagai bidang, termasuk kebebasan berperilaku dan memiliki, dengan kekuatan modal sebagai aktor utamanya.
Mereka yang memiliki kekuatan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai segala sesuatu yang mereka inginkan. Akibatnya, praktik monopoli dan dominasi oligarki atas sumber daya publik pun terjadi, yang tentunya sangat menguntungkan para pemilik modal.
Hal tersebut akan sangat berbeda jika aturan-aturan Islam diterapkan dengan sempurna. Islam akan menjamin kemaslahatan dan keberkahan bagi seluruh umat manusia di dunia ini, karena Islam adalah ideologi hidup yang Allah turunkan sebagai solusi bagi segala permasalahan kehidupan.
Syariat Islam tidak hanya mengatur aspek ritual dan soal kematian, tetapi juga mencakup aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan dalam hubungan internasional. Islam mengatur politik pemerintahan, perekonomian dan keuangan, pergaulan, hukum dan sistem sanksi, pendidikan, kesehatan, dan banyak lagi.
Islam menetapkan bahwa manusia terikat pada hukum syarak. Dalam hal kepemilikan, Islam sudah menetapkan mana yang boleh dimiliki oleh individu dan mana yang terlarang. Sumber daya alam, termasuk hutan, telah ditetapkan sebagai harta milik umum yang haram untuk dimiliki oleh perorangan. Negara pun tidak boleh mengomersialkannya atau menyerahkannya kepada siapa pun dengan alasan apapun.
Dalam hal ini, negara (Khilafah) memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola harta milik umum tersebut untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Para penguasanya (khalifah) akan menjalankan amanah ini dengan penuh tanggung jawab, karena kepemimpinan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ï·».
Sejarah peradaban Islam dipenuhi dengan kisah-kisah mengagumkan tentang para pemimpin yang adil dan mengayomi rakyat. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas seorang khalifah. Para khalifah juga berusaha menyebarkan pendidikan sehingga ilmu pengetahuan, sastra, filsafat, dan seni berkembang pesat.
Bencana yang terjadi sejatinya dapat menjadi momentum bagi umat untuk kembali kepada agama dan sistem hidup yang sejalan dengan fitrah penciptaan, yaitu menjadikan manusia sebagai hamba Allah sekaligus pemegang kekhalifahan.
Kembalikan pembangunan pada aturan Islam sebagai ibadah dan tanggung jawab. Penerapan sistem Islam kaffah dalam tata kelola negara bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan keselamatan rakyat di seluruh dunia.
Wallahu alam bissawab.

0 Komentar