
Oleh: Nafingatun
Aktivis Remaja Muslimah
Setiap generasi memiliki tantangan uniknya sendiri. Tantangan yang dihadapi generasi muda saat ini telah melahirkan cara pandang yang berbeda terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah pandangan terhadap pernikahan. Di era sekarang, pernikahan tidak lagi dianggap sebagai tonggak kedewasaan yang harus segera dicapai. Sebaliknya, banyak anak muda yang lebih memprioritaskan faktor lain, seperti kesiapan finansial, sebelum memikirkan untuk menikah.
Pada kenyataannya, generasi muda kini lebih takut akan kemiskinan daripada tidak menikah. Salah satu ketakutan utama yang muncul adalah ketidakpastian mengenai kehidupan setelah menikah, terutama terkait dengan masalah finansial. Media sosial juga turut memperburuk keadaan ini, menciptakan realitas sosial-ekonomi yang semakin kompleks dan memengaruhi cara pandang generasi muda.
Lonjakan harga kebutuhan pokok, biaya hunian yang semakin tinggi, dan ketatnya persaingan dalam dunia kerja, menjadi alasan mengapa pernikahan sering kali tidak diprioritaskan. Generasi muda merasa bahwa menikah tanpa kesiapan finansial hanya akan menambah beban hidup. Banyak yang beranggapan bahwa "marriage is scary" suatu narasi ketakutan yang berkembang terkait dengan pernikahan tanpa persiapan matang dalam hal ekonomi (Kompas, 27/11/2025).
Benarkah Ini Semua Karena Tekanan Ekonomi?
Berdasarkan data sensus penduduk 2020, sekitar 71,5 juta jiwa merupakan generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka menyumbang 26,4 persen dari total populasi Indonesia (Kompas, 03/08/2024). Meskipun jumlahnya besar, banyak dari mereka yang kesulitan mencari pekerjaan, yang menjadi tantangan besar dalam hidup mereka. Selain itu, generasi Z sering dianggap oleh masyarakat sebagai generasi yang tahu cara menabung, tetapi sulit untuk konsisten dalam melakukannya.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan naik menjadi Rp 78,6 juta per tahun (setara dengan Rp 6,55 juta per bulan), namun biaya hidup yang tinggi membuat kesejahteraan finansial tetap menjadi tantangan besar, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta (Kumparan, 05/02/2025). Di Jakarta, biaya hidup untuk rumah tangga dengan dua hingga enam anggota keluarga diperkirakan mencapai sekitar Rp 14,88 juta per bulan (Kompas, 22/12/2025).
Tantangan tersebut semakin memperburuk kecenderungan generasi muda untuk lebih memprioritaskan kebutuhan finansial daripada pernikahan. Gen Z, yang dikenal dengan gaya hidup konsumtif dan impulsif, lebih takut akan kemiskinan jika menikah tanpa persiapan matang dalam hal keuangan.
Kapitalisme sebagai Penyebab Ketakutan
Namun, jika kita cermati lebih dalam, ketakutan ini sejatinya bukan hanya berasal dari masalah finansial semata. Faktor utama yang memperburuk kondisi ini adalah sistem kapitalisme yang berperan besar dalam mengendalikan roda ekonomi. Kapitalisme mendorong gaya hidup hedonis dan konsumtif yang tidak sinkron dengan kondisi pasar kerja yang semakin sempit.
Banyak anak muda yang bekerja di sektor-sektor dengan upah rendah, sementara kebutuhan hidup terus meningkat. Di tengah situasi ini, negara, yang seharusnya berperan sebagai pelindung, justru lebih sering lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan warganya.
Gaya hidup yang berkembang ini sebagian besar dipengaruhi oleh pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal, yang lebih menekankan pada pencapaian materi dan gaya hidup mewah. Akibatnya, banyak generasi muda yang memandang pernikahan sebagai beban hidup, bukan sebagai jalan menuju kebahagiaan dan keberkahan.
Perspektif Islam: Solusi dari Krisis
Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang Islam, situasinya akan sangat berbeda. Dalam sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat dan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Sumber daya alam dikelola oleh negara, bukan oleh individu atau swasta asing, dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Gaya hidup yang diajarkan dalam Islam juga berbeda. Generasi muda yang dibimbing oleh aqidah Islam akan lebih terhindar dari hedonisme dan materialisme. Pendidikan berbasis agama dan karakter akan membentuk generasi yang tidak hanya mampu bertahan hidup, tetapi juga membawa manfaat bagi umat.
Dalam Islam, pernikahan bukanlah beban, melainkan jalan untuk melanjutkan keturunan yang berkualitas. Pernikahan dipandang sebagai ibadah dan sarana untuk membangun keluarga yang solid, yang pada gilirannya akan menghasilkan generasi emas untuk masa depan yang gemilang.
Wallahu ‘allam bissawab

0 Komentar