PERLAKUKAN AI SEBAGAI ASISTEN BUKAN OWNER APALAGI GURU, JANGAN!


Oleh: Diaz
Jurnalis

Orang-orang punya tingkat kepercayaan yang sangat tinggi terhadap ChatGPT, yang sebenarnya cukup mengejutkan, karena AI itu masih sering ‘berhalusinasi’,” Kalimat ini bukan datang dari kritikus teknologi, melainkan dari Sam Altman, CEO OpenAI sendiri.

Pernyataan tersebut muncul dalam episode perdana siniar resmi OpenAI bertajuk "Sam Altman on AGI, GPT-5, and what’s next." Ia mengingatkan secara terang-terangan: ChatGPT itu sering “berhalusinasi”. Dalam istilah kecerdasan buatan (AI), hallucination berarti AI dapat memproduksi informasi salah, namun dikemas dengan bahasa yang meyakinkan. Fatalnya, banyak pengguna langsung percaya begitu saja tanpa verifikasi. (Kompas, 07-07-2025)

Fakta ini menjadi sangat penting untuk disadari. Di tengah gelombang pemanfaatan AI untuk menulis artikel, membuat keputusan, bahkan memahami agama, justru banyak pengguna tidak memahami apa sebenarnya yang mereka minta dari AI. Mereka hanya mengetik perintah, menelan hasilnya mentah-mentah, tanpa bekal literasi dasar yang cukup, atau keilmuan agama yang memadai.

Padahal, kalau kita perintahkan AI membuat artikel opini misalnya, kita wajib tahu metode penulisan opini itu sendiri, dari struktur, logika argumentasi, hingga etika. Kalau tidak, ketika AI “halu”, kita tidak tahu bahwa dia sedang halu. Akibatnya, bukan hanya misinformasi, tapi potensi disinformasi yang justru bisa menyesatkan pembaca.

Bayangkan ketika seseorang menyuruh ChatGPT menjawab soal tafsir Al-Qur’an atau hukum fikih, tapi pengguna tersebut tidak paham konteks syariat, tidak bisa membedakan antara dalil qat’i dan zhanni, atau antara ijmak sahabat dan pendapat ulama kontemporer. Maka AI bisa menjadi “guru palsu” yang justru membelokkan pemahaman agama.


Cerdas Tapi Tidak Paham

Kita perlu pahami bahwa ChatGPT dan AI serupa hanya bekerja berdasarkan prediksi pola bahasa, bukan karena memahami substansi. Sam Altman sendiri menegaskan, “Teknologi ini belum benar-benar bisa diandalkan 100 persen.” AI memproduksi kata demi kata dari data pelatihan, bukan dari pemahaman seperti manusia.

Maka dari itu, ChatGPT sangat cocok digunakan sebagai alat bantu, seperti kalkulator atau kamus. Ia bukan sumber kebenaran, apalagi dalam isu krusial seperti pendidikan, riset, keuangan, dan terlebih lagi agama.

Dalam soal agama, bahaya AI jauh lebih besar. Jawaban AI mungkin benar secara tekstual, tetapi kosong secara kontekstual dan spiritual. Ia tidak bisa menggantikan peran guru, ulama, dan sanad keilmuan yang sahih. Itulah sebabnya Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)

Menurut tafsir Al-Muyassar dari Kementerian agama Saudi Arabia menerangkan:

Dan janganlah engaku (wahai manusia), mengikuti apa yang tidak engkau ketahui. Akan tetapi pastikan dan verifikasi (akan kebenarannya) dahulu. Sesungguhnya manusia akan dimintai pertanggung jawaban menggenai bagaimana ia menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hatinya. Apabila dia mempergunakannya dalam perkara-perkara baik, niscaya akan memperoleh pahala, dan jika ia mempergunakannya dalam hal-hal buruk, maka dia akan memperoleh hukuman.” (Tafsirweb, diakses pada 07 Juli 2025)

Dan Muhammad bin Sirin rahimahullah, juga mengatakan:

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama” (Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al Ilal, 1/355).

Mengandalkan ChatGPT untuk belajar agama tanpa verifikasi sama saja mengandalkan peramal untuk memahami wahyu. Bahayanya bukan hanya sekadar kesalahan logika, tapi potensi penyimpangan akidah.


Melek Literasi dan Menjaga Sanad Keilmuan Agama

Pertanyaannya, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Pertama, tingkatkan literasi dengan membaca dari sumber ilmu yang kredibel agar kita paham konteksnya. Contoh, jika kita menyuruh AI menulis opini, maka kita harus tahu kaidah jurnalistik dalam membuat opini, misalnya: judul menarik, lead yang menggugah, isi dengan logika yang tajam, dan penutup yang menggerakkan, serta bukan hoaks. Tanpa itu, kita seperti menyuruh orang menulis tanpa tahu apa yang ditulis.

Kedua, bedakan alat bantu dengan sumber kebenaran. ChatGPT bisa membantu merangkum atau menyusun narasi, tapi tidak boleh menjadi rujukan akhir. Selalu libatkan akal kritis dan verifikasi dari sumber terpercaya.

Ketiga, khusus dalam hal agama, kembalilah kepada ulama. Sebagaimana Allah ﷻ menekankan dalam Al-Qur'an:

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
... Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)

(Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui). Mereka adalah para ahli kitab: orang-orang Yahudi dan Nasrani; tanyakanlah kepada mereka jika kalian tidak mengetahui bahwa para utusan Allah adalah dari golongan manusia. Begitu juga segala hal yang tidak diketahui oleh seseorang, hendaklah ia menanyakannya pada orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir/Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah)

Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah AI tidak punya sanad. Ia bukan murid dari para ulama. Maka ia tidak bisa menjadi pengganti guru. Bahkan, Imam asy-Syafi’i juga berkomentar mengenai pentingnya sanad ilmu:

قَالَ الشَافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلَّذِي يَطْلُبُ اْلعِلْمَ بِلَا سَنَدٍ كَحَاطِبِ لَيْلٍ يَحْمِلُ حزمةَ حَطَبٍ وَفِيهِ أفعى وَهُوَ لَا يَدْرِي
Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 555).

Terakhir, umat Islam harus aktif mengembangkan teknologi, tapi berlandaskan syariat. Jadilah ilmuwan Muslim yang kritis. Jangan hanya menjadi pengguna yang taklid buta pada AI. Sebab, jika AI mulai dikendalikan oleh iklan dan kepentingan bisnis, maka ia bukan lagi alat bantu, tapi mesin propaganda.


Khatimah

AI, termasuk ChatGPT, adalah alat yang luar biasa, tapi tetap hanya alat. Jika kita tidak memahami apa yang kita perintahkan, maka kita bukan sedang menggunakan AI, tapi digunakan oleh AI. Dalam dunia yang makin canggih ini, kita tidak boleh kehilangan akal kritis, terlebih kehilangan rujukan keilmuan Islam yang shahih.

Sebab kalau kita tak tahu apa yang kita suruh, kita bukan mengendalikan AI, kita sedang disesatkan olehnya.

Wallahu A'lam Bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar