
Oleh: Ummu Hanif Haidar
Penulis Lepas
Dugaan korupsi kembali mencuat di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung. Kasus ini berkaitan dengan tidak tersalurkannya Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) yang bersumber dari APBD. Kecurigaan ini terungkap dalam rapat dengar pendapat yang digelar di DPRD Tulungagung pada Senin, 30 Juni 2025. Rapat tersebut dihadiri oleh Ketua dan anggota Komisi A DPRD, Plt. Sekretaris Dinas Pendidikan, Kepala Bidang Pembinaan TK dan PAUD, perwakilan Bappeda dan Inspektorat, serta Ketua PKTP, Ketua BADAK, dan Sekretaris LSM Cakra.
Ketua Perkumpulan Komunitas Tulungagung Peduli (PKTP), Susetyo Nugroho, mengungkapkan adanya kejanggalan dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2024. Ia menemukan ketidaksesuaian antara dana BOS dari kementerian pusat dengan data BOS yang tercantum di APBD-P. (beritasatu.com)
Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Indonesia memang menjadi isu yang kompleks. Secara regulasi, petunjuk teknis (juknis) penggunaan dana ini telah diatur secara rinci oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Permendikbud Nomor 63 Tahun 2023. Dana BOS dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan operasional sekolah, seperti penerimaan peserta didik baru, penyediaan alat dan bahan pembelajaran, penyelenggaraan asesmen, pengelolaan rutin sekolah, hingga pemeliharaan sarana dan prasarana.
Pada prinsipnya, pemerintah berupaya agar penggunaan dana BOS sesuai dengan peruntukannya. Namun, dalam praktik di lapangan, tidak sedikit ditemukan penyimpangan dan pelanggaran.
Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk menjamin kepatuhan, laporan dan temuan di lapangan menunjukkan bahwa penyalahgunaan dana BOS masih marak terjadi. Banyak sekolah tidak memiliki sistem pengawasan yang memadai. Alhasil, dana sering kali digunakan secara tidak efisien. Ditambah lagi, kurangnya transparansi membuat masyarakat kesulitan melakukan pengawasan.
Berbagai kasus korupsi dana BOS kerap melibatkan kepala sekolah maupun pihak internal sekolah. Modus yang umum terjadi meliputi mark-up harga pengadaan barang atau jasa, penggunaan dana untuk kepentingan pribadi oknum tertentu, pembuatan kuitansi fiktif, hingga manipulasi laporan Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 dari KPK mencatat bahwa 12% dana BOS tidak digunakan sesuai peruntukannya. Sejumlah kasus kini tengah diselidiki, bahkan telah menetapkan tersangka, seperti kasus mark-up dana BOS oleh kepala sekolah di Brebes, penyelewengan dana BOS di SMA Negeri 9 Banda Aceh, korupsi dana BOS oleh Kepala SMAN 2 Bungo untuk judi online, serta kasus korupsi dana BOS oleh eks Kepala SMK Negeri 1 Larantuka.
Praktik korupsi di Indonesia sudah menjadi kejahatan luar biasa yang merugikan masyarakat dan negara. Sayangnya, sanksi hukum yang dijatuhkan belum mampu menimbulkan efek jera. Alih-alih berkurang, korupsi justru terus berkembang. Akar dari lemahnya sanksi ini terletak pada sistem hukum buatan manusia yang sarat keterbatasan. Terlebih dalam sistem demokrasi, manusia diberi wewenang membuat hukum, membuka celah praktik jual-beli hukum dan manipulasi demi kepentingan penguasa.
Akibatnya, penegakan hukum menjadi kacau, khususnya dalam kasus korupsi. Dengan jumlah koruptor yang terus bertambah dan melibatkan berbagai level kekuasaan, korupsi bukan lagi sekadar persoalan individu. Ini merupakan bukti nyata kegagalan sistemik dari sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan.
Dalam pandangan Islam, korupsi adalah bentuk pengkhianatan (khianat). Pelakunya disebut khaa’in. Dalam hukum Islam, korupsi tidak dikategorikan sebagai pencurian, melainkan sebagai tindakan khianat terhadap amanah. Al-Qur’an dan Hadis dengan tegas mengharamkan suap dan segala bentuk pengkhianatan. Oleh karena itu, pelaku korupsi dikenai hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditentukan oleh hakim sesuai tingkat kejahatan, mulai dari teguran, denda, penjara, tasyhir (pengumuman di muka umum), hingga hukuman mati.
Sistem Islam (Khilafah) memiliki mekanisme sanksi yang tegas dan adil. Tujuan sanksi ini bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga mencegah kejahatan (zawajir) dan menjadi penebus dosa (jawabir) bagi pelaku. Berbeda dengan sistem sekuler demokrasi yang justru menjadi tempat subur bagi tumbuhnya korupsi, sistem Islam menjamin tegaknya keadilan secara menyeluruh. Karena itu, solusi tuntas atas persoalan korupsi hanya dapat diwujudkan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab.
0 Komentar