
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Penulis Lepas
Selama ini kita telah diperkenalkan dengan istilah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yaitu area tertentu dalam wilayah Indonesia yang ditetapkan untuk menjalankan fungsi perekonomian dengan mendapatkan fasilitas khusus.
Tujuannya tentu untuk mendorong investasi, ekspor, dan pertumbuhan ekonomi dengan memberikan kemudahan dan insentif bagi pelaku usaha, seperti insentif fiskal (tax holiday, pembebasan bea masuk, dan pajak impor) serta kemudahan non-fiskal (perizinan, birokrasi, ketenagakerjaan, dan lain-lain).
Kini muncul istilah baru: KEK Kesehatan. Kawasan ini dirancang dengan konsep pengembangan layanan kesehatan, dan menjadi KEK Kesehatan pertama di Indonesia sekaligus KEK pariwisata yang menonjolkan nuansa alam, khususnya keindahan pantai Sanur, Bali. Indonesia adalah negara pertama yang memilikinya dan disebut KEK Sanur. Kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai destinasi wisata pantai kelas dunia itu kini difokuskan menjadi pusat ekonomi khusus berbasis layanan kesehatan.
KEK Sanur menawarkan ekosistem terpadu antara layanan medis dan wisata kebugaran kelas dunia. Inti kawasan ini adalah Rumah Sakit Internasional Bali, yang dilengkapi dengan akomodasi premium seperti The Meru Sanur dan Bali Beach Hotel (Kek.go.id).
Menurut Presiden Prabowo, KEK Kesehatan tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap layanan kesehatan luar negeri, tetapi juga sebagai wahana pemerataan kesejahteraan dan kemandirian bangsa.
Ke depannya, pemerintah berencana mengembangkan KEK serupa di berbagai daerah. Harapannya, proyek ini akan menjadi motor penggerak ekonomi nasional berbasis layanan kesehatan dan wisata medis, dengan target menyerap puluhan ribu tenaga kerja.
Menindaklanjuti arahan Presiden, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan kesiapan mendukung program ini dengan mengoptimalkan peran holding BUMN farmasi (Bio Farma, Kimia Farma, dan Indofarma) serta holding rumah sakit BUMN di bawah Pertamina Bina Medika IHC.
Sinergi ini difokuskan pada penguatan layanan kesehatan berstandar internasional, pengembangan riset dan inovasi medis, serta peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan unggulan (CNBC Indonesia, 26-06-2025).
Erick menegaskan bahwa negara harus hadir dan menjadi pelopor dalam menjamin kesehatan rakyat. KEK Kesehatan diklaim sebagai jawaban konkret atas tantangan itu. Tidak boleh lagi ada rakyat yang menghabiskan hingga Rp150 triliun per tahun untuk berobat ke luar negeri. Terlebih data menyebut dua juta warga Indonesia setiap tahun mencari pengobatan ke luar negeri. Kemandirian kesehatan inilah yang ingin diwujudkan pemerintah.
KEK Kesehatan, Solusi atau Justru Kejumudan?
Tanpa perlu panjang lebar, kata “KEK” sudah menunjukkan arah kebijakan ini: bisnis. Ketika dikaitkan dengan kesehatan, maka bisnis tersebut diarahkan pada sektor kesehatan. Pertanyaannya, benarkah ini untuk keuntungan negara sekaligus kebaikan rakyat?
Jika untuk keuntungan negara, mengapa harus mengejar laba? Bukankah negara ada untuk melayani rakyat? Menjamin layanan kesehatan yang mudah dan murah? Jika sudah berbicara untung-rugi, maka jelas ini adalah proyek bisnis.
Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalisme. Kesehatan dibisniskan dengan dalih profesionalitas dan globalisasi. Tapi mari jujur: rakyat mana yang menikmati wisata kesehatan bertaraf internasional?
Faktanya, pelayanan kesehatan bagi rakyat hari ini masih sangat kurang dan tidak merata. Kita masih berkutat dengan sistem BPJS yang rumit. Rakyat tetap dibebani biaya, akadnya mirip asuransi yang haram dalam Islam, pelayanannya tidak mengover seluruh kebutuhan medis, dan terlalu banyak syarat administrasi. Baik karena plafon penuh, kamar tidak tersedia, atau kuota layanan yang telah habis.
Bahkan dalam keadaan darurat, pasien BPJS pun belum tentu mendapat layanan cepat. Banyak kasus pasien meninggal karena urusan administrasi, terutama di daerah-daerah, meski di kota besar juga tidak jarang.
Kebijakan-kebijakan Kementerian Kesehatan pun kian berorientasi profit. Mulai dari dokter umum diperbolehkan melakukan operasi sesar, pendidikan dokter berbasis rumah sakit bukan universitas, hingga kebijakan menghadirkan dokter asing dan pembangunan rumah sakit nasional yang nyatanya tidak pro rakyat.
Padahal, profesi dokter seharusnya tidak berhenti saat lulus kuliah. Profesi ini adalah proses pembelajaran seumur hidup. Sementara banyak dokter muda yang bertugas di pelosok dengan fasilitas terbatas bahkan sampai meninggal dunia, namun tak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah.
Presiden Prabowo berjanji membuka banyak sekolah kedokteran. Tapi pertanyaannya: mengapa tidak dimudahkan saja akses rakyat untuk masuk ke fakultas kedokteran? Hingga urusan vaksin pun, Indonesia hanya menjadi pasar. Padahal kita memiliki banyak ahli, mengapa tidak memproduksi vaksin sendiri secara mandiri?
Kesehatan Bukan Urusan Gengsi, Tapi Kewajiban Hakiki
Indonesia boleh saja bangga menjadi negara pertama yang memiliki KEK Kesehatan, tapi kita justru perlu waspada. Kapitalisasi kesehatan adalah cara sistem ini memperkaya segelintir elite dan menyengsarakan mayoritas rakyat.
Masuknya korporasi farmasi dan kesehatan menunjukkan siapa yang sebenarnya akan mengatur sistem layanan. Di sinilah seharusnya negara hadir sebagai pelayan, bukan pedagang.
Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah raa'in dan junnah bagi rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Kesehatan termasuk kebutuhan pokok rakyat, sebagaimana sandang, pangan, papan, pendidikan, dan keamanan. Negara wajib memenuhinya secara gratis, adil, dan merata.
Kesehatan bukan hak eksklusif orang kaya atau mereka yang mampu membayar. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi)
Will Durant (1885–1981), sejarawan Barat dalam The Story of Civilization, mencatat bahwa Khilafah Islam pernah menyediakan layanan kesehatan luar biasa. Tenaga medis digaji dari Baitul Mal. Cahayanya bersinar selama 267 tahun.
Salah satu contohnya adalah Bimaristan yang dibangun Nuruddin di Damaskus tahun 1160, bertahan tiga abad merawat pasien tanpa biaya dan menyediakan obat gratis. Begitu pula Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah yang membangun rumah sakit untuk penderita lepra dan kebutaan, semua dibiayai dari Baitul Mal.
Tanggung jawab ini bukanlah amal pribadi semata, tapi bentuk pengurusan negara dalam sistem Islam. Rasulullah ﷺ telah mencontohkannya sebagai kepala negara. Maka, kita tidak bisa berharap banyak dari sistem sekuler kapitalistik yang sarat kompromi kepentingan.
Sistem Islam berasal dari Allah ﷻ sudah pasti lebih memberi kepastian, bukan sekadar janji.
Wallahu a‘lam bissawab.
0 Komentar