
Oleh: Sulis Setiawati, S.Pd
Aktivis Muslimah
Kondisi Gaza hari ini berada di titik nadir kemanusiaan. Inilah genosida nyata di hadapan mata dunia. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 38.000 warga Palestina dibantai secara brutal oleh Israel, mayoritasnya perempuan dan anak-anak. Berdasarkan data Al Jazeera dan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN OCHA) per Juni 2025, lebih dari 75 persen infrastruktur di Gaza telah rusak parah, sementara lebih dari 1,9 juta warga terpaksa mengungsi tanpa akses terhadap tempat tinggal maupun makanan yang layak.
Namun ironis, di tengah penderitaan ini, dunia Islam justru sunyi. Para pemimpin negara-negara Muslim masih terjebak dalam sikap normatif yang tidak memberikan solusi nyata, sebatas mengeluarkan kecaman diplomatik, memberikan bantuan kemanusiaan yang terbatas, atau mendorong solusi dua negara yang tidak masuk akal dan merendahkan kehormatan tanah suci Palestina.
Gagasan dua negara (yang bertujuan menjadikan Palestina dan Israel hidup berdampingan secara damai) sudah berkali-kali diusulkan sejak Kesepakatan Oslo 1993. Namun hasilnya nihil. Inilah ilusi sekaligus bentuk pengkhianatan. Zionis Israel terus melanjutkan ekspansi permukiman ilegal dan menolak pengakuan atas kemerdekaan penuh negara Palestina. Bahkan, Israel bersama sekutunya, Amerika Serikat, secara terbuka menyatakan bahwa tujuan mereka hanyalah menciptakan Palestina yang lemah dan patuh. (The Guardian, 22-05-2024)
Yang lebih memilukan, sejumlah pemimpin negara Muslim (termasuk Indonesia) justru turut menyuarakan solusi dua negara. Padahal mereka tahu bahwa Zionis tidak pernah berniat memberikan kemerdekaan sejati kepada Palestina. Solusi dua negara hanyalah cara membodohi umat dan menjustifikasi kejahatan penjajahan. Sementara itu, rakyat Gaza dengan sabar dan ikhlas terus berjuang, tidak pernah tunduk. Mereka tidak akan mengkhianati pengorbanan para syuhada, dan tidak akan menyerahkan sejengkal pun tanah Palestina kepada penjajah. Mereka tetap teguh dengan janji sejarah dan iman kepada Allah.
Dalam sejarah Islam, tanah Palestina dijaga dengan darah para mujahid dan keberanian para khalifah. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memasuki Al-Quds melalui perjanjian damai ‘Umariyah, dan sejak itu Palestina berada dalam naungan Islam selama lebih dari 1.200 tahun. Semua itu runtuh saat Khilafah Utsmaniyah dihancurkan pada 1924. Dan ini bukan sekadar retorika: Khilafah adalah solusi hakiki.
Rasulullah ï·º bersabda:
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا الْØ¥ِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tanpa Khilafah, umat Islam bagaikan buih di lautan: banyak, tapi tak punya kekuatan.
Lihatlah Gaza. Tanpa perisai Khilafah, mereka dibantai hari demi hari, dan umat hanya bisa menangis, membuat petisi, atau menyeru damai yang tak bermakna. Seruan untuk menegakkan Khilafah bukan berarti membiarkan rakyat Gaza terus dibantai. Justru inilah bentuk pertolongan paling serius dan strategis. Sebab Khilafah akan mengerahkan kekuatan nyata (baik dalam aspek militer, logistik, maupun diplomasi internasional) demi membebaskan Palestina dan melindungi kehormatan umat Islam.
Kini saatnya umat tidak lagi terperangkap dalam narasi solusi Barat. Kita tidak boleh terus-menerus tertipu oleh konferensi damai, tekanan diplomatik, atau bantuan semu. Semua tindakan itu hanya memperpanjang penderitaan dan mempertahankan keberlangsungan penjajahan. Umat Islam harus sadar bahwa kebangkitan Gaza dan umat seluruhnya hanya akan terjadi dengan tegaknya Khilafah Islamiyah. Ini bukan retorika kosong, tetapi kewajiban syar‘i yang ditegaskan oleh banyak dalil.
Maka, mendukung perjuangan menegakkan Khilafah bukan sekadar pilihan ideologis, melainkan bentuk konkret menolong Gaza dan membebaskan seluruh umat dari kehinaan sistem sekuler kapitalistik.
0 Komentar