PERUNDUNGAN ANAK, FENOMENA GUNUNG ES YANG HARUS SEGERA DIAKHIRI


Oleh: Dewi Rosita
Muslimah Peduli Umat

Seorang anak berlumuran darah di kepalanya usai ditendang hingga terbentur batu, lalu diceburkan ke dalam sebuah sumur di Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Kejadian tersebut berujung viral di media sosial.

Kapolsek Ciparay, Iptu Ilmansyah mengungkapkan kejadian yang menimpa anak itu, terjadi pada Mei 2025. Anak tersebut, kata Ilmansyah merupakan korban perundungan.

Perundungan anak atau bullying bukan lagi hal asing di tengah masyarakat kita. Setiap tahun, berita tentang anak-anak yang menjadi korban perundungan terus bermunculan. Ironisnya, banyak pelaku justru adalah teman dekat korban sendiri. Baru-baru ini, publik kembali digemparkan oleh kasus perundungan yang dilakukan oleh anak SMP, dengan kekerasan fisik dan bahkan melibatkan minuman keras jenis tuak. Kasus ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk perundungan makin berkembang dan makin berbahaya. Ini bukan hanya soal “anak iseng” atau “main-main,” tetapi sudah menjurus ke tindakan kriminal.

Yang lebih mencemaskan, kasus seperti ini hanyalah sebagian kecil dari realita yang sebenarnya terjadi. Banyak kasus lain yang tidak pernah terungkap karena korban takut bicara, atau dianggap sebagai masalah kecil oleh lingkungan sekitar. Inilah mengapa perundungan anak disebut sebagai fenomena gunung es, hanya sedikit yang tampak di permukaan, padahal yang tersembunyi jauh lebih besar.

Sebenarnya ini bukan hanya tentang anak-anak yang “nakal.” Ini adalah cerminan dari sistem kehidupan yang kita jalani saat ini, sistem yang gagal membentuk manusia yang berakhlak, gagal mencegah keburukan sejak dini, dan gagal memberi perlindungan nyata bagi anak-anak.

Semua kegagalan ini bukanlah kebetulan. Ini adalah buah dari sistem sekuler kapitalistik yang dipakai dalam kehidupan kita hari ini. Sistem sekuler memisahkan agama dari kehidupan. Artinya, nilai-nilai keimanan dan akhlak tidak dijadikan dasar dalam mengatur masyarakat, termasuk dalam hal pendidikan dan penegakan hukum.

Perundungan, kekerasan, bahkan penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anak-anak, bukan sekadar masalah pribadi atau keluarga. Ini adalah masalah sistemik. Dan karena itu, solusi yang dibutuhkan pun harus bersifat sistemik dan menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam.

Islam memandang bahwa perundungan adalah haram, baik berupa kekerasan fisik, ucapan yang menyakitkan, maupun intimidasi sosial. Dalam Islam, semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sejak seorang anak mencapai usia baligh, ia sudah dianggap sebagai mukallaf, artinya ia sudah memikul beban hukum dan harus bertanggung jawab atas setiap perbuatannya.

Dalam Islam, pendidikan bukan hanya tanggung jawab orang tua. Negara dan masyarakat juga ikut bertanggung jawab. Bahkan negara dalam sistem Islam wajib menyusun kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam. Artinya, anak-anak sejak kecil diajarkan mengenal Allah, Rasul, halal-haram, akhlak, tanggung jawab, dan kejujuran, semua hal yang membentuk kepribadian Islam.

Dengan sistem ini, anak-anak akan tumbuh sebagai generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat iman dan akhlaknya. Mereka akan tahu batas-batas perilaku, tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bukan karena takut dihukum manusia, tapi karena sadar bahwa Allah selalu mengawasi.

Mari kita buka mata, bahwa masalah perundungan anak bukan hanya urusan sekolah atau orang tua. Ini adalah urusan seluruh masyarakat. Dan perubahan tidak akan terjadi jika kita terus mempertahankan sistem yang rusak. Sudah saatnya kita kembali pada sistem kehidupan yang memuliakan manusia dan menanamkan nilai-nilai kebaikan sejak dini, yaitu sistem Islam.

Wallahu'alam bissawab

Posting Komentar

0 Komentar