
Oleh: Masna Maisyaroh, SE
Penulis Lepas
Ini bukanlah sebuah cerita fiktif atau non fiksi, namun ini adalah fakta. Sebuah negeri yang kehijauannya menjulang dari Sabang sampai Merauke, kaya akan SDA nya, namun kemiskinan atas rakyatnya. Iya betul, disinilah surganya para koruptor, surganya para pejabat yang haus akan kemewahan dunia. Mengapa demikian?
Sebab, di tengah upaya pemerintah melakukan efesiensi anggaran negara, Suara Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) lantang menyebutkan adanya upaya rekayasa sistem E-katalog, hal ini terungkap saat pengungkapan kasus korupsi proyek jalan di daerah Sumatera Utara (Sumut), dan ini fakta.
Padahal juru bicara KPK Budi Prasetyo menyebut sudah melakukan upaya agar tidak terjadinya penyelewengan dalam sistem E-katalog, yaitu dengan melakukan pengawasan dan pendampingan kepada pemerintah melalui (MCSP) yaitu instrumen Monitoring Controlling Surveilance for Prevention dalam aspek perencanaan, penganggaran, dan pengadaan barang dan jasa. Jakarta Selatan, Jum'at, (4/7). Kasus sama juga di temukan dalam proyek pengadaan mesin Elektronik data Capture (EDC), disalah satu bank pelat merah, yang menyentuh nilai fantastis Rp 2,1 triliun, berlangsung pada periode 2020-2024, Jakarta Selatan, Senin, 30-06-2025.
Tumbuh suburnya para koruptor di Indonesia ini menunjukkan bahwa, negara Indonesia masih berpegang teguh dengan paradigma sekuler kapitalistik neolib, yang jelas-jelas terbukti gagal dalam mengurusi urusan rakyatnya dan juga gagal dalam mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Inilah kenyataan penderitaan rakyat, dan inilah surga nyata bagi para koruptor. Sistem sekuler kapitalime inilah yang menjadi jargon kesenjangan yang menjulang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Sehingga jauh dari visi misi menciptakan individu-individu yang bertaqwa, amanah dan penuh tanggung jawab, yang ada hanya menyuburkan politik transaksional yang menjadikan amanah kekuasaan hanya menjadi alat transaksi antara para pejabat dengan para oligarki dan pemilik modal. Efek selanjutannya jika masih saja menjadi tontonan akan bertambah suburnya praktek korupsi yang membudaya dan menjadi normalisasi di semua level, baik ranah pemerintahan maupun ranah kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan Islam yang menjadikan dasar atau pondasi sebuah negara adalah atas akidah Islam. Menjadikan tujuan atas aktivitas individu, masyarakat dan negara sesuai syariat, yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah ï·».
Dengan syari'at Islamlah negara mampu membentuk individu dengan adab dan taqwa serta masyarakat yang senantiasa beramar makruf nahi munkar, dan ditopang dengan terwujudnya negara yang menerapkan kebijakan dengan adil dan tegas, sesuai Al-Qur'an dan As-sunah. Sistem Islamlah jaminan langsung dari Allah ï·», sang Khaliq dan sang mudabbir, yang mampu mewujudkan masyarakat sejahtera penuh atas keberkahan. Dan terbukti selama kurang lebih selama 14 abad lamanya, sebelum penghianat terkutuk kemal Attaturk meruntuhkan Daulah Islam.
Kenapa Islam bisa menjadi solusi? Sebab Islam memiliki perangkat aturan yang sempurna, apalagi jika diterapkan secara kaffah, maka akan mampu meminimalisir munculnya kasus pelanggaran seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan dll. Sayangnya, jika kesempurnaan perangkat aturan Islam tidak diterapkan secara sempurna, dan hanya di ambil sebagian-sebagian, maka kesejahteraan akan jauh dari lupuk mata, dan penderitaan rakyat menjadi budaya kehidupan.
Fakta sejarah keemasan Islam membuktikan bahwa, penerapan Islam secara kaffah mampu menciptakan masyarakat ideal yang bertaqwa, merasa diawasi oleh Allah dan yakin atas pertanggung jawaban di akhirat, sehingga menutup keinginan untuk melakukan tindakan korupsi dan penyimpangan yang diharamkan. Karena menciptakan masyarakat berkepribadian Islam juga merupakan tugas tanggung jawab negara, dari sinilah muncul cikal bakal generasi yang tiada tandingannya baik dalam bidang sains maupun teknologi, dan ini terwujud ketika Islam diterapkan dalam naungan Khilafah islamiyah.
0 Komentar