
Oleh: Nita Nur Elipah
Penulis Lepas
Media diramaikan oleh kasus korupsi dalam proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di salah satu bank BRI. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp2,1 triliun dan berlangsung sepanjang periode 2020 hingga 2024.
"Tempus perkaranya dari 2020 sampai dengan 2024, dengan nilai proyek sekitar Rp2,1 triliun," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin, 30-06-2025.
KPK telah melakukan penggeledahan di dua lokasi kantor pusat bank BRI dan mengamankan berbagai dokumen proyek, buku tabungan, serta bukti elektronik. Semua barang bukti kini tengah dianalisis lebih lanjut oleh tim penyidik. (Beritasatu, 30-06-2025)
Geram rasanya melihat kasus korupsi yang tiada habisnya di negeri ini. Satu kasus belum selesai, sudah muncul kasus baru. Kasus ini tentu menambah panjang daftar korupsi yang menjerat institusi publik dan perbankan milik negara. Ironisnya, sejumlah kasus besar yang melibatkan para pejabat dan elite politik justru masih belum jelas penyelesaiannya di ranah hukum. Keadilan terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Miris sekali.
Lebih menyedihkan lagi, semua ini terjadi di tengah narasi pemerintah tentang efisiensi anggaran yang katanya demi menekan defisit negara. Namun yang paling terdampak justru adalah sektor-sektor yang menyentuh langsung kepentingan rakyat.
Kebijakan efisiensi anggaran berdampak langsung pada sektor pelayanan publik yang vital, khususnya bidang kesehatan. Pengurangan jam pelayanan, alat kesehatan, dan obat-obatan tentu berisiko menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Banyak pegawai pun terpaksa dirumahkan.
Kontradiksi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apa sebenarnya prioritas kebijakan negara? Mengapa rakyat yang harus menanggung beban efisiensi, sementara kebocoran anggaran akibat korupsi terus dibiarkan? Bagaimana mungkin pemerintah meyakinkan publik untuk hidup hemat dan bersabar, sementara uang rakyat terus mengalir ke kantong segelintir elite yang menyalahgunakan kekuasaan?
Sungguh, perilaku koruptif yang dipertontonkan secara nyata ini adalah bukti kegagalan negara dalam membangun tata kelola yang bersih dan berpihak pada kepentingan umum. Korupsi bukan sekadar kejahatan ekonomi, tetapi juga bukti hancurnya sistem keadilan di negeri ini.
Paradigma Kepemimpinan Kapitalistik
Mudahnya orang-orang, bahkan para pejabat, melakukan korupsi hari ini karena mereka jauh dari pemahaman Islam dan tidak mengindahkan aturan Allah. Korupsi yang jelas-jelas haram tetap dilakukan karena standar perbuatan masyarakat (termasuk para pejabat) tidak lagi didasarkan pada halal dan haram, melainkan pada kesenangan dan kepuasan semata.
Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗوَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.” (QS. Ali Imran [3]: 161)
Rasulullah ﷺ bersabda:
لعنةُ اللَّهِ علَى الرَّاشي والمُرتَشي
“Laknat Allah terhadap orang yang memberi suap dan menerima suap.” (HR. Ibnu Majah).
Tidak adanya sanksi yang tegas juga menjadi penyebab menjamurnya kasus korupsi. Ini mencerminkan kegagalan negara dalam memberantas korupsi. Inilah buah dari sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme, sistem yang terbukti tak mampu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Alih-alih mengutamakan kepentingan rakyat, sistem politik demokrasi justru menyuburkan praktik politik transaksional, di mana kekuasaan menjadi alat tukar antara pejabat dan pemilik modal. Amanah kepemimpinan kehilangan makna, tergadai demi kepentingan jangka pendek yang sarat dengan motif pribadi dan golongan.
Akibatnya, praktik korupsi tumbuh subur di seluruh sektor kehidupan hingga ke akar rumput. Inilah hasil dari sistem yang menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan. Moralitas terkikis, dan materi dijadikan tolok ukur utama dalam setiap kebijakan.
Kepemimpinan dalam Islam
Berbeda dengan sistem sekuler, kepemimpinan dalam Islam berasaskan akidah Islam. Segala aspek kehidupan diatur sesuai dengan syariat. Kepemimpinan dalam Islam tidak hanya mengatur urusan dunia, tetapi juga menjaga aqidah dan moral masyarakat.
Dalam Islam, kekuasaan dipahami sebagai amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْإِمَامُ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Kekuasaan juga ditujukan untuk menjamin pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Allah berfirman:
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ
“Hendaklah engkau memutuskan (urusan) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadalah terhadap mereka agar mereka tidak memperdayakanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49)
Kehidupan masyarakat dibangun di atas syariat Islam, dengan praktik amar makruf nahi mungkar sebagai pilar utama dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Hasilnya adalah masyarakat yang adil, sejahtera, dan bermartabat.
Kepemimpinan dalam Islam tidak dijalankan demi kepentingan pribadi atau golongan, melainkan untuk menegakkan keadilan dan menjaga kemaslahatan seluruh rakyat.
Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna. Jika diterapkan secara kaffah (menyeluruh), sistem ini mampu meminimalisasi berbagai pelanggaran, seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan, manipulasi kekuasaan, dan bentuk kezaliman lainnya.
Islam tidak hanya menegakkan sanksi hukum secara tegas, tetapi juga menanamkan ketakwaan individu, kontrol sosial melalui amar makruf nahi mungkar, serta sistem pemerintahan yang bebas dari kepentingan kapitalistik.
Pada saat yang sama, sistem Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Hal ini diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya alam secara adil dan sistem distribusi kekayaan yang merata. Dengan jaminan kesejahteraan tersebut, peluang terjadinya pelanggaran hukum dapat ditekan secara signifikan.
Islam tidak hanya melarang kerusakan, tetapi juga menutup celah terjadinya kerusakan itu sendiri. Sejarah membuktikan bahwa pada masa keemasan Islam, masyarakat hidup dalam suasana yang bersih dari korupsi dan penyimpangan kekuasaan.
Kepemimpinan Islam dijalankan dengan amanah dan tanggung jawab. Kesejahteraan dirasakan merata, dan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Hal ini dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. terhadap putranya, Abdullah bin Umar. Ketika mengetahui unta milik putranya dipelihara di tempat khusus milik baitulmal hingga menjadi gemuk, Khalifah Umar segera memerintahkan agar unta itu dijual dan keuntungannya dimasukkan ke baitulmal.
Masya Allah, begitulah ketegasan seorang pemimpin seperti Umar bin Khaththab dalam mencegah praktik korupsi, baik yang menyangkut dirinya maupun keluarganya.
Inilah gambaran kepemimpinan ideal dan adil yang pernah terwujud dalam sejarah peradaban manusia, dan itu hanya terjadi di bawah naungan sistem Islam kaffah, yaitu Khilafah Islamiyah.
Sungguh, semakin rindu kita akan hadirnya kepemimpinan Islam yang mulia itu.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
0 Komentar