MEMBANGUN 'COMMON WILL' DEMI TUJUAN TEGAKNYA HUKUM ALLAH SWT


[Catatan Diskusi Online yang diselenggarakan oleh PKAD dan eLSEI]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Diberbagai forum diskusi, penulis sampaikan bahwa untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah, harus dengan menegakkan institusi Khilafah. Untuk menegakkan Khilafah, bukan ditempuh dengan Pemilu, Pilpres, Pilkada, Kudeta, pemberontakan atau people power. Untuk menegakkan Khilafah adalah dengan dakwah.

Dakwah yang bagaimana? Dakwah secara politik dan pemikiran. Dakwah yang dilakukan dengan diskusi demi diskusi. Hingga tercapai kesepakatan bersama. Teknisnya sederhana : diskusi, disepakati, diskusi, disepakati, diskusi, disepakati, hingga terjadi kesepakatan bersama Umat.

Apa isi kesepakatan bersama itu?

Pertama, Umat ini sepakat dan dengan keinsyafan sebenar-benarnya bahwa masalah bangsa ini adalah karena maksiat kepada Allah SWT, dengan mengambil dan menerapkan aturan bukan dari Allah SWT. Pangkal dari segala masalah adalah sekulerisme demokrasi.

Karena itu, Umat harus bersepakat demokrasi adalah biang kerok, bukan solusi. Dengan demikian, umat tak keliru mengambil solusi.

Kedua, Umat ini sepakat dan dengan keinsyafan sebenar-benarnya bahwa solusi bagi bangsa ini adalah kembali kepada Allah SWT, dengan mengambil dan menerapkan aturan dari Allah SWT. Itulah syariah Islam yang kaffah dalam naungan Daulah Khilafah.

Hanya Islam, syariah dan khilafah solusinya. Umat ini jangan mempertahankan sekulerisme demokrasi, atau mengambil sosialisme komunisme. Sudah saatnya, negeri dengan mayoritas penduduk muslim ini kembali kepada Islam.

Ketiga, untuk menuju kesepakatan pertama dan kedua, satu-satunya jalan yang wajib ditempuh adalah dengan dakwah. Dengan diskusi dan diskusi, menyepakati sejumlah hal, hingga terjadi kesepakatan bersama untuk menegakkan hukum Allah SWT, sebagai solusi atas semua problematika yang mendera umat.

Dalam konteks itulah, penulis tertarik dengan narasi yang disampaikan oleh Ustadz Ismail Yusanto, dalam agenda FGD Spesial PKAD Pusat Kajian dan Analisis Data dan eLSEI Lingkar Studi Ekonomi Ideologis, mengambilnya tema 'Transaksi Dinar dan Dirham "Sebuah Pelanggaran"?.

Dalam diskusi online tersebut, Ust Ismail Yusanto menawarkan konsep membangun 'Common Will'. Atau beliau menyebutnya dengan istilah membangun Wa'yul 'Am. Sebuah usaha bersama untuk membangun kehendak bersama, kesepakatan bersama, yang dibangun berdasarkan kesadaran umum umat, tentang pentingnya menerapkan syariah Islam secara kaffah. Kesadaran umum ini penting, agar umat juga penguasa tidak keliru mempersepsikan Islam dan ajarannya.

Penangkapan Zaim Saidi dalam isu Dinar Dirham ini tak lepas, dari adanya ketidakpahaman penguasa pada agungnya syariat Islam dimana diantara ajaran Islam adalah menyandarkan sistem moneter pada Dinar dan Dirham (emas dan perak). Apa yang dilakukan oleh Zaim Saidi adalah bagian dari ikhtiar untuk mengedukasi umat tentang pentingnya penggunaan mata uang Dinar Dirham dalam transaksi perekonomian.

Bukan malah dikriminalisasi dengan pasal 9 UU No 1 tahun 1946 dan pasal 33 UU No 7 tahun 2011. Fakta penggunaan uang selain rupiah itu sudah jamak terjadi di negeri ini, seperti dolar Amerika yang banyak beredar di Bali dan Dolar Singapura yang banyak beredar di Batam.

Alat pembayaran diluar uang baik berupa barang berbentuk kartu sebagai instrumen uang digital (e money), sejumlah alat tukar yang berlaku dalam komunitas tertentu, hingga bit coin juga jamak kita temui. Tapi mengapa yang dipersoalkan hanya Dinar dan Dirham? Itu semua, menguatkan dugaan bahwa rezim ini anti terhadap Islam dan ajarannya.

Menarik sekali, ulasan tentang fakta Dinar dan Dirham sebagai mata uang paling kuat, dan banyak direkomendasikan ahli ekonomi barat itu sendiri. Uraian tentang emas dan perak, utang, dan bagaimana seharusnya Umat memandang Dinar dan dirham begitu apik, dijelaskan dalam bentuk Slide oleh Muhammad Hatta S.E., M.M. - Ekonom Syariah.

Adapun Dr. Tony Rosyid memandang tidak ada korelasi yang kuat melihat komitmen pemerintah terhadap penumbuhan geliat ekonomi syariah, jika dilihat semata pada program wakaf uang tunai. Apalagi, sejumlah nama yang mengisi struktur Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) tidak merepresentasikan semangat ekonomi Syariah.

Arif Firmansyah S.E., M.M. (Direktur eLSEI) dalam sambutan pengantarnya melihat ada paradoks yang diperlihatkan pemerintah. Satu sisi begitu giat menggetarkan ekonomi syariah, bahkan menelurkan kebijakan wakaf uang tunai. Namun, pada saat yang sama menangkap Zaim Saidi yang mengedukasi Dinar Dirham yang notabene bagian dari ajaran sistem moneter Islam. Semestinya, dilakukan dialog terlebih dahulu bukan langsung menetapkan tersangka dan ditahan.

Wartawan senior Edy Mulyadi, memberikan apresiasi terhadap gagasan ekonomi Islam yang memang saat ini relevan untuk dikampanyekan. Praktik ekonomi konvensional saat ini, memang tak memberikan rasa keadilan.

Dan Prof. Daniel M. Rosyid - Pakar Peradaban, memberikan perspektif peradaban dalam melihat kasus Dinar Dirham ini. Ini adalah bagian dari upaya global untuk memarginalkan eksistensi dan peran Umat Islam. Uang kertas (Fiat Money) adalah kebijakan peradaban barat yang dipaksakan kepada dunia Islam.

Penulis kira dalam konteks apa yang disebut oleh Ust Ismail Yusanto sebagai membangun 'Common Will', sudah sepatutnya PKAD dan untuk terus menggiatkan diskusi. Diskusi, disepakati, diskusi, disepakati, diskusi, disepakati, hingga terjadi kesepakatan bersama Umat untuk menegakkan hukum Allah SWT. [].

Posting Komentar

0 Komentar