
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Kasus tuduhan radikalisme kepada Prof Din Syamsuddin tidak akan terjadi, seandainya HTl dan FPl masih ada. Sebab, selama ini yang paling kenyang dituding radikal, intoleran, anti kebhinekaan, anti Pancasila, anti NKRI, ya aktivis HTl dan FPl Kalau ada narasi radikalisme hendak dijadikan jualan rezim, baik untuk cari kambing hitam atau mengalihkan perhatian publik pada kegagalan pemerintahan, ya paling mudah untuk langganan tudingan ke HTl dan FPl Baik terhadap organisasinya, anggotanya, simpatisannya, dakwah yang diemban, hingga atribut dakwah yang dipergunakan.
Kalah ada narasi pemikiran yang radikal, khilafah berbahaya, akan memecah-belah, tuding HTl. Kalau ingin menarasikan bahaya gerakan radikal dan menuding dakwah amar ma'ruf nahi Munkar, tuding FPl. Pokoknya, kalau ga HTl ya FPl. Dua ormas Islam ini, cukup ampuh untuk dijadikan kambing hitam dan menutupi aib rezim.
Namun, pasca BHP HTl dicabut dan FPl dibubarkan, ada yang mati gaya. Posisinya, serba salah jika masih mau menggoreng isu radikalisme menggunakan narasi tuding HTl dan FPl.
Mau menyebut dan menuding HTl dan FPl, memangnya masih ada? Kalau disebut masih ada dan mereka terus bergerak, berarti rezim keok? Hanya mampu membubarkan badan hukumnya, formal organisasinya, tidak kegiatan dakwahnya. Narasi seperti ini-kan blunder? Padahal, selama ini dengan gagahnya rezim selalu menyuarakan jargon "Negara Tidak Boleh Kalah".
Kalau terus-terusan menuding HTl dan FPl, itu bukannya malah mengkonfirmasi negara kalah? Katanya, Negara tidak boleh kalah?
Hebat betul HTl dan FPl? Sudah dicabut dan dibubarkan pun, masih terus dianggap menunggangi sejumlah isu politik. Bahkan, sampai UU Pemilu pun akan dibuat norma khusus agar aktivis HTl tidak ikut Nyaleg atau jadi Cakada. Bahkan, tak boleh nyapres dan menjadi anggota DPD.
Karena itu, harus ada yang dituding radikal. Dan itu tak bisa HTl dan FPl baik organisasi atau individu yang dikenal publik sebagai anggota dan/atau pengurusnya.
Dalam konteks itulah, tudingan radikalisme itu menyasar kepada Prof Din Syamsuddin. Motifnya tetap sama, cari kambing hitam sambil terus menerus menutupi ketidakmampuan (baca: kegagalan) rezim mengelola pemerintahan.
Dan sayangnya, tudingan itu blunder. Orang akan merasa aneh saja, tudingan itu diarahkan ke Prof Din Syamsuddin.
Jadi, untuk alasan perlu dilestarikannya kambing hitam, agar selalu ada sasaran tuduhan radikalisme, saran saya HTl dan FPl dihidupkan kembali organisasinya oleh pemerintahan. Agar pemerintah, punya sarana untuk buang badan, dan menjadikan HTl dan FPI sebagai kambing hitam. Lagipula, HTl dan FPl sudah terbiasa dengan tuduhan radikal.
Disisi yang lain, sesungguhnya umat ini juga merindukan HTl dan FPl Dua ormas ini, ibarat sayap penyerang kezaliman yang sering melakukan 'Goal Politik' menerobos benteng pertahanan rezim. Sudah lama, Umat ini rindu dua ormas ini menggiring bola dakwah secara apik, dan kembali menyarangkan bola politik ke gawang rezim. [].
0 Komentar