
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Saya ingin ingatkan, Moeldoko itu bukan sasaran serangan Demokrat. Yang mengancam Demokrat juga bukan Moeldoko. Dalam kajian politik perspektif apapun, Moeldoko bukanlah siapa-siapa dan bukan apa-apa bagi Demokrat.
Jadi, dipastikan sasaran serangan politik Partai Demokrat bukanlah Moeldoko. Moeldoko hanyalah 'media' antara untuk menyampaikan pesan kepada istana, bahwa Demokrat tak bisa di 'Golkar' kan, di 'PPP' kan, atau di 'Berkarya' kan.
Perspektif yang lain, Demokrat juga memahami 'sisi berkah' dari posisi 'melawan' istana. Yakni, elektabilitas partai akan naik, mengingat rakyat memahami betapa zalimnya rezim sehingga rakyat akan memberikan dukungan kepada siapapun yang mengajukan perlawanan kepada rezim. HRS telah mengunduh 'elektabilitas' sebagai ulama panutan untuk melawan kezaliman. Demokrat, bisa mendapatkan berkah "durian runtuh" jika mampu meyakinkan rakyat, sebagai partai yang berani didepan melawan kezaliman rezim.
Mengenai posisi Moeldoko bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa, tak memberikan efek bahaya atau sekedar ancaman bagi Demokrat, perlu saya tegaskan ulang beberapa analisis sebagai berikut :
Pertama, sekali lagi dalam isu kudeta partai politik itu bukan aktor kudeta yang membahayakan. Tetapi otoritas yang mengeluarkan legalitas kepengurusan yang akan mendapatkan otoritas memimpin partai untuk mengikuti sejumlah agenda politik, baik Pemilu, Pilpres hingga Pilkada.
Sebagaimana terjadi dalam kasus Golkar, PPP dan Berkarya, justru yang memecah ketiganya adalah SK yang diterbitkan Kemenkumham. SK inilah, tanda kemenangan kudeta, bukan ajang kongres luar biasanya. Kongres luar biasa tidak akan bernilai, jika Kemenkumham tidak mengeluarkan beshicking yang melegalisasinya.
Pada praktiknya, kongres luar biasa (KLB) itu hanya formalitas agar Kemenkum HAM dapat menandatangani Print Out SK bagi kubu yang dikehendaki. Jadi, prosesnya atau hulu masalahnya ada di Kemenkumham. Lebih hulu lagi, ada di istana.
Jadi, Moeldoko baik dalam kapasitas Ka Staf Kepresidenan apalagi individu pribadi, tak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk 'mengancam' Demokrat. Apalagi, akan mengkudeta Partai Demokrat.
Kedua, istana terlihat membuang isu atau setidaknya mengkanalisasi isu agar berhenti di Moeldoko. Istana tidak menjawab surat AHY, dan menyatakan 'tidak tahu menahu' ditengah santernya penyebutan Moeldoko terlibat dalam kasus ini.
Itu artinya, baik Demokrat maupun istana sama-sama menjadikan Moeldoko sebagai media serangan dan pertahanan. Demokrat menyerang istana melalui Moeldoko, dan istana memagari serangan menggunakan Moeldoko.
Itu artinya, kedudukan Moeldoko hanyalah sebagai media, tak lebih, tak kurang, dan bukan King Maker dalam perkara ini. Pada kondisi tertentu, jika istana tak mampu menggunakan Moeldoko sebagai benteng, boleh jadi benteng itu dirobohkan dan akan berlindung di bunker, sekedar menghindari tekanan publik. Dan juga, memberikan efek mainan bagi Demokrat, agar ada perasaan menang dengan sanggup merobohkan benteng Moeldoko, dan tak meringsek masuk ke bungker istana.
Ketiga, perluasan media pertarungan kedua kubu, yakni Demokrat melingkar menarik Nama Kapolri dan Ka BIN, disisi lain istana memanfaatkan barisan sakit hati di internal Demokrat, semakin mengkonfirmasi bahwa sesungguhnya pertarungan yang terjadi memang antara Demokrat dan istana, bukan Demokrat dengan Moeldoko. Moeldoko, terlalu kecil jika hendak dijadikan rival politik Demokrat dan tak memberikan benefit elektabilitas bagi Demokrat jika hanya berseteru dengan Moeldoko.
Keadaan ini, akan memancing istana mengambil manuver lebih. Atau pada kondisi tertentu, dapat juga merobohkan benteng untuk berlindung pada bunker, seiring serangan pada istana semakin masif dari luar Demokrat, khususnya pasca pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan Presiden Jokowi.
Keempat, saya lebih suka menyebut ini perseteruan SBY vs istana, bukan SBY vs Mega, atau Demokrat vs Istana. Hal ini, didasarkan pada alasan bahwa bagaimanapun King Maker di Demokrat de facto adalah SBY, bukan AHY. Realitas yang dihadapi SBY adalah istana, bukan PDIP atau Megawati meskipun ada irisan diantara keduanya.
Karena itu, apapun ultimatum yang disampaikan Moeldoko tidak penting dalam perkara ini. Moeldoko hanyalah satu 'Panser' diantara banyak panser yang berlaga dalam sengketa politik ini. Sehingga, posisi Moeldoko sebenarnya oleh Demokrat tak diperhitungkan meskipun hanya seujung kuku, selain hanya dijadikan sarana atau media serangan kepada istana.
Sekali lagi, dalam perspektif itulah pertaruhan politik yang terjadi antara SBY vs istana. Dinamika politik terkait pelanggaran protokol kesehatan di NTT, sebenarnya menambah benefit politik bagi SBY untuk menggerakkan pasukannya melakukan serangan lebih masif dan mendekat ke istana. Sekali lagi, Moeldoko tetap harus konsisten dijadikan media serangannya. [].
0 Komentar