
Oleh: Pierre Suteki
Dalam kasus Gus Nur apakah penegakan hukumnya berorientasi pada pencarian keadilan dan kebenaran (searching justice and the truth)? Menurut hemat penulis, jawabannya TIDAK! Mengapa? Karena dari sisi normatif pun ditemukan beberapa pelanggaran hukum, apalagi persoalan keadilannya. Mungkinkah? Keadilan itu berada di laci yang berbeda dengan laci hukum. Keadilan berada di laci moral yang oleh Ulpianus dirinci menjadi kesatuan dari 3 prinsip, yaitu:
(1) Honeste vivere (to be honest in your life)(2) Alterum non laedere (to hurt no one)(3) Suum cuique tribuere (to give the right to others)
Hukum dan keadilan itu tidak dalam satu laci. Bahkan secara konseptual, menurut Gustav Radbruch dengan TRIADISME-nya keduanya punya potensi saling tarik menarik sehingga timbul hubungan ketegangan (spanungsverhealtnis). Radbruch menegaskan bahwa "where statutory law is incompatible with justice requirement, statutaory law must be disregarded by a judge". Namun, dalam pemerintahan otoriter, hukum negara (kepastian hukum) justru diutamakan dengan mengabaikan keadilan. Hukum justru dipakai untuk melegitimasi segala tindakan pemerintah meski keliru sekalipun.
Pelanggaran hukum dalam penetapan, penangkapan hingga penahanan dan pemeriksaan di pengadilan atas Gus Nur dimulai sejak banyak pejabat negara meneriakkan: NEGARA TIDAK BOLEH KALAH dan APARAT DILINDUNGI HUKUM. Salah satu akibat penerapan slogan itu misalnya dalam praktik buruk penegakan hukum, misalnya:
1. Standar Tidak Jelas: Suka Suka Kami (SSK).
Di sisi lain, hukum di masa kini terkesan tak memiliki standar yang jelas. Penegakan Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan Tersangka bahkan baru sekedar TERDUGA. Beberapa fakta berikut menunjukkan gaya penegakan hukum yang terkesan SSK. Beberapa bukti SSK sbb:
(1) Penahanan dilakukan sebelum pemeriksaan pendahuluan, pemanggilan untuk dimintai keterangan. Saksi-saksi juga belum dihadirkan.
Gus Nur langsung ditangkap dan ditahan di Bareskrim. Namun seperti telah diduga sebelumnya, Gus Nur langsung ditahan, padahal belum pernah ada pemanggilan utk pemeriksaan pendahuluan untuk mendapatkan 2 alat bukti. Dengan dalil tuduhan delik apa seseorang ditahan? Selain SSK hal ini juga bertentangan dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
(2) Penangguhan penahanan dengan jaminan.
Indikasi adanya perlakuan yang suka-suka terhadap hak tersangka meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin, ternyata upaya penangguhan penahanan Gus Nur ditolak oleh penyidik. Jika semua pihak, termasuk polisi bertindak sesuka hati, maka hal itu sama saja menghilangkan fungsi negara. Sebab, negara hadir untuk memberi batasan-batasan agar setiap hak warga negara terpenuhi.
2. Diskresi Cenderung Diskriminatif.
APH mempunyai hak untuk to do or not to do, ada diskresi dalam kerangka menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada EQUALITY BEFORE THE LAW. Jika tidak maka yang akan terjadi adalah PENEGAKAN HUKUM YANG AMBYAR, misalnya:
dengan melakukan Kriminalisasi Ulama (Gus Nur) vs "pembiaran" para "buzzer" pendukung rezim (Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando dll).
3. Pemerintah tidak mematuhi putusan MK.
Ada 1 putusan MK yang ditabrak oleh Pemerintah, c.q. kepolisian dalam penetapan tersangka dan penahanan Gus Nur, yaitu:
Penetapan Tersangka tanpa pemeriksaan terhadap HRS. Polisi tidak mematuhi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Putusan MK itu menegaskan bahwa Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya.
4. Persidangan juga tidak dilakukan secara fair trial.
(1) Tidak dihadirkannya saksi dan korban
Ketidakhadiran Yaqut Cholil Qoumas dan KH Said Aqil Shiraj, menghilangkan kewenangan menuntut bagi jaksa berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Karena genus delik pasal ini adalah pasal 310 KUHP yang merupakan delik aduan. Tidak ada perkara tanpa kehadiran korban, sehingga dakwaan jaksa berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE ini gugur.
Ketidakhadiran Yaqut Cholil Qoumas dan KH Said Aqil Shiraj selaku Ketum Ansor dan PBNU juga menghilangkan unsur 'menimbulkan kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA'. Karena korbannya, yang didalam dakwaan Jaksa disebut Ansor dan PBNU tidak ada yang hadir di persidangan. Sehingga unsur 'menimbulkan kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA' tidak dapat dibuktikan. Alhasil, unsur dakwaan jaksa berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak dapat dibuktikan.
(2) Tidak dihadirkannya terdakwa dalam persidangan.
Padahal, pemeriksaan perkara di Pengadilan tanpa kehadiran secara langsung Terdakwa telah menyalahi ketentuan pasal 145 KUHAP. Sehingga seluruh pemeriksaan perkara tidak sah secara hukum dan bertentangan dengan UU, sepanjang Terdakwa tidak dihadirkan secara langsung di persidangan.
(3) Pemeriksaan Terdakwa Tidak didampingi oleh Penasihat Hukum.
Tim Kuasa Hukum juga tidak bisa mendampingi Terdakwa karena ketidakhadiran Terdakwa direspons oleh Tim PH dengan kebijakan Walk Out. Hal itu, berkonsekuensi pada pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan Terdakwa tanpa didampingi pengacara telah menyalahi ketentuan pasal 54 KUHAP. Sehingga seluruh pemeriksaan perkara bisa disimpulkan tidak sah secara hukum dan bertentangan dengan UU, sepanjang Terdakwa tidak didampingi oleh Tim Penasehat Hukum.
Beberapa hal tersebut saja sudah mampu membuat tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini yang sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Dengan demikian, sebenarnya industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri.
Mencari jalan keluar
Dalam kasus Gus Nur seharusnya kebijakan tidak menegakkan hukum (policy of non enforcement of law) diterapkan dengan alasan, pertama, hukum tidak ramah dengan kehidupan sosial atau bahkan atmosfer sosial. Kedua, hukum tidak jelas, tidak pasti (tidak jelas (lex certa), tidak rinci dan ketat (lex stricta). Ketiga, ada kekosongan hukum dan keempat, ada kegentingan yang memaksa (force majeur).
Saya menilai perlu melakukan penegakan hukum secara progresif agar keadilan dan sosial welfare itu dapat diwujudkan. Cara berhukum progresif lebih mengutamakan keadilan substantif sehingga lebih condong pada mission oriented dibandingkan dengan procedure oriented. Cara berhukum yang demikian harus disertai dengan karakter khusus dalam penegakan hukum, yaitu rule breaking.
Kini upaya untuk merevisi UU ITE dilakukan oleh penguasa. Namun sebelum direvisi Polri sudah menerbitkan SE yang intinya memerintahkan kepada jajaran Polri untuk menerapkan Restorative Justice dalam menangani TP Pelanggaran UU ITE.
Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com 23 2 2021-Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ada 11 poin dalam surat tersebut, salah satunya mengatur bahwa penyidik tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah minta maaf. Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021.
Melalui surat itu, Kapolri meminta seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dalam penerapan UU ITE. Karena itu, Sigit meminta jajarannya mengedepankan edukasi dan langkah persuasif dalam penanganan perkara UU ITE, khususnya dengan sarana Restorative Justice (RJ).
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, mengapa baru sekarang ide RJ ini muncul setelah banyak korban berjatuhan karena dituduh melakukan delik UU ITE? Patut diduga SE ini keluar untuk menarik bumerang yang telah memakan korban lawan-lawan politik dan sentimen-sentimen pribadi. Buzzer dan pihak pihak pro rezim patut diduga hendak diselamatkan dengan SE ini. Cukup minta maaf, masalah tidak akan diteruskan polisi. SE berfungsi sebagai dalil sekaligus dalih menolak laporan dan menghentikan penyelidikan atau penyidikan.
Hukum Islam sebagai hukum yang datangnya dari Yang Maha Adil, maka dipastikan penegakannya akan menjamin hadirnya keadilan bagi siapa pun, khususnya bagi pelaku dan korban perbuatan yang dinilai jahat. RJ itu pun mengadopsi sistem hukum Islam. Ada qishas ada diyat. Lembaga permaafan sangat terbuka dalam hukum Islam, sehingga dalam hal ini negara boleh memfasilitasi kedua belah pihak untuk didamaikan dengan kesepakatan bersama. Jika para pihak telah setuju, misal antara Gus Nur dengan NU sudah ada kesepakatan menyelesaikan perkara dengan baik, maka negara tidak perlu memprosesnya.
Secara teoretik, hukum seperti ini hanya bisa terlaksana jika syariat Islam diterapkan secara kaffah. Untuk bisa menerapkan syariat Islam kaffah, dengan sistem pemerintahan apa bisa dijalankan? Sistem Demokrasikah? Sistem Monarkhikah? Sistem Oligarkikah? Bukan, hanya dengan sistem pemerintahan Islam yang melindungi segala warga negara. Sistem itu bernama Immamah atau kekhalifahan yang secara teoretikal dapat dilacak dan dipertanggungjawabkan.
Tabik..!!!
Semarang, Sabtu: 27 Februari 2021
0 Komentar