WAJAR, BANYAK PIHAK YANG MEMPERTANYAKAN KEMATIAN UST MAAHER AT THUWAILIBI


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Kematian Ustadz Maaher At-Thuwailibi banyak menimbulkan pertanyaan, jadi wajar jika publik bertanya. Dan penjelasan Polri tentang Kematian Ustadz Maaher At-Thuwailibi meninggal karena sakit diikuti nomenklatur "Sensitif, Bisa Coreng Nama Keluarga' justru menambah banyak pertanyaan publik.

Yang jelas, Ustadz Maaher At-Thuwailibi meninggal di Rutan Bareskrim karena sakit. Ini fakta yang tidak dibantah oleh siapapun, termasuk Polri. Dari fakta ini, wajar jika publik bertanya :

Pertama, kalau sakit kenapa ditahan? Kalaupun sebelumnya pernah sakit dan sudah sembuh kenapa dilanjutkan penahannya? Kalau disebut menolak pengobatan Polri, apakah Ustadz Maaher At-Thuwailibi menolak untuk ditangguhkan?

Padahal, menahan tersangka bukan hak Polisi atau Jaksa. Menahan tersangka adalah wewenang yang disandarkan pada alasan yang diatur KUHAP.

Kalau Ustadz Maaher At-Thuwailibi tidak ditahan, memangnya akan lari? Menghilangkan barang bukti? Melakukan tindak pidana lagi? Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang sudah punya riwayat sakit dan bahkan sudah mengunggah kata permintaan maaf atas perbuatannya? Apa negara mau menyiksa rakyatnya dengan penyalahgunaan wewenang menahan tersangka oleh aparat?

Kedua, itu kasus pencemaran Habib Luthfi Bin Yahya, karena Ustadz Maaher At-Thuwailibi mengeluarkan Cuitan dalam salah satu foto unggahannya mengenakan sorban putih. Ust Maaher membubuhkan keterangan, 'Iya tambah cantik pakai jilbab, kayak kyainya banser ini ya'.

Kok dikenakan pasal 28 ayat (2) UU ITE? Kenapa tidak digunakan pasal pencemaran yakni pasal 27 ayat (3) UU ITE? Apa karena pasal 27 ayat (3) UU ITE ini tidak seksi? Karena ancamannya hanya 4 tahun sehingga tidak bisa untuk menahan Ustadz Maaher At-Thuwailib?

Hampir semua kasus ITE ditempel pasal 28 ayat (2) UU ITE, terlepas terbukti atau tidak pasal ini bisa dijadikan dasar bagi penyidik untuk menggunakan wewenang untuk menahan. Kalau sejak awal ada motif untuk menahan, ini sebenarnya sedang menegakkan hukum atau mau menzalimi rakyat?

Ketiga, menurut pengacara Ustadz Maaher At-Thuwailibi sekujur tubuh Ustadz Maaher At-Thuwailibi dipenuhi dengan bercak bintik-bintik. Ini pertanda apa? Kenapa kepolisian berlindung dibalik nomenklatur sakit yang 'Sensitif, Bisa Coreng Nama Keluarga'?

Memangnya, saat melakukan penangkapan kepada Ustadz Maaher At-Thuwailibi, Polri memikirkan nama keluarga yang tercoreng oleh penangkapan tersebut? Lagipula, secara hukum, tak ada fakta hukum dipilah berdasarkan alasan yang tidak jelas dan tidak dikenal dalam hukum.

Kalau mau humanis, semestinya sejak awal Polri tidak mudah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap rakyat yang baru berstatus terduga atau tersangka. Kalau dianggap mencemarkan, ya proses saja dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE, diperiksa di pengadilan, tanpa harus menahan Ustadz Maaher At-Thuwailibi.

Kalau terjadi kejadian seperti ini, dimana Ustadz Maaher At-Thuwailibi meninggal padahal kasusnya belum disidangkan, ini yang menjadi aib bagi Polri. Negara ini banyak dirundung masalah, jangan tambah lagi masalah dengan sejumlah penangkapan dan penahanan secara zalim.

Saya memahami, menahan tersangka atau terdakwa itu kewenangan aparat penegak hukum. Akan tetapi, kewenangan itu tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang. [].

Posting Komentar

0 Komentar