
[Catatan Sidang Kedelapan, 9 Maret 2021]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Tim Advokasi Gus Nur
Kembali penulis kabarkan bahwa dua orang saksi atas nama Yaqut Cholil Qoumas (Ketum Ansor yang juga Menag) dan KH Said Aqil Shiraj (Ketum PBNU) tidak hadir. Mengenai dua orang ini, sepertinya kita akhiri saja ceritanya. Lima kali Sidang tak hadir, sudah cukup untuk mengkonfirmasi bagaimana watak dan karakter keduanya.
Sebelum penulis kabarkan perkembanhan case Gus Nur, ada sedikit cerita yang ingin penulis bagikan.
Pada saat penulis memasuki area Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, segera penulis menuju ruang sidang utama dimana perkara Gus Nur biasa disidangkan. Karena belum ada kabar, penulis biasa mengunjungi sejumlah tokoh, ustadz dan ulama yang setia datang silih berganti, hadir untuk memberikan support kepada Gus Nur. Ada juga sejumlah emak-emak militan yang selalu rajin mengikuti sidang.
Tak biasanya, ternyata hadir juga Rekan sejawat Penulis, yakni Ibu Kurnia Tri Royani. Beliau advokat yang juga satu organisasi dengan penulis. Beliau ini, adalah salah satu Pelapor kasus kerumunan Presiden Jokowi di NTT yang ditolak laporannya oleh Bareskrim.
Lalu penulis sapa sambil berseloroh, tentang mengapa laporan Bu Kurnia tidak diterima Bareskrim. Dengan suara yang memang dari bawaan besar, penulis sampaikan bahwa "Setiap Warga Negara bersamaan kedudukannya di muka hukum. Presiden adalah kepala Negara, bukan warga negara. Jadi wajar jika Presiden tak berkedudukan yang sama dengan Warga Negara. Karena Presiden adalah Kepala Negara, bukan Warga Negara".
Begitulah, canda dalam obrolan santai penulis kepada Bu Kurnia yang direspons dengan tawa ringan. Sejumlah pengunjung juga ikut menyimak obrolan dan ada yang ikut tersenyum.
Tiba-tiba saja, ada Petugas Kepolisian (Polwan) yang menghampiri penulis menyatakan suara penulis menggangu persidangan. Sebenarnya, penulis bisa saja menuruti untuk diam. Tapi ini kan penulis dengan sesama pengunjung sedang ngobrol santai, tidak ada yang merasa terganggu. Kenapa tiba-tiba ada aparat yang ikut nimbrung tapi bukan ngobrol, nadanya menyela dan ingin menghentikan obrolan sesama pengunjung?
Apalagi, penulis, Bang Damai Hari Lubis, Ricky Fattamazaya, Bang Novel Bamukmin dan sejumlah advokat lainnya datang dalam rangka melaksanakan tugas penegak hukum sebagai advokat, untuk mendampingi Klien. Obrolan yang terjadi, biasa kami lakukan setiap persidangan sambil menunggu sidang dimulai.
Kalau soalnya mengganggu sidang, itu kewenangan Majelis Hakim yang akan mengingatkan. Dan tak ada komplain dari Majelis Hakim, karena obrolan yang kami lakukan diluar ruang persidangan. Di depan gedung utama, tempat biasa kami menunggu giliran sidang.
Tak memberikan argumentasi tentang dasar tindakan, tiba-tiba puluhan aparat kepolisian mengerubuti penulis. Sejumlah advokat dan ulama, serta tokoh yang hadir juga ikut melerai perdebatan antara Penulis dengan sejumlah aparat kepolisian yang silih berganti mendebat penulis.
Saat petugas resmi pengadilan datang melerai, meminta penulis untuk cooling down barulah penulis taati. Karena, didalam wilayah pengadilan itu yang punya kewenangan menertibkan pengunjung baik pihak berperkara maupun advokat adalah Satuan Pengamanan Internal Pengadilan.
Polisi tidak memiliki wewenang atas dasar aparat penegak hukum, untuk ikut 'cawe-cawe' obrolan pengunjung, juga tak punya kapasitas dan otoritas untuk menentukan apakah suara pengunjung mengganggu persidangan atau tidak. Jika tak nyaman dengan konten obrolan pengunjung, yang mempersoalkan kenapa Bareskrim menolak laporan kerumunan Presiden Jokowi, semestinya menepi atau menjauh. Bukan menghentikan obrolan santai pengunjung, dengan dalih mengganggu persidangan.
Penulis biasa sidang, tak pernah ada pengamanan dari kepolisian yang ikut mengontrol aktivitas pengunjung. Kecuali, ada peristiwa yang melanggar hukum, misalnya ada orang yang menampar petugas, atau pengunjung, nah barulah kepolisian sigap bertindak.
Penulis merasakan benar, tindakan aparat kepolisian tersebut jauh dari apa yang disebut Promoter. Apalagi bersifat melayani, melindungi dan mengayomi. Semoga catatan ini bisa sampai ke institusi Polri sebagai kritik agar kedepannya menjadi lebih baik.
Di sekitar area sidang memang banyak sekali anggota kepolisian, tidak seperti biasanya. Ternyata, selain Sidang Gus Nur, Sidang Ali Baharsyah, juga ada sidang Pra Peradilan Habieb Rizieq Shihab. Ali Baharsyah kabarnya divonis 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara. Zalim sekali.
Terkait persidangan Gus Nur dimana Saksi Saudara Yaqut dan Saudara SAS tidak hadir. Rasanya, memang proses pengadilan ini perlu segera diselesaikan dengan dua pendekatan.
Pertama, pendekatan Restoratif Justice sebagaimana surat No. 03 P/TA-GN/III/2021, Perihal : Permohonan Untuk Menyelesaikan Perkara melalalui pendekatan Restorative Justice, yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang kami kirim pada 4 Maret 2021 yang lalu.
Penyelesaian ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menyampaikan agar Polri lebih selektif Menyikapi dan menerima laporan pelanggaran UU ITE sebab pelaksanaannya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan. Presiden Jokowidodo melihat banyak warga yang saling melaporkan, ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.
Kedua, penyelesaian perkara dengan menuntut Gus Nur bebas atau setidaknya lepas dari seluruh tuntutan. Mengenai hal ini, sebaiknya proses sidang dipercepat dengan memeriksa Terdakwa, pembacaan tuntutan, pledoi dan putusan.
Sehingga, perkara ini tidak berlarut-larut yang membuat Gus Nur semakin terzalimi. Proses yang dipercepat ini juga bentuk perhatian pengadilan agar kepentingan Terdakwa tidak dirugikan dengan banyaknya penundaan sidang, hanya karena Saksi Saudara Yaqut Cholil Choumas dan Saudara Sa'id Aqil Siradj berulang kali tidak hadir.
Semua resolusi ini berpulang pada hakim dan jaksa. Kami, Tim Penasehat Hukum tak memiliki wewenang untuk menuntut bebas, tidak pula punya wewenang memutus bebas. Kedua kewenangan itu, ada pada Jaksa dan Majelis Hakim yang mengadili perkara Gus Nur. [].

0 Komentar