
[Catatan Sidang Ketujuh, 2 Maret 2021]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Tim Advokasi Gus Nur
Mohon maaf, penulis agak terlambat mengabarkan perkembangan sidang Gus Nur pada Selasa (2/3) yang lalu. Yang jelas, kembali penulis kabarkan bahwa dua orang saksi atas nama Yaqut Cholil Qoumas (Ketum Ansor yang juga Menag) dan KH Said Aqil Shiraj kembali tidak hadir.
Padahal, ini sudah panggilan ke-4. Semestinya, pada panggilan ke-3 Jaksa sudah dapat mengajukan upaya paksa, kecuali memang kedua saksi ini tidak mau dihadirkan. Memanggil saksi hingga ke empat kalinya dan tidak diindahkan saksi, selain menjatuhkan wibawa jaksa juga merendahkan marwah pengadilan.
Menurut informasi dari Jaksa, Saudara Sa'id Aqil Siradj izin sakit, sementara Menag Yaqut Cholil Choumas tidak hadir tanpa ada keterangan. Sayangnya, kami meragukan Saudara Said Aqil Siradj sakit. Mengingat, pada Rabu (3/3) saudara Said Aqil Siradj hadir bersama Saudara Yusuf Mansur memberikan keterangan sehubungan dengan pembatalan Perpres legalisasi miras.
Tidak berselang lama, Saudara Said Aqil Siradj juga mendapat amanah menjadi komisaris utama merangkap komisaris independen PT KAI. Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk Ketua PBNU Said Aqil Siradj menjadi komisaris utama merangkap komisaris independen PT Kereta Api Indonesia (Persero) menggantikan posisi Jusman Syafii Djamal.
Entahlah, sampai kapan dua orang saksi yang mengaku korban pencemaran, korban kebencian Gus Nur ini akan 'mangkir' dari panggilan sidang. Sementara Gus Nur, semakin ditunda semakin panjang masa tahanan yang harus dijalani, setelah permohonan penangguhan yang diajukan kepada hakim tidak diindahkan.
Sidang itu sendiri, berjalan sangat lucu. Seperti badut saja, begitu ungkap Bang Eggi Sudjana. Bagaimana mungkin, sidang tidak menghadirkan saksi korban? Bagaimana mungkin, sidang tidak dihadiri langsung oleh Terdakwa? Bagaimana mungkin, sidang dilanjutkan memeriksa ahli hanya karena saksi tidak hadir dan Terdakwa tidak didampingi penasehat hukum?
Karena alasan itulah, semestinya perkara ini dihentikan sebagaimana arahan Presiden Jokowi. Selesaikan dengan pendekatan Restoratif Justice, begitu yang diungkapkan oleh Bang Achmad Michdan kepada media saat press conferece. Perkara ini sebaiknya dihentikan, karena perkara berdasarkan UU ITE jelas dipaksakan dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Karena itulah, Rekan Ricky Fattamazaya pada Kamis (4/3) telah mengirimkan surat No. 03 P/TA-GN/III/2021, Perihal : Permohonan Untuk Menyelesaikan Perkara melalalui pendekatan Restorative Justice, yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Diantara alasan yang melatarbelakangi surat tersebut dikirimkan adalah :
Pertama, Presiden Joko Widodo menyampaikan agar Polri lebih selektif Menyikapi dan menerima laporan pelanggaran UU ITE sebab pelaksanaannya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan. Presiden Jokowidodo melihat banyak warga yang saling melaporkan, ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.
Kedua, Surat Edaran Kapolri : SE/ 2/ 11/2021 Tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif yang point pentingnya meminta penyidik mengedepankan Restorative Justice dalam penyelesaian perkara.
Ketiga, sesuai Surat Edaran Kapolri : SE/ 2/ 11/2021 yang menjadi korban mesti melaporkan sendiri namun pada faktanya dipersidangan korban tidak pernah hadir padahal sudah dipanggil 4 kali oleh jaksa secara patut.
Keempat, Terdakwa tidak pernah dihadirkan padahal ada surat perintah kejaksaan negri selatan harus hadir menghadap ke pengadilan negri jakarta selatan.
Kelima, Penasehat Hukum/ Lawyer tetap Walk Out Ketika Terdakwa dan Korban tidak dihadirkan secara langsung dipersidangan.
Keenam, Surat Permohonan penangguhan sudah lama diminta namun belum ada jawaban yang pasti diterima atau ditolak.
Ketujuh, Terdakwa SUGI NUR RAHARJA memiliki anak-anak Asuh di Pesantren yang beliau dirikan dan Kembangkan sehingga membutuhkan perhatian khusus demi berlangsungnya system pembelajaran dan pendidikan secara baik.
Kedelapan, Terdakwa Gus Nur selama ditahan di Bareskrim Mabes Polri dan Juga Kejaksaan Negeri Jakarta yang lebih kurang 5 bulan belum pernah bertemu keluarga (anak -anak dan Istri) dikarenakan ‘Protokol Kesehatan’.
Terserah, bagaimana mekanisme teknisnya pengadilan menghentikan perkara. Yang jelas, amanat Presiden jelas dan tegas, UU ITE menimbulkan ketidakadilan, kasus harus selektif dan pada kasus Gus Nur terlihat jelas kezaliman yang ditimpakan kepada Gus Nur.
Jika pengadilan baik atas inisiatif sendiri atau permohonan jaksa menutup perkara ini dan menyelesaikannya dengan pendekatan restoratif justice, maka dapat dikatakan hukum masih ada di negeri ini. Jika tidak, rangkaian persidangan hingga vonis pengadilan kelak bukanlah proses untuk menegakkan hukum, melainkan hanyalah formalitas sidang untuk melegitimasi kezaliman terhadap Gus Nur. [].

0 Komentar