
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Masih hangat diperbincangkan publik, tentang terbitnya Perpres No. 10 Tahun 2021 yang menjadi dasar hukum bagi legalisasi Minuman Keras. Pemerintah, memandang minuman keras sebagai produk dari barang ekonomi yang dapat menghasilkan pendapatan, sehingga investasi dalam industri miras dipandang akan meningkatkan pendapatan (perekonomian).
Bagi umat Islam, minuman keras (Khamr), daging babi, bangkai, dan benda lain yang diharamkan Syara' bukanlah benda yang dipandang memiliki value ekonomi. Tidak dianggap barang yang memiliki utility (manfaat) untuk memuaskan kebutuhan manusia. Sehingga, diharamkan bukan hanya mengkonsumsinya, tetapi juga produksi dan distribusinya.
Islam memang memandang setiap barang atau sesuatu (Asya') hukumnya mubah (halal) sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Namun, benda-benda tertentu yang diharamkan seperti minuman keras (Khamr), daging babi, bangkai, dan lainnya tidak boleh diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi.
Berbeda dengan Islam, asas kebebasan dalam sistem ekonomi kapitalistik telah 'menghalalkan' semua jenis benda, tanpa ada batasannya, asalkan diterima pasar. Ukuran penerimaan, hanya pada soal apakah barang tersebut laku di pasaran.
Keberadaan benda, dipandang memiliki utility (manfaat) jika mampu menjadi alat pemuas. Baik pemuas hajat kebutuhan hidup seperti makan dan minum, serta pakaian, atau untuk memuaskan naluri naluri seperti naluri seksual dan eksistensi diri.
Kapitalisme hanya menyingkirkan barang yang tidak memiliki nilai ekonomi, yakni tidak laku di pasar. Semua barang, asalkan laku dianggap memiliki utility dan akan diproduksi.
Jadi, jangan diperdebatkan kenapa industri miras hingga jasa pelacur, dianggap sebagai barang dan jasa yang memiliki manfaat, karena dapat dijadikan sebagai alat pemuas. Pengaturannya, bukan didasarkan halal haram melainkan faktor 'kemaslahatan' saja. Prostitusi tidak diberangus, tetapi hanya di lokalisasi. Miras tidak dilarang, kecuali hanya diatur dan ditetapkan pajak untuk pemasukan negara.
Karena itu, untuk membangun perekonomian tidak cukup dengan meningkatkan produksi. Tetapi, harus didasari pada perspektif ideologi dalam memandang alam semesta, manusia dan kehidupan, serta apa-apa yang ada sebelum dan sesudahnya.
Islam mengharamkan miras dan zina, karena meyakini sebelum ada alam semesta, manusia dan kehidupan, ada Allah SWT selaku penciptanya. Islam mengharamkan miras dan zina, karena meyakini setelah alam semesta, manusia dan kehidupan berakhir (kiamat) ada akhirat dimana Allah SWT selaku pencipta manusia, akan meminta pertanggungjawaban atas seluruh amal manusia. Sehingga, dalam mengambil sesuatu (benda) atau melakukan amal (perkataan dan perbuatan) umat Islam wajib terikat dengan syariat Islam.
Kaidah produksi dalam sistem ekonomi Islam, melewati sejumlah mekanisme sebagai berikut :
Pertama, penentuan kehalalan barang atau jasa yang diproduksi. Ini mutlak, sehingga jika barang telah diharamkan (seperti miras) tak ada alasan lagi untuk memproduksinya.
Produksi hanya dibolehkan pada barang dan jasa yang dihalalkan syariat. Seorang muslim, tak boleh menentang syariat dengan memproduksi barang yang diharamkan.
Kaidahnya, setiap barang dan jasa yang haram dikonsumsi haram pula memproduksi dan mendistribusikannya. Kaidah ini berlaku, bagi semua benda-benda atau jasa yang diharamkan.
Kedua, jika benda atau barang itu halal, harus diperiksa. Apakah terkategori barang milik umum (Al milkiyatul Amamah), barang milik negara (Al Milkiyatul Daulah) atau barang milik individu (Al Milkiyatul Fardiyah). Hanya barang jenis milik individu (Al Milkiyatul Fardiyah) yang bebas dimiliki, dikonsumsi, diproduksi dan didistribusikan oleh rakyat.
Rakyat hanya perlu terikat dengan hukum hukum umum dalam ekonomi Islam, seperti larangan transaksi riba, larangan menimbun (ihtikar), larangan jual beli gharar, dan seterusnya.
Adapun harta atau barang yang terkategori barang milik umum (Al milkiyatul Amamah) dan barang milik negara (Al Milkiyatul Daulah), hanya Negara (Khilafah) yang berhak mengelolanya. Setelah barang itu didistribusikan kepada individu rakyat, barulah rakyat berhak mengkonsumsi atau memiliknya, baik dalam bentuk fasilitas dan layanan publik yang diberikan Khilafah, subsidi langsung, atau pemberian (iqto') dari Negara (Khilafah).
Ketiga, barang dan jasa yang sifatnya milik individu (Al Milkiyatul Fardiyah), dibebaskan kepada setiap individu rakyat untuk memprodiksi sebesar-besarnya, tidak dibatasi jumlahnya, dan didorong menggunakan teknologi (ilmu ekonomi) yang paling maksimal untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
Setiap individu rakyat tidak dihalangi untuk berproduksi, dan tidak dibatasi jumlah produksinya. Produktivitas rakyat bahkan akan distimulasi oleh negara dengan sejumlah kebijakan yang memudahkan dunia usaha. Individu rakyat dihalalkan menjadi kaya, bahkan hingga kaya raya.
Dalam aspek ini, Negara Khilafah hanya memberikan pengaturan secara umum dan menindak jika terjadi pelanggaran syariat. Misalnya, Negara akan memungut zakatnya, memberikan sanksi bagi yang bertransaksi menggunakan riba, dan seterusnya.
Demikianlah, Islam memandang barang dan jasa. Sebuah pandangan yang Khas, yang berbeda sama sekali dengan pandangan idelogi kapitalisme maupun sosialisme yang orientasinya materialisme. Semua sistem kehidupan, diikat menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, Islam memberikan mandat kepada Khalifah selaku otoritas yang mengaturnya. [].

0 Komentar