
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Belum kering luka membaca berita tabung oksigen kita diekspor pemerintah ke India dengan alasan kemanusiaan, ternyata derita pasien Covid-19 di dalam negeri ini bertambah dengan dibongkarnya praktik penimbunan tabung oksigen medis di Sidoarjo.
Alat kesehatan itu ditimbun dan akan dijual lagi oleh pelaku dengan harga Rp. 1,3 juta per tabung ukuran 1 meter kubik, jauh melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang hanya boleh didijual Rp750 ribu. Sepasang kakak beradik ini ditangkap polisi dengan barang bukti 129 tabung oksigen. "Ada yang mencari keuntungan dengan menjual dua kali lipat," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta, di Mapolda (cnnindonesia.com, 12/7/2021).
Sepasang kakak beradik ini, AS dan TW, menjual di Facebook, dalam aksinya mereka meraup keuntungan Rp650 ribu pertabung oksigen. Dengan terkuaknya kasus ini semakin menunjukkan kegagalan penguasa mensejahterakan rakyat, bahkan dalam keadaan darurat ini masih ada saja yang mati nurani dan meraup keuntungan berlipat-lipat.
Krisis itu karena Sistem Kapitalisme
Sebenarnya wajar dalam dunia bisnis, memanfaatkan peluang yang ada dan memang bagian dari sistem pemasaran yang jitu, namun jika yang dibidik adalah tabung oksigen dimana pada saat ini sangat dibutuhkan masyarakat dan susah didapatkan karena lonjakan Covid-19, tentu adalah kezaliman dan bisa disebut dengan praktik menimbun atau ihtikar. Yang terjadi kemudian kelangkaan barang, bahkan hingga rakyat susah mendapatkan barang tersebut di pasaran dan harganya yang tinggi apalagi jika sudah ada praktik menimbun barang artinya ada kesalahan dalam kinerja sistem ekonomi. Disaat seperti inilah seharusnya negara turun tangan agar keadaan kembali stabil.
Namun penguasa lemah, dikarenakan mereka menganut sistem ekonomi kapitalis, yang memandang produksi lebih penting daripada distribusi. Sehingga yang digenjot adalah produksi barangnya, lalu apakah semua orang bisa menikmati atau membeli barang yang dia produksi ataupun tidak itu bukan menjadi perhitungan. Padahal jika tak ada pengawasan negara, maka akan menimbulkan ketegangan, kericuhan, dan yang ber-uang sajalah yang bisa mengakses. Sementara yang membutuhkan tabung oksigen tersebut bukan hanya rakyat kaya saja, tapi juga miskin.
Islam saja Solusinya
Ihtikar atau menimbun menurut Syeh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nizamul Iqtishadi fi Al Islam, halaman 198 adalah mengumpulkan barang dagangan dengan maksud menunggu harganya naik supaya barang dagangan itu dapat dijual dengan harga mahal dalam keadaan masyarakat kesulitan untuk membelinya. Maka dalam praktiknya ada tiga aktifitas yaitu mengumpulkan barang dagangan, kedua tujuan aktifitas itu adalah untuk menunggu harganya naik, sehingga bisa dijual dengan harga mahal dan ketiga aktifitas itu dilakukan dalam keadaan masyarakat kesulitan untuk membelinya.
Hukumnya jelas haram secara mutlak. Baik itu kebutuhan pokok, untuk manusia, hewan, barang dagangan maupun barang kebutuhan sekunder. Dalilnya adalah dari Said Al Musayyab Ra, dari Mu' ammar bin Abdillah Aduwwi, bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang bersalah (berdosa)". (HR. Muslim no 1605, Ahmad (6/400), Abu Dawud no 3347).
Jika sudah dinyatakan haram secara mutlak maka semestinya tak ada celah dan negaralah yang membangun sistem tanpa celah itu. Tentu dengan edukasi, pengaturan pasar ( bukan mematok harga) dan hukum yang tegas bagi pelanggarnya. Tidak membiarkan praktik-praktik yang mencampur adukkan penanganan Pandemi dengan ekonomi. Jelas akan memberatkan pihak lain dan meringankan pihak yang lainnya.
Adakah yang lebih adil dan menjamin kesetaraan hak selain dalam Islam? Hal ini hanya ada dalam benak seorang pemimpin yang bertakwa, kekuatan dan kekuasaannya bukan untuk menindas, namun untuk selalu mendapat tempat terbaik di hadapan Allah, yaitu menjadi pelayan umat dan mengaturnya dengan syariat. Wallahu a' lam bish showab.
0 Komentar