
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
"Selama pandemi COVID-19, kejadian serupa sudah beberapa kali terjadi. Parahnya lagi, kejadian seperti ini melibatkan anak di bawah umur dan disebabkan karena himpitan ekonomi". Demikian kata Aipda Syarifuddin, Bhabinkamtibmas Kelurahan Balla Parang, Kecamatan Rappocini, Makassar.
Apa yang berulangkali terjadi? Yaitu anak yang ditukar dengan sembako atau beras. Kali ini menimpa seorang bocah laki-laki berinisial AR, 10 tahun. Ia ditukar dengan tiga karung beras oleh orang yang tidak dikenalnya, dengan sebelumnya diiming-imingi uang (TELISIK.ID, 8/9/2021).
Bak pucuk dicinta ulam tiba, keduanya saling membutuhkan, si bocah tergiur uang, si pelaku tergiur barter yang menguntungkan. Sungguh, hari ini tak perlu lama untuk menciptakan kriminal. Perut lapar, ekonomi seret, pikiran cupet, jalan pintas yang kemudian terlintas.
Mengapa mudahnya seseorang melakukan perbuatan yang menyalahi aturan itu? Pertama karena ringannya hukuman bagi pelaku kejahatan, sudah mafhum bahwa hukum yang berlaku adalah tebang pilih, mudah ditawar dan tak memberikan keadilan. Paling banter hanya penjara, bagi orang-orang lapar, justru penjara adalah solusi. Bisa makan, minum dan tidur gratis.
Namun yang harus lebih disoroti adalah sakitnya masyarakat karena jauh dari Islam. Memang Islam adalah agama mayoritas di negeri ini, tapi tidak menjadi way of life, standar perbuatan bahkan cara pandang atau ideologi. Islam sebatas dipelajari dan dihapal, sedang dalam kehidupan mereka menggunakan hukum lain, yaitu hukum manusia, kalaulah memakai Islam, hanya dari sisi ibadah individual.
Ditambah dengan periayaahan negara yang kapitalistik, menghitung untung rugi, sehingga memaksa oknum berpikir pendek, yang penting tujuan tercapai. Perkara yang lain nanti saja. Semakin kita gali maka akan semakin banyak fakta kita temui yang semua berpangkal pada pemikiran pendek, asal jadi uang, misalnya suami jual istri, bapak jual anak, ibu jual diri dan lain-lain, ujung-ujungnya akan lari ke wilayah klenik, minta bantuan kekuatan Supra natural saking pendek pikirnya.
Percaya 100% bahwa ada "orang pintar" yang pandai menerawang masa depan, mendatangkan uang bahkan status mentereng dipuja-puja banyak orang. Naudzubillah, akidah sudah bergeser tanpa terasa, terkalahkan dengan gemerlap dunia yang ditawarkan kapitalis, begitu gemerlap, seakan mereka yang bahagia adalah yang rumahnya besar, uangnya banyak, gadgetnya terbaru, dan lain-lain. Begitu melihat fakta, apa yang mereka impikan tak selalu bisa diraih dengan mudah, sudah pasti banyak bermunculan manusia-manusia depresi.
Dalam pandangan Islam, negara adalah penjamin seluruh kebutuhan rakyat, bukan mewah, tapi makruf. Artinya setiap individu terjamin kebutuhan pokoknya, sekunder dan tersiernya. Di sisi lain, negara juga mengedukasi rakyatnya agar senantiasa menebalkan rasa syukur dengan mendorong dan memudahkan beribadah. Sehingga tercapai keseimbangan dalam diri setiap individu.
Perlakuan terhadap non Muslimpun tidak berbeda selama mereka taat dan menyatakan tunduk dengan aturan Islam. Yang demikian tidak mengharuskan ia masuk Islam, sebab tetap hukumnya tidak ada paksaan dalam agama Islam. Minoritas bukan berarti mengalami diskriminasi dan lainnya.
Termasuk dalam hal penjatuhan sanksi dan hukum jika seseorang melanggar syariat, tak ada pandang bulu. Sehingga setiap hukum yang dijatuhkan, mampu menggetarkan mereka yang belum melakukan kesalahan. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”. [HR. Bukhari].
Ketegasan hukuman atas seseorangpun akan dilihat sebab musababnya hingga terjadi pelanggaran, padahal Islam sudah diterapkan, jika karena lapar, maka penguasa di wilayah itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana yang diperbuat Umar ketika melihat beberapa pembantu Hatib bin Abi Balta’ah ketahuan mencuri seekor unta milik pria asal Muzainah, Umar lalu mengimbau Abdurrahman bin Hatib agar membayar dua kali lipat harga unta yang dimiliki orang Muzainah itu. Dengan demikian, status unta tadi menjadi halal–yakni tak lagi sebagai barang curian.
Bukan berarti hukum melunak, kemudian boleh mencuri dengan alasan lapar dan yang lain. Namun, haruslah diperbaiki dulu sistem dalam masyarakat ini dari sistem bobrok kepada sistem yang shahih, sebab hari ini sangatlah susah membedakan mana yang berbuat kriminal karena lapar atau karena memang tabiat, sebab sistemnya pun menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Terlebih sebetulnya barter adalah perbuatan mubah, namun juga bukan asal barter yang justru membahayakan nyawa orang lain. Wallahu a' lam bish showab.
0 Komentar