
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Berdasarkan keputusan pimpinan KPK, Firli Bahuri, 57 pegawai KPK dinilai tak lolos TWK diberhentikan per 30 September 2021. Pemberhentian ini lebih cepat satu bulan daripada apa yang termuat dalam berita acara tindak lanjut hasil TWK pegawai KPK yang ditandatangani oleh lima pimpinan KPK beserta sejumlah pimpinan kementerian/lembaga lain (CNN Indonesia, 17/9/2021).
Sejumlah pakar mengatakan presiden melarikan diri dari persoalan ini, padahal sebelumnya, Jokowi, saat berbicara soal masalah pemecatan pegawai KPK, Rabu (15/6), meminta "jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan" . Salah satunya adalah Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra yang menilai Jokowi, sebagai pimpinan tertinggi, seharusnya tak lari dari tanggung jawab dan tetap bisa menertibkan pimpinan KPK (CNN Indonesia, 17/9/2021).
Senada, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, membantah Jokowi tidak memahami ketatanegaraan di mana ia merupakan pimpinan tertinggi. "Lho bukannya secara ketatanegaraan memang kewenangan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," cetus dia.
Sejak September 2019 memang nyata sudah terjadi upaya pelemahan KPK, ditandai dengan pembahasan DPR tentang revisi UU KPK. Yang kemudian pada tanggal 17 September 2019 disahkan dengan menghasilkan sejumlah pemangkasan diantaranya kewenangan KPK, dewan pengawas hingga status pegawai KPK yang menjadi ASN. Gelombang penolakan terjadi dari masyarakat dan mahasiswa maupun pihak KPK sendiri, bagaimanapun meski kinerja KPK belum sempurna namun masih bisa menjadi andalan pemangkas kasus rasuah di negeri ini yang bak gurita, tak pernah habis. Terlebih Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga resmi negara seakan mandul, tak digubris laporan-laporannya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto menilai pernyataan Jokowi itu memperlihatkan inkonsistensi seorang pemimpin. Mulanya, Jokowi menginstruksikan bahwa hasil asesmen TWK pegawai KPK tidak boleh dijadikan dasar pemberhentian pegawai. Ujungnya, Jokowi seolah melupakan pendapatnya tersebut. Dan faktanya dari 57 orang 6 orang pegawai di antaranya adalah mereka yang tak mau mengikuti diklat bela negara. Menjelaskan bahwa tes TWKlah batu sandungan itu.
Negara ini memang sudah menunjukkan kelemahannya, di bawah kendali penguasa kapital dan penjilat, silih berganti dan saling bergandeng menggusur satu persatu orang baik, standar yang nisbi sekali. Lebih pancasilais mana antara pegawai KPK jika dibanding para koruptor yang awalnya gembar gembor paling cinta negeri ini?
KPK dengan jelas merangsek maju, menggali berbagai kecurangan hingga banyak yang kebakaran jenggot karena seolah sedang menunggu giliran digelandang sebagai pesakitan berbaju orange. Memang kasus tak berkurang, bahkan kerugian negara kian membengkak sebab korupsi sudah menjalar bak sel kanker ke seluruh jajaran pemerintahan tingkat tinggi hingga tingkat desa. Ironinya, KPK dibentuk sebagai pihak ahli menangkap pencuri uang negara itu malah dilemahkan oleh pemerintah sendiri hingga orang-orang terbaik di badan KPK terpaksa keluar.
Di sisi lain ada badan lain milik negara yang sebenarnya memiliki fungsi yang sama dengan KPK seperti BPK dan kepolisian, namun mereka seolah dikebiri. Alih-alih sebagai penenang rakyat dengan membentuk KPK nyatanya malah menjadikan tameng untuk menyembunyikan kebobrokan negara sendiri yang sejatinya tak punya strategi baku dalam mengatur negara terutama menyelesaikan masalah korupsi.
Jika sudah begini bisakah diharapkan melalui kepengurusan KPK yang baru dibentuk kinerjanya akan lebih baik? Penulis dengan pasti katakan tidak! Sebab semua badan di luar pemerintahan semakin banyak dibentuk tak akan berkorelasi mengurangi kasus korupsi ataupun kesulitan lain dari negara ini sebab memang tidak menyentuh akar persoalan.
Negara ini sekuler, maka jelas saja akan sangat kacau ketika sekuler menjadi landasan kebijakannya. Terlebih jika begitu tergantung dengan negara kafir, yang mendorong penguasa negeri ini untuk membuat kebijakan yang mampu mendorong mereka para kafir kapitalis bertahan hidupnya di Indonesia.
Tes TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK menuju ASN juga dinilai terlalu mengada-ngada. Materi TWK yang disusun oleh BKN dengan melibatkan BIN, BAIS TNI, Pusat Intelejen TNI AD, Dinas Psikologi TNI AD dan BNPT merumuskan soal yang samasekali tak berhubungan dengan kinerja KPK. Di antaranya "Kalau punya agama alirannya apa?" atau "Kalau ikut kajian aliran apa?". Lebih konyol lagi "pilih Pancasila atau Alquran?" "Kalau pacaran ngapain saja". Dan ketika jawaban dianggap salah dengan mudahnya mampu mengeluarkan seseorang dari status kepegawaiannya di KPK.
Ironis, Indonesia mayoritas beragama Islam namun memperlihatkan sikap Islamophobia. Jelas narasi apa yang sedang dibingkai dari rentetan peristiwa ini. Semakin menunjukkan kepada kita arah kiblat negara ini, bukan Islam namun mendua, Islam hanya dijadikan hiasan ketika menunaikan ibadah, sedangkan untuk menyelesaikan persoalan Islam dianggap tak layak, padahal setiap amal manusia dalam pandangan Islam adalah ibadah kepada Rabbnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi/ beribadah kepada-Ku." (QS Adz-Dzariyat :56).
Jika semua amal yang dilakukan manusia khususnya Muslim adalah ibadah kepada Sang Khalik, masihkan perlu ada sederet pertanyaan konyol? Bukankah sebaiknya segera bekerja berdasarkan keimanan yang tinggi agar benar-benar hidup menjadi berkah karena ada ketaatan kepada Allah SWT.
Semestinya memang kita berjuang menegakkan syariat, agar hidup lebih produktif. Tidak berputar pada persoalan sepele dan malah menjauhkan kita dari tujuan hakiki manusia diciptakan di dunia. Jika masih saja percaya sistem aturan hari ini mampu mengeluarkan manusia dari kesulitan hidup maka inilah bentuk kebodohan yang nyata.
Jelas-jelas Rasulullah menyebutkan, "Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya." (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Korupsi hanyalah satu kerusakan yang akan lenyap begitu syariat ditegakkan, bahkan kehidupan akan menjadi berkah bak tercurah dari langit dan muncul dari bumi. Wallahu a'lam bish showab.
0 Komentar