Oleh: Nasrudin Joha
Sastrawan Politik
Konflik internal di PDIP soal siapa yang akan dicalonkan di Pilpres 2024 tidak mungkin terjadi jika semua kader mengikuti arahan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sebagai ketua umum partai, Mega memiliki kekuasaan penuh untuk memutuskan kader banteng mana yang akan dilepas untuk mengikuti pemilihan presiden 2024.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri telah menginstruksikan seluruh kader banteng untuk bungkam soal pergantian capres dan cawapres 2024. Penetapan Keputusan didasari oleh surat Nomor 3134/IN/DPP/VIII/2021 tentang Politik Penegasan tanggal 11 Agustus 2021 antara Megawati dan Sekjen PDIP Hastor Kristianto, dalam surat tersebut menegaskan bahwa PDIP melarang keras kadernya membahas Pilpres 2024.
Namun, perintah Megawati rupanya tidak digubris oleh Kader Banteng Purworejo. Albertus, Wakil Ketua DPC PDIP Kabupaten Purworejo, mengumumkan Manifesto SGI Purworejo, secara terbuka mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk pemilihan presiden 2024.
Ketua DPC PDI-P Solo FX Hadi Rudyatmo juga terang-terangan mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024, yang saat itu dikenal oleh kader lainnya sebagai celeng.
Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul sempat menyebut kader PDIP yang mengumumkan calon presiden sebelum arahan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah melewati batas. Menurutnya, kader yang keluar dari tim bukanlah banteng, melainkan celeng.
Namun anehnya, istilah "celeng" tidak berlaku untuk kader banteng yang mendukung calon presiden 2024 jika itu Puan Maharani.
Sejumlah kader PDIP Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara mendukung pencalonan Puan Maharani di pemilihan presiden 2024. Mengejutkannya bahwa DPP PDIP tidak melakukan pemanggilan kader PDIP Kebumen, Purbalingga dan Banjarnegara dalam hal ini, yang pada hakekatnya juga melanggar Dirjen Nomor 3134/IN/DPP/VIII/2021 tentang pengukuhan jabatan politik komunikasi yang dikeluarkan oleh DPP PDIP.
Alih-alih merasa terpojok dan tersungkur, kader PDIP Purworejo pendukung Ganjar Pranowo malah bangga disebut celeng. Mereka bahkan mendeklarasikan diri sebagai BARISAN CELENG BERJUANG sebagai cara untuk melawan tindakan kediktatoran dan ketidakadilan PDIP.
Padahal, persoalan internal PDIP ini sangat sederhana dan mudah diselesaikan selama pribadi Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri masih memiliki nilai dan dipatuhi kader. Sayangnya, perpecahan ini justru menegaskan bahwa sebagian wibawa Megawati atas kader mulai memudar.
Semua kader yang murni berjuang, juga merasa diperlakukan tidak adil oleh sebagian anggota partai yang bersembunyi di balik kewibawaan partai, atau setidaknya di bawah ketiak Megawati Soekarnoputri. Hubungan patronase antara Megawati dengan beberapa kader membuat Megawati tidak lagi objektif menilai persoalan di partai, dan lebih mendengarkan keinginan para "pembisik" di sekitarnya.
Para pembisik ini takut berdebat di depan umum dan sering membesar-besarkan, menggunakan posisi Megawati untuk memajukan visi politiknya. Menurut pengamatan penulis, PDIP bukanlah Partai Demokrat, melainkan partai dengan model yang lebih sentris.
Dispekulasikan, sebagai partai yang memproklamirkan diri sebagai partai demokrasi, maka akan wajib mendengarkan semua tuntutan kader, dan menindas perbedaan pendapat di dalam kader adalah "tabu". Perpecahan menunjukkan adanya kecenderungan perubahan di tubuh PDIP, yang bukan ditujukan kepada Megawati, melainkan orang-orang di sekitar Megawati yang memanfaatkan status Megawati (baca: penjilat).
Sekembalinya dari DPP PDIP, Albertus Sumbogo belum menyatakan sikapnya, apakah tetap vertikal dan menjadi garda terdepan, atau mengikuti instruksi DPP PDI Perjuangan. Sementara itu, perpecahan demi perpecahan terus menyebar seperti kobaran api dalam sekam.
Apa yang terjadi di Purworejo hanyalah puncak gunung es. Kader memiliki aspirasi yang lebih besar agar Ganjar Pranowo menjadi capres PDIP 2024. Namun, sepertinya semua orang saling mengintip, menunggu momentum untuk saling menerkam.
Sebagai Ketua Umum, Megawati seolah mengabaikan persoalan ini. Ketaatan kader kemungkinan besar hanya di permukaan, dan jauh di lubuk hati, kader PDI-P sudah menentukan pilihannya sendiri.
0 Komentar