Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan Aktifis
Pada Sabtu, 30 Oktober 2021 beberapa tokoh dan ulama serta pengurus Persaudaraan Rakyat Banten dan Serikat Dakwah mengundang penulis untuk menjadi peserta zoom dengan topik 'MENAG BIKIN GADUH, KHILAFAH YANG DITUDUH'. Tema tersebut sangat cocok dengan masyarakat, apalagi setelah pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas yang sempat membuat geger publik di Republik Indonesia.
Urutan kronologis peristiwa jika diurutkan, dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, pada Rabu 20 Oktober 2021), TVNU menyampaikan pidato Menag yang antara lain mengatakan bahwa Kemenag adalah hadiah dari negara untuk NU, bukan untuk umat Islam pada umumnya. Bahkan, Menag mengeluarkan pernyataan yang mengabarkan bahwa kini NU dapat memanfaatkan banyak peluang yang ada di Kementerian Agama.
Kedua, pernyataan Menag yang tidak berdasar dan merugikan umat Islam itu menuai banyak kecaman, termasuk dari kalangan NU. Diantaranya:
- Pada Sabtu (23/10) Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir menerbitkan artikel di Republika berjudul “NEGARA UNTUK SEMUA”. Substansi pasal tersebut mengkritisi pernyataan Menteri Agama yang dianggap belum dewasa dalam menjelaskan gagasan kebangsaan, kenegaraan, dan keindonesiaan.
- Pada Minggu (24/10), Anwar Abbas, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengecam keras pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang dianggap tidak disukai kelompok dan elemen lain. masyarakat.
- Pada Minggu (24/10), Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini mengoreksi ucapan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kementerian Agama (Kemenag) adalah anugerah bagi NU. Menurutnya, Kemenag merupakan anugerah negara semua agama.
- Pada Minggu (24/10), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPRD Provinsi Sumbar pun ikut mengkritisi pernyataan Yaqut Cholil Qoumas tersebut. Bahkan, ada tanggapan keras atas pernyataan Menag melalui ketuanya, Buya Gusrizal Gazahar, yang menyayangkan jika Ketua MUI Sumbar memilih eksternal jika Kemenag mendukung NU.
Ketiga, media sosial dibanjiri kritik terhadap ucapan Menag yang tidak relevan. Itu menyebabkan beberapa tagar dan panggilan telepon, beberapa video dan artikel yang pada intinya ikut mengkritik menteri agama.
Keempat, pada Senin (25/10) Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengklarifikasi bahwa pernyataannya tentang pemberian Kemenag kepada Nahdlatul Ulama disampaikan dalam forum internal keluarga besar NU. Tujuannya, lebih memotivasi santri dan pesantren.
Klarifikasi Menag tersebut tidak menyurutkan kritik publik karena persoalannya tidak sesederhana yang dijelaskan Menag. Publik juga semakin marah karena tidak ada kata-kata permintaan maaf yang disampaikan kepada publik atas kegaduhan yang disebabkan oleh menteri agama.
Pada Konferensi Internasional Tahunan ke-20 tentang Studi Islam (AICIS) dengan tema “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy” yang diadakan di Surakarta, Jawa Tengah, dari 25 hingga 29 Oktober 2021, Menteri Agama bahkan tidak meminta maaf ataupun berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, tetapi justru berbicara menggunakan narasi jahat terhadap ajaran Islam yaitu Khilafah.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, perlu dilakukannya rekontekstualisasi fikih Islam yang dianggap sudah berhenti atau berakhir sejak Abad Pertengahan. Salah satunya tentang gagasan khilafah yang dianggapnya adalah sumber bencana bagi umat Islam.
Tuduhan Menteri Agama itu sangat keterlaluan, bahkan tidak ada orang Kristen yang begitu membenci ajaran agama Kristen. Namun Menteri Agama yang notabene seorang muslim membenci ajaran Islam dan menuduh Khilafah membawa bencana bagi umat Islam.
Tidak hanya tudingan bahwa Khilafah yang adalah sumber bencana bagi umat Islam, tapi ada 14 poin kontekstual yang disampaikan dan menjadi problematika mengapa menjadi penting rekontekstualisasi fikih di era global harus dilakukan katanya.
Misalnya, pada poin kesepuluh disebutkan:
“Sejarah Islam setelah kematian menantu Nabi Muhammad, yakni Sayyidina Ali, menunjukkan bahwa setiap usaha untuk memperoleh dan mengkonsolidasikan kekuatan politik atau militer dalam bentuk kekhalifahan pasti akan disertai dengan pembantaian antara satu pihak dengan yang lain. Hal ini merupakan tragedi bagi komunitas Muslim secara keseluruhan, terutama pada awal sebuah dinasti baru.”
Astagfirullah, dimana kesimpulan dari pernyataan yang tidak relevan ini? Apa alasan dan dasar sejarahnya? Apakah Menteri Agama tidak pernah membuka mata untuk melihat sejarah emas peradaban Khilafah yang eksis di pentas sejarah selama 13 abad? Lantas dimana suara Menag ketika umat Islam di Palestina, Uyghur, Burma, Afganistan, Irak, Suriah dan lainnya benar-benar mengalami pembantaian?
Sebelumnya, Menag berkunjung ke Israel dan ramai memuji bangsa Yahudi lanatullah yang membantai saudara-saudara Muslim di Palestina. Apa sebenarnya motivasi Menag mengangkat isu Khilafah?
Menag mengaku "Annual International Conference on Islamic Studies" (AICIS) Ke-20 hanya seputar Public Policy, kemudian Menag tiba-tiba meminta untuk memasukkan agenda Reaktualisasi Fiqh yang justru menyebarkan fitnah terhadap ajaran Islam yaitu Khilafah. Menag seolah ingin mengalihkan persoalan dari ucapannya yang menyatakan Kementerian Agama hadiah untuk NU, kemudian ingin mengalihkan masalah itu agar publik teralihkan dengan Khilafah.
Tentu saja, pernyataan mentri agama yang picik dan tidak adil seperti itu harus diluruskan. Inilah salah satu tujuan dari diskusi yang diadakan dengan tema "MENAG BIKIN GADUH, KHILAFAH YANG DITUDUH". Dalam acara tersebut juga akan dibacakan pernyataan resmi dari KPAU Banten tentang ketidakrelevanan Menag.
0 Komentar